Pemikiran Quraish Shihab Tentang Kriteria Wanita yang Boleh Dinikah Poligami dan Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Oleh:Â Alfi Syahrin
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Â
A.Pendahuluan
   Penelitian ini berjudul "Pemikiran Quraish Shihab Tentang Kriteria Wanita yang Boleh Dinikah Poligami dan Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia". Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami pandangan Quraish Shihab mengenai kriteria wanita yang boleh dinikahi secara poligami serta menilai relevansi pandangan tersebut dalam upaya pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia.
   Penelitian ini didasarkan pada berbagai referensi hukum, sehingga pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deduktif. Pendekatan deduktif ini mengandalkan logika untuk menarik kesimpulan dari premis-premis yang ada. Metode ini diterapkan untuk menganalisis pemikiran Quraish Shihab mengenai poligami dalam konteks pembaruan hukum perkawinan Islam di Indonesia.
   Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menurut Quraish Shihab, kriteria wanita yang boleh dinikahi secara poligami adalah janda-janda tua yang membutuhkan pertolongan dan janda yang suaminya meninggal di medan perang. Namun, pandangan ini dianggap belum relevan dengan konteks negara Indonesia.
   Berdasarkan kesimpulan tersebut, disarankan kepada mahasiswa/i untuk mengkaji lebih dalam tentang hukum-hukum positif di Indonesia sesuai dengan perkembangan zaman, khususnya terkait dengan kriteria wanita yang boleh dinikahi secara poligami. Karena hukum bersifat dinamis, para pemangku kepentingan perlu mempertimbangkan kembali peraturan-peraturan mengenai poligami yang masih dianggap bias gender.
   Saya mengambil skripsi ini sebagai referensi untuk mengetahui pandangan 'Ulama kontemporer terhadap poligami dan relevansinya bagi pembaharuan hukum islam. Juga sebagai motifasi agar lebih produktif terutama untuk mempersiapkan rencana skripsi yang saya ambil yaitu tentang pernikahan yang menurun di berbagai daerah di Indonesia, tetapi berbeda dengan daerah saya yaitu Grobogan, dimana dalam media masa disebutkan angka pernikahan dini di daerah ini masih tinggi.
   Untuk itu saya ingin meneliti faktor apa yang membuat pernikahan dini di daerah ini masih tinggi menginggat banyak anak muda yang belum menikah dikarenakan terhambat masalah ekonomi.Saya berharap dari me-review skripsi tentang poligami ini, membuat saya lebih produktif dan melatih pemikiran agar menjadi lebih kritis.
A.Pendapat ulama
   Poligami berasal dari bahasa Yunani poly yang artinya banyak dan gamie yang berarti perkawinan. Ini merujuk pada sistem perkawinan di mana satu pihak dapat memiliki atau menikahi lebih dari satu pasangan secara bersamaan.
Menurut pendapat lain, istilah poligami berasal dari bahasa Yunani, dengan "apolus" yang berarti banyak dan "gamos" yang berarti istri atau pasangan. Poligami merujuk pada keadaan di mana seseorang memiliki lebih dari satu istri sekaligus. Oleh karena itu, poligami dapat dipahami sebagai situasi di mana seorang suami memiliki dua, tiga, empat, atau bahkan lebih istri pada waktu yang bersamaan.
   Pro-kontra terhadap poligami sudah menjadi kontroversi bagi ummat muslim, golongan yang menerima poligami berpendapat poligami kewajaran dalam islam, golonva lainya berpendapat bahwa jika islam datang untuk menghilangkan kebiasaan poligami tetapi kenapa islam memberikan jalan alternatif yaitu dalam Q.S An nisa' ayat 3? Semua ayat pasti memeliki maksud dan tujuan tertentu, maka dengan mengatakan poligami tidak ada dalam al-qur'an, dalah pendapat yang tidak logis.
Berikut adalah pendapat Ulama tentang poligami
A. Ulama' yang membolehkan poligami
1.Ali Ash-Shabuni
   Ali Ash-Shabuni berpendapat bahwa poligami merupakan bagian dari kehidupan yang telah ada sebelum kedatangan Islam. Dalam praktiknya, seorang pria dapat memiliki sepuluh atau lebih istri, seperti yang dijelaskan dalam hadits tentang Ghailan yang memiliki sepuluh istri sebelum ia menjadi muallaf. Nabi kemudian memerintahkannya untuk memilih empat dari sepuluh istrinya tersebut.
   Islam hadir dengan pesan kepada para pria bahwa dalam hal poligami, terdapat batasan yang tidak boleh dilanggar, yaitu hanya boleh memiliki hingga empat istri. Hal ini juga disertai dengan syarat bahwa suami harus adil terhadap semua istrinya. Jika tidak mampu berbuat adil, maka dianjurkan untuk memiliki satu istri saja atau menjalin hubungan dengan hamba sahaya.
   Poligami merupakan salah satu kebanggaan dalam Islam karena melalui praktik ini, Islam dapat menyelesaikan berbagai masalah umat. Contohnya adalah pernikahan Nabi dengan Aisyah, yang memungkinkan wanita Arab yang umumnya merasa malu untuk bertanya tentang masalah agama, seperti haid, jinabah, dan wiladah, mendapatkan penjelasan yang mereka butuhkan.
2.Ibnu Katsir
   Ibnu Katsir menyimpulkan bahwa jika diperbolehkan memiliki lebih dari empat istri, maka Rasulullah Saw. Akan membiarkan Gailan mempertahankan kesepuluh istrinya yang semuanya telah masuk Islam. Namun, ketika Nabi Saw. Memerintahkan Gailan untuk hanya mempertahankan empat istrinya dan menceraikan yang lain, ini menunjukkan bahwa tidak diperbolehkan memiliki lebih dari empat istri, dengan alasan apa pun.
3.Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti
   Penulis kitab tafsir Jalalain berpendapat bahwa jika seseorang khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak yatim sehingga menghadapi kesulitan, dan juga takut tidak dapat berlaku adil di antara istri-istrinya, maka diperbolehkan menikahi dua, tiga, atau empat wanita, tetapi tidak boleh lebih dari itu. Jika tidak mampu berlaku adil dalam hal giliran dan pembagian nafkah, maka sebaiknya cukup satu istri saja atau hamba sahaya, karena mereka tidak memiliki hak-hak seperti istri lainnya. Artinya, menikahi empat istri atau hanya satu istri, atau mengambil hamba sahaya lebih disarankan untuk menghindari ketidakadilan atau kedzaliman. Dengan kata lain, beliau memperbolehkan poligami, tetapi menyarankan mengambil hamba sahaya untuk menghindari kedzaliman.
4.Kelompok Salafi Wahabi
  Khalid Basalamah menyatakan bahwa poligami adalah topik yang paling kompleks dalam pernikahan. Menurutnya, tidak diperlukan izin dari istri untuk berpoligami, tetapi suami harus menjelaskan poligami secara ilmiah. Ia memberikan analogi dengan membuka perusahaan baru yang bergantung pada keberhasilan perusahaan pertama. Jika perusahaan pertama sudah terorganisir dengan baik, maka barulah membuka cabang baru.
  Dalam kesempatan lain, Khalid Basalamah menyebutkan bahwa poligami diperbolehkan dalam keadaan apapun, baik istri memiliki alasan khusus atau tidak, tergantung bagaimana hal tersebut dijalankan. Ia menggambarkan poligami sebagai sebuah program yang memerlukan proses, seperti halnya dalam Islam, di mana umrah dilakukan sebelum haji. Demikian juga, seorang suami harus memenuhi semua kewajiban terhadap istri pertama sebelum menambah istri.
B. Ulama' yang menentang poligami
Pandangan kelompok yang menentang poligami bervariasi:
1). Menurut kelompok Islam Liberal
   Orang-orang yang feminis, menganggap poligami sebagai bentuk penindasan terhadap perempuan. Mereka merasa bahwa poligami menciptakan diskriminasi dalam hukum keluarga dan perdata karena memberi hak pada laki-laki untuk memiliki beberapa istri sementara perempuan hanya dapat menikah dengan satu suami.
2). Amina Wadud Muhsin
   Menyatakan bahwa poligami bukan ajaran Qur'ani dan lebih sebagai upaya untuk memenuhi nafsu tidak terkendali kaum pria. Dia bersama tokoh-tokoh feminis lainnya menolak poligami, merujuk pada larangan Nabi terhadap keinginan Ali untuk berpoligami.
3)Menurut Rosyid Ridha
   Islam sebenarnya tidak mewajibkan poligami, dan hanya sedikit dari mereka yang melakukan poligami yang bisa menghindari penyalahgunaan yang dilarang dalam agama.
1.Pelajaran yang dapat dipetik dari ini adalah bahwa bagi pria yang ingin melakukan poligami, mereka sebaiknya mempertimbangkan dengan matang keinginan mereka dan memikirkan masa depan dengan memastikan bahwa mereka menjalankan prinsip keadilan yang diperlukan.
2.Kedua, dalam Islam, poligami tidak dilarang secara tegas, namun juga tidak diperbolehkan secara bebas, mengingat sifat dan kebiasaan pria yang cenderung tidak puas dengan satu istri dan adanya kebutuhan akan keturunan ketika istri sudah tua atau karena alasan lain yang membuatnya sulit hamil.
3. Ketiga, Islam memperlakukan poligami sebagai hal yang diperbolehkan dengan syarat dan alasan yang telah dijelaskan sebelumnya, yang harus dipertimbangkan dengan hati-hati mengenai dampaknya, dan akan memberikan manfaat bagi mereka yang melaksanakannya jika semua prinsip Islam terkait dengan hal tersebut dipatuhi.
4). Muhammad Abduh dengan tegas menentang poligami karena dianggap merusak di Mesir. Dia berpendapat bahwa tidak mungkin mendidik bangsa Mesir dengan baik selama poligami masih dipraktekkan secara luas. Abduh bahkan mengeluarkan fatwa tidak resmi yang menyarankan agar pemerintah Mesir melarang poligami kecuali dalam kondisi darurat yang membenarkannya. Dia juga berpendapat bahwa prinsip pernikahan dalam Islam seharusnya monogami, bukan poligami.
5) Saidun FiddaroiniÂ
   Beliau mencatat kesalahan dalam pemahaman syarat poligami, terutama tentang konsep adil. Dia berpendapat bahwa adil bukanlah syarat untuk berpoligami, melainkan merupakan bagian dari rukun berpoligami. Jika suami tidak adil, maka pernikahan poligami tersebut tidak sah. Menurutnya, tidak ada syarat yang harus dipenuhi untuk berpoligami, dan ayat dalam Al-Quran mengarah pada pernikahan monogami untuk mencegah penindasan.
6). Siti Musda MuliaÂ
   Memandang poligami sebagai bentuk perselingkuhan yang dilegalkan. Meskipun kritiknya terhadap KHI (Kompilasi Hukum Islam) ada, pendekatannya terhadap poligami bersifat tidak netral dan berfokus pada perspektif wanita. Namun, pandangannya tentang adil juga dipertanyakan karena menurutnya, laki-laki harus adil dalam hal perasaan (cinta). Pendapat kontroversialnya sering dikritik, terutama dalam bukunya "Islam Menggugat Poligami", di mana banyak yang mempertanyakan apakah pendapatnya mewakili Islam.
C. Pendapat moderat
Pendapat kelompok moderat tentang poligami dapat dirangkum sebagai berikut:
1.Menurut Quraish Shihab
   poligami seharusnya seperti pintu darurat pesawat yang tertutup rapat, namun tetap bisa dibuka dalam keadaan darurat dengan izin pilot, dan orang yang membukanya haruslah memahami cara melakukannya.
2. Imam as-SyaukaniÂ
   Menjelaskan tentang ayat 3 dari Surah al-Nisa' adalah bahwa ayat tersebut membatasi kebiasaan pernikahan banyak wanita pada zaman pra-Islam Arab, tetapi hanya memperbolehkan empat istri dengan syarat dapat memperlakukan mereka dengan adil. Dia juga membahas makna kata "" dalam ayat tersebut, menyimpulkan bahwa kata tersebut menunjukkan keraguan daripada keyakinan, sehingga bagi yang ragu tidak bisa memperlakukan istri-istri secara adil, sebaiknya memilih monogami.
3. Buya HamkaÂ
   Buya Hamma menyimpulkan bahwa ayat 3 dari Surah al-Nisa' merupakan kelanjutan dari pembahasan tentang perlindungan terhadap anak yatim dalam ayat sebelumnya. Ia menekankan bahwa pemikiran tidak sehat dari wali yang ingin menikahi anak yatim untuk mempertahankan harta tersebut seharusnya dicegah, dan jika ingin menikahi anak yatim, harus dilakukan dengan cara yang baik dan adil.
4.Sayyid Qutub
   Poligami dianggap sebagai suatu kemungkinan dalam keadaan darurat, dengan syarat bahwa suami dapat memperlakukan istri-istri dengan adil dalam segala aspek kehidupan.
B.Kerangka Teori
A. Maslahah Mursalah
   adalah konsep yang terdiri dari dua kata, yaitu "maslahah" yang berarti kebaikan, dan "mursalah" yang berarti diutus atau dipergunakan. Dalam konteks hukum Islam, Maslahah Mursalah mengacu pada prinsip kemaslahatan yang digunakan untuk menetapkan suatu hukum atau perbuatan yang memiliki nilai baik dan bermanfaat.
Menurut Hasbi As-Sidiqi, Mashlahat adalah:
"Memelihara tujuan syara dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusakkan makhluq"
Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali:
"Mashlahat pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat"
   Dari uraian diatas dapat disimpulkan, Mashlahah Mursalah secara istilah ialah kemaslahatan yang tidak di tetapkan oleh syara dalam penetapan hukum dan tidak ada dalil yang menyuruh mengambil atau menolaknya.
B. Macam-macam Maslahah Mursalah
a.
Pemikiran Quraish Shihab Tentang Kriteria Wanita yang
Boleh Dinikah Poligami dan Relevansinya Bagi
Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Penjatuhan talak di pengadilan, kewajiban memiliki SIM bagi Pengendara kendaraan bermotor, dan lain-lain.32
3.Kehujjahan Maslahah Mursalah:
a. Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul tentang kehujjahan Maslahah Mursalah. Menurut beberapa ulama, seperti ulama Syafi'i, Hanafi, dan sebagian ulama Maliki, Maslahah Mursalah tidak dapat menjadi hujjah atau dalil. Mereka berpendapat bahwa syariat Islam selalu memperhatikan kemaslahatan umat manusia melalui nash dan qiyas yang sah. Dengan membangun hukum Islam semata-mata berdasarkan maslahat, akan membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
b. Al GhazaliÂ
  Berrpendapat bahwa hanya Maslahah Mursalah yang bersifat dharuriyah yang dapat dijadikan dalil. Namun, maslahah yang bersifat hajjiyah dan tahsiniyah tidak dapat dijadikan dalil.
c.Imam Malik dan Imam Haromain  Â
   Menganggap Maslahah Mursalah sebagai dalil hukum syariah. Mereka mengemukakan argumen berikut:
1.Nash-nash syariah menegaskan bahwa syariat diundangkan untuk merealisasikan kemaslahatan manusia. Oleh karena itu, menggunakan Maslahah Mursalah sebagai dalil sejalan dengan karakter syariah, prinsip-prinsipnya, dan tujuan pensyariatannya.
2. Kemaslahatan manusia dan cara mencapainya dapat berubah berdasarkan perbedaan tempat dan keadaan. Jika hanya mengikuti kemaslahatan yang telah ditetapkan oleh nash, itu akan mempersempit yang telah dilapangkan oleh Allah dan mengabaikan banyak kemaslahatan bagi manusia, yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip umum syariah.
3. Banyak mujtahid dari kalangan sahabat dan generasi sesudahnya melakukan ijtihad berdasarkan maslahah dan tidak ditentang oleh siapapun, sehingga ini dianggap sebagai ijma'.
d. Ibnu Al QayyimÂ
menyatakan bahwa ada kelompok muslim yang berlebihan dalam menjaga Maslahah Mursalah, sehingga mereka membuat syariat menjadi terlalu terbatas dan tidak mampu memenuhi kemaslahatan manusia. Ada yang bahkan melampaui batas, memperbolehkan hal-hal yang bertentangan dengan syariat Allah dan menyebabkan kejahatan dan kerusakan yang luas.
C.Pertimbangan dalam poligami:
   Pada dasarnya, dalam Islam, poligami diperbolehkan dengan syarat adil terhadap istri dan anak-anaknya. Namun, Islam menyadari bahwa poligami memiliki risiko karena manusia secara alami cenderung cemburu, yang dapat menyebabkan konflik dalam keluarga.
  Islam memperlakukan kebolehan berpoligami dalam Al-Qur'an sebagai sebuah akibat, bukan sebagai inti ajaran. Islam tidak membuka pintu poligami secara luas, melainkan mempertimbangkan keadaan tertentu, dan tidak menutup pintu itu sepenuhnya, meninggalkan ruang bagi keadaan tertentu untuk menerapkannya.
  Ayat yang paling populer membicarakan poligami adalah Q.S An-Nisa' ayat 3. Menurut Quraish Shihab, penafsiran yang terbaik tentang ayat 3 dari surat an-Nisa' adalah bahwa itu berdasarkan penjelasan dari istri Nabi Muhammad, 'Aisyah ra. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan yang lainnya mencatat bahwa Urwah Ibn Zubair bertanya kepada 'Aisyah ra tentang ayat tersebut.
   'Aisyah ra menjelaskan bahwa ayat tersebut mengenai anak yatim yang diasuh oleh seorang wali, di mana harta mereka digabungkan dengan harta wali, dan wali tersebut tertarik pada kecantikan dan harta anak yatim tersebut sehingga ingin menikahinya tanpa memberikan mahar yang wajar. 'Aisyah ra menjelaskan bahwa setelah turunnya ayat tersebut, para sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad tentang perempuan, dan kemudian turunlah ayat 127 dari surat an-Nisa'.
  'Aisyah ra melanjutkan dengan menjelaskan bahwa ayat tersebut menyatakan bahwa para wali enggan menikahi anak yatim yang memiliki sedikit harta dan cantik. Maka dalam ayat 3 dari surat an-Nisa', mereka dilarang menikahi anak yatim yang mereka inginkan karena harta dan kecantikannya, tetapi mereka tidak mau bersikap adil terhadap mereka.
  Sebagai negara hukum, Indonesia mengatur masalah poligami melalui Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan Kompilasi Hukum Islam. Peraturan-peraturan ini digunakan oleh hakim sebagai acuan dalam mengambil keputusan terkait kasus-kasus yang melibatkan poligami.
BAB III
MUHAMMAD QURAISH SHIHAB DAN PEMIKIRANNYA
TENTANG POLIGAMI
A.Biografi Quraish Shihab
   Quraish Shihab memulai pendidikan formalnya di sekolah dasar di Ujung Pandang, kemudian melanjutkan ke pondok pesantren Darul Hadis al-Falaqiyah di Malang. Pada jenjang pendidikan menengah atas, ayahnya mengirimnya ke Mesir, di mana ia melanjutkan studi ke Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadis, dan menyelesaikannya pada tahun 1967. Ia memperoleh gelar M.A. dengan jurusan yang sama pada tahun 1969 dengan tesis berjudul "al-I'jaz al-Tashri'i al-Qur'an al-Karim".
   Quraish Shihab juga aktif di berbagai organisasi profesional, termasuk sebagai Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Ia menjabat sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998), kemudian menjadi Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan pada awal tahun 1998, sebelum diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Republik Arab Mesir dan Republik Djibouti dengan kedudukan di Kairo.
B.Pemikiran
  Quraish Shihab mengibaratkan poligami seperti pintu darurat di pesawat yang harus selalu tertutup rapat, tetapi tidak boleh dikunci sepenuhnya. Pintu ini hanya boleh dibuka dalam situasi darurat dengan izin dari pilot. Orang yang ingin membuka pintu darurat atau yang duduk di dekatnya haruslah seseorang yang mampu dan tahu cara membukanya.
  Salah satu kesalahpahaman paling umum tentang Nabi Muhammad adalah praktik poligami yang dilakukannya. Poligami sudah ada jauh sebelum Islam datang, bahkan para Nabi dan tokoh terhormat lainnya juga melakukannya.
  Dalam Perjanjian Lama, disebutkan bahwa Nabi Daud memiliki seratus istri dan Nabi Sulaiman memiliki seribu istri. Tidak dapat disangkal bahwa Nabi Muhammad juga berpoligami.
  Namun, yang sering diabaikan oleh para pengkritiknya adalah bahwa Nabi Muhammad baru melakukan poligami setelah 35 tahun hidup monogami dengan Siti Khadijah. Setelah Siti Khadijah wafat dan Nabi Muhammad menduda, barulah beliau menikahi Saudah binti Zam'ah.
  Jika ada yang berpendapat bahwa poligami adalah sunnah Rasulullah Saw, Quraish Shihab menekankan bahwa tidak semua tindakan Nabi Saw adalah sunnah, dan tidak semua yang dilakukan oleh Nabi Muhammad perlu dicontoh. Demikian pula, tidak semua yang wajib atau haram bagi beliau juga berlaku bagi umatnya.
   Beliau menambahkan bahwa Huruf " " dalam konteks ini mengindikasikan "atau" bukan "dan", sehingga mengimplikasikan pilihan antara dua, tiga, atau empat. Instruksi Rasulullah Saw kepada Ghailan ats-Tsaqafi untuk mengambil empat istri dan menceraikan enam lainnya mencerminkan hal ini.
   Selain itu, Quraish Shihab juga membahas tentang istri-istri Nabi Saw dan alasan Nabi Saw berpoligami setelah sekian lama bermonogami dengan Siti Khadijah. Beberapa alasan Nabi Saw berpoligami adalah
1)Saudah binti Zam'ah
  adalah seorang wanita tua yang menjadi janda setelah suaminya meninggal di Etiopia, memaksanya kembali ke Mekkah dengan tanggung jawab mengurus anak-anaknya dan risiko dipaksa untuk murtad.
   Wanita berusia 66 tahun ini dinikahi oleh Nabi Muhammad Saw atas saran Khaulah, sahabat almarhumah Khadijah, dengan tujuan agar Saudah dapat merawat anak-anak Nabi. Selain itu, Saudah dan suaminya, Sakran bin Amr, adalah orang-orang pertama yang memeluk Islam dan mengalami penganiayaan di Mekkah, sehingga mereka harus hijrah ke Habasyah.
2)Siti Aisyah binti Abu Bakar
   menurut riwayat yang umum, dilahirkan pada tahun keempat masa kenabian dan menikah dengan Nabi Saw pada tahun kesepuluh masa kenabian. Namun, baru pada tahun pertama Hijriyah, saat berusia 12 tahun, dia mulai hidup bersama Nabi sebagai istri.
   Namun, sebagian ulama menilai riwayat ini sangat lemah karena hanya diriwayatkan oleh Hisyam bin Urwah yang sudah berusia lanjut dan tinggal di Madinah, tanpa ada riwayat serupa dari penduduk Madinah lainnya. Ali ash-Shabuni berpendapat bahwa pernikahan Nabi dengan Aisyah memiliki hikmah, salah satunya adalah karena kebanyakan wanita Arab malu untuk bertanya tentang masalah-masalah agama, seperti haid, jinabah, dan sebagainya.
   Rasulullah dikenal sebagai sosok yang pemalu, sehingga jika ditanya tentang masalah wanita, beliau sering kali menjawab dengan kiasan. Contohnya, ketika seorang wanita bertanya tentang cara membersihkan darah haid, Rasulullah malu untuk menjawab secara langsung, dan Siti Aisyah kemudian mengajarkan wanita tersebut secara langsung.
3)Hafsah binti Umar r.a
   Perkawinan Nabi Saw dengan Hafsah bertindak sebagai penghibur bagi sahabat Umar, karena sebelumnya Abu Bakar dan Usman menolak untuk menikahi Hafsah. Umar, yang sedih melihat putrinya, Hafsah, hidup sendirian setelah kematian suaminya dan ditolak oleh Abu Bakar serta Usman, membagikan kesedihannya kepada Rasulullah Saw.
   Rasulullah kemudian menyetujui untuk menikahi Hafsah, menunjukkan persahabatan dengan Umar dan untuk menghindari perbedaan perlakuan antara Umar dan Abu Bakar, yang sebelumnya telah menikahi putrinya, Aisyah.
4)Zainab binti Khuzaimah
   adalah seorang janda setelah suaminya gugur dalam Perang Uhud, namun tidak ada satu pun dari kaum Muslim yang tertarik untuk menikahinya. Oleh karena itu, Nabi Muhammad Saw menikahinya.
   Oleh karena itu, tidaklah benar jika ada yang mengatakan bahwa alasan mereka melakukan poligami adalah untuk meniru perkawinan Rasulullah Saw. Jika mereka benar-benar ingin mencontoh Nabi, apakah mereka akan meniru Nabi yang menikahi janda-janda (kecuali Aisyah) dan wanita lanjut usia? Dengan demikian, kemungkinan besar mereka tidak akan menyetujui gagasan tersebut.
C. Syarat Poligami menurut Quraish Shihab
Menurut Quraish Shihab, syarat poligami adalah sebagai berikut:
1.Memiliki keyakinan atau menduga keras bahwa dia dapat bertindak adil. Adil dalam konteks ini tidak berkaitan dengan cinta, karena perasaan atau cinta tidak bisa diatur secara adil, melainkan adil dalam hal materi.
2.Mampu secara finansial (membelanjai atau menanggung) dan tidak memiliki banyak tanggungan. Konsep ini diinterpretasikan oleh Imam Syafi'i sebagai "tidak banyak tanggunganmu", yang berarti tidak memiliki banyak anak karena anak merupakan tanggung jawab finansial.
3.Mendapat izin dari Pengadilan Agama
Menurut Quraish Shihab, poligami bisa diibaratkan sebagai pintu darurat di dalam pesawat, yang hanya boleh ditempati oleh orang yang mampu dan tahu cara membukanya. Pintu darurat ini tidak boleh ditutup rapat dan hanya boleh dibuka dalam situasi darurat, serta dengan izin dari pilot (Pengadilan Agama).
D. Menurut Quraish Shihab, kriteria wanita yang dapat dinikahi dalam poligami adalah sebagai berikut:
1.Janda-janda tua yang membutuhkan pertolongan. Quraish Shihab menyatakan dalam sebuah acara bahwa jika seseorang ingin berpoligami dengan alasan meniru Nabi Saw, maka sebaiknya menikahi janda-janda tua karena Nabi Saw melakukannya untuk memberikan perlindungan kepada mereka.
2.Janda yang suaminya meninggal di medan perang. Quraish Shihab menunjukkan bahwa peperangan cenderung merenggut lebih banyak nyawa laki-laki daripada perempuan. Oleh karena itu, dia menyatakan bahwa poligami tidaklah menjadi anjuran atau perintah, karena jika itu merupakan perintah, Allah akan menyediakan lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Quraish Shihab menggambarkan bahwa dalam kehidupan, jumlah perempuan cenderung lebih banyak daripada jumlah laki-laki, sehingga poligami tidaklah menjadi kebutuhan yang mendesak.
BAB IV
Analisis Pemikiran Quraish Shihab Tentang Kriteria Wanita yang Boleh Dinikahi dalam Poligami
A.Berdasarkan penelusuran dan pengumpulan data mengenai pandangan Quraish Shihab tentang kriteria wanita yang dapat dinikahi dalam poligami, diperoleh informasi mengenai perspektifnya terhadap ayat-ayat poligami serta penafsirannya. Hasil penelusuran ini mencakup pandangan-pandangan yang diungkapkan oleh Quraish Shihab dalam berbagai buku dan saluran YouTube. Dari sudut pandang Quraish Shihab tersebut, dapat diperinci sebagai berikut:
1.Poligami tidaklah merupakan anjuran ataupun kewajiban.
  Menurut Quraish Shihab, poligami merupakan solusi atau alternatif yang dapat diambil dalam situasi darurat. Ia sering diibaratkan sebagai pintu darurat dalam pesawat yang hanya boleh dibuka dalam keadaan tertentu dan dengan izin dari petugas pesawat, dan tidak boleh ditutup rapat.
  Mayoritas ulama sepakat bahwa poligami adalah sebuah pilihan yang diperbolehkan. Hal ini terlihat dalam ayat an-Nisa ayat 3, di mana perintah disertai dengan syarat-syarat tertentu.
2.Syarat poligami adalah sebagai berikut:
*Mengetahui dan meyakini atau menduga keras bahwa dia dapat bertindak adil. Pendapat menarik yang diajukan adalah bahwa adil adalah rukun poligami, bukanlah syarat poligami.
Jika yang dimaksud dengan "syarat" adalah adil terhadap istri-istrinya setelah berpoligami, maka hal tersebut seharusnya disebut sebagai "rukun" berpoligami, seperti yang dikenal dalam istilah fiqih. Jika adil dianggap sebagai rukun berpoligami, maka jika suami tidak bertindak adil, maka pernikahan poligami tersebut batal.
Dari penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa seorang pria harus yakin bahwa dia mampu bertindak adil ketika ingin memiliki lebih dari satu istri. Jika dia yakin bahwa dia bisa bertindak adil terhadap istri-istrinya, maka dia dapat melakukan poligami. Namun, jika dia yakin bahwa dia tidak akan bisa bertindak adil terhadap istri-istrinya, maka sebaiknya dia tidak melakukan poligami, karena khawatir akan terjadi ketidakadilan.
* Mampu dalam hal ekonomi
Dalam konteks keuangan dan tanggungan keluarga, tidak dapat disangkal bahwa istri merupakan tanggungan suami dalam memberikan nafkah, baik secara materiil maupun emosional. Jumlah istri yang bertambah akan meningkatkan tanggungan ini.
Untuk memastikan bahwa kebutuhan hidup istri dan anak-anak tercukupi, suami harus dapat menunjukkan bukti penghasilan melalui surat keterangan dari tempat kerja, surat keterangan pajak penghasilan, atau dokumen lain yang dapat diterima oleh Pengadilan. Selain itu, diperlukan izin dari Pengadilan Agama, meskipun tidak selalu memerlukan izin dari istri.
* Mendapatkan persetujuan dari Pengadilan Agama
merupakan persyaratan yang harus dipenuhi, meskipun tidak mendapat persetujuan dari istri. Penting untuk dicatat bahwa Pengadilan Agama adalah lembaga yang memiliki wewenang dalam penyelesaian masalah perdata bagi umat Islam, seperti perkawinan, harta warisan, dan wakaf.
3.Alasan untuk berpoligami
 dapat dibagi menjadi beberapa situasi, antara lain:
a.Istri pertama mengalami sakit yang menghalangi dia untuk memenuhi kewajibannya sebagai istri.
b.Istri pertama tidak dapat memiliki anak, sedangkan suami sangat ingin memiliki keturunan.
   Penting untuk dicatat bahwa alasan-alasan ini sebenarnya mirip dengan alasan yang tercantum dalam Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam. Terdapat kesamaan antara alasan-alasan untuk poligami dan alasan-alasan untuk perceraian yang terdapat dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, khususnya dalam hal salah satu pihak mengalami cacat atau penyakit yang menghalangi mereka untuk menjalankan peran mereka sebagai suami atau istri.
B.Relevansi Pandangan Quraish Shihab dalam Pembaharuan Islam
  Dengan mempertimbangkan situasi yang disebutkan di atas, penulis menggali pandangan Quraish Shihab tentang kriteria wanita yang memenuhi syarat untuk dinikahi dalam poligami. Menurut beliau, dalam kondisi normal tanpa keadaan darurat, terutama jika alasan poligami dikaitkan dengan mengikuti sunnah Nabi, disarankan untuk mengikuti jejak Nabi dengan menikahi janda-janda tua. Sebagian besar istri Nabi sendiri adalah janda-janda tua yang membutuhkan perlindungan dan bantuan.
   Dari perspektif pandangan Quraish Shihab tentang kriteria wanita yang cocok untuk poligami, penulis menyimpulkan bahwa mengusulkan janda-janda tua atau janda yang ditinggal mati suaminya dalam perang sebagai penawaran solusi dalam Counter Legal Drafting untuk pembaharuan Kompilasi Hukum Islam tidaklah relevan dengan situasi Indonesia saat ini.
   Ini karena tidak semua motif laki-laki yang ingin berpoligami adalah untuk mengikuti sunnah Rasul; motif-motif lainnya bervariasi dari yang positif hingga negatif, seperti keinginan untuk memiliki keturunan atau karena istri tidak mampu memenuhi kewajibannya, bahkan hanya karena dorongan nafsu belaka. Selain itu, saat ini Indonesia berada dalam kondisi aman tanpa peperangan, sehingga kemungkinan seorang suami meninggal dalam perang menjadi tidak relevan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H