Bab 1: Warisan Tak Terduga
Sabrina duduk di meja makan, menatap surat di hadapannya dengan rasa ingin tahu campur cemas. Surat dari pengacara itu berisi kabar mengejutkan---ia mewarisi sebuah rumah tua dari buyutnya yang baru saja meninggal. Meskipun rumah itu berada di pinggir desa dan dikenal angker, rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Ia selalu mendengar cerita-cerita misterius tentang rumah itu dari neneknya. Konon, rumah tersebut menyimpan rahasia gelap dan kisah tragis yang melibatkan generasi sebelumnya.
"Jadi, kau benar-benar akan pergi?" tanya sahabatnya, Lila, saat mereka bertemu di kafe.
Sabrina mengangguk, merasa ada dorongan tak terelakkan untuk menjelajahi tempat itu. "Aku harus tahu kenapa buyutku memilihku sebagai pewaris," ujarnya.
Lila mengernyit, menyarankan agar Sabrina berpikir dua kali. "Rumah itu tidak hanya tua, tapi juga terkenal angker. Banyak yang bilang, hantu buyutmu masih berkeliaran di sana."
Malam itu, Sabrina mempersiapkan segala sesuatunya. Ia mengemas beberapa pakaian dan membawa senter serta kamera untuk mendokumentasikan pengalamannya. Sesaat sebelum berangkat, ia melirik ke foto buyutnya yang tergantung di dinding. Wanita itu tampak anggun, dengan mata yang menyimpan banyak cerita. Sabrina merasa ada ikatan kuat antara mereka, seolah buyutnya sedang memanggilnya untuk kembali.
Ketika Sabrina tiba di desa, suasana terasa sunyi. Jalan setapak menuju rumah dipenuhi rumput liar, dan pepohonan di sekelilingnya seolah merangkul tempat itu dengan erat. Rumah tua itu berdiri angkuh di ujung jalan, dengan cat yang sudah mengelupas dan jendela-jendela yang tertutup rapat. Meskipun terlihat mengerikan, Sabrina merasa ada sesuatu yang memikat.
Malam mulai merayap, dan Sabrina mengambil napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk. Suara pintu yang berderak membuatnya terloncat, dan ia menyalakan senter. Ruang tamu dipenuhi debu, dan bau lembap menyeruak. Lampu-lampu antik menggantung rendah, memberikan suasana suram yang membuat bulu kuduknya meremang. Di dinding, foto-foto keluarganya menghiasi ruangan, tetapi mata mereka tampak penuh misteri, seolah mengawasi setiap gerakannya.
Sabrina meraba dinding, berusaha mencari jejak masa lalu. Dalam hati, ia berharap bisa merasakan kehadiran buyutnya, mencari petunjuk tentang mengapa rumah ini diwariskan padanya. Namun, seiring berjalannya waktu, rasa takut mulai menggerogoti kebeSabrinaannya. Suara angin yang berdesir di celah-celah jendela terdengar seperti bisikan, mengingatkannya pada cerita-cerita yang sering diceritakan neneknya.
Tiba-tiba, Sabrina merasakan sesuatu yang aneh. Ada perasaan tak nyaman di tenggorokannya, seolah ada yang memperhatikannya. Ia berusaha menenangkan diri dan mengambil napas dalam-dalam.
"Mungkin hanya imajinasiku," gumamnya pada diri sendiri. Namun, saat ia melangkah lebih jauh ke dalam rumah, suara bisikan semakin keras, seolah memanggil namanya.
Sabrina merasa terjebak antara rasa ingin tahu dan ketakutan. Ia tahu ia harus menemukan alasan mengapa rumah ini dipilih sebagai warisan. Dengan semangat yang membara, Sabrina melangkah lebih dalam, tidak menyadari bahwa petualangannya baru saja dimulai. Dalam setiap sudut rumah tua itu, tersimpan rahasia yang menunggu untuk diungkap---sebuah kisah tentang cinta, kehilangan, dan mungkin, keadilan yang telah lama ditunggu.
Bab 2: Suara dari Masa Lalu
Malam kedua di rumah warisan buyutnya terasa lebih menegangkan. Sabrina terbangun dari tidurnya, dikelilingi oleh kesunyian yang menekan. Meskipun matanya terpejam, dia merasakan ada sesuatu yang aneh. Suara bisikan lembut, seperti gema dari masa lalu, melayang-layang di udara. Setiap kali ia berusaha tidur, suara itu semakin keras, seolah memanggilnya.
Sabrina memutuskan untuk keluar dari kamar. Dengan senter di tangan, dia menyusuri lorong gelap yang penuh dengan bayangan. Dinding-dinding berderit, seakan menahan rahasia yang tak ingin diungkapkan. Ketika dia mendekati ruang tamu, suara itu semakin jelas---sebuah tangisan lirih, seolah datang dari dalam rumah. Sabrina menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya.
"Ini hanya imajinasiku," bisiknya, meski hatinya berdebar kencang.
Dia melangkah lebih jauh, mengikuti suara itu hingga tiba di depan pintu ruang bawah tanah yang tertutup rapat. Pintu kayu tua itu terlihat lebih menakutkan dalam gelap. Tanpa pikir panjang, Sabrina membuka pintu dengan hati-hati, suara derak kayu menggema di seluruh ruangan.
Dalam kegelapan yang pekat, Sabrina merasa terhisap ke dalam dunia lain. Dia menyalakan senter, dan cahaya menyapu ruangan. Di sana, terdapat tumpukan barang-barang lama yang ditutupi debu. Hati Sabrina berdegup kencang ketika matanya tertuju pada sebuah peti kayu yang terletak di sudut. Peti itu tampak usang, dengan ukiran yang hampir tak terbaca. Suara tangisan itu seolah semakin mendekat, memintanya untuk membuka peti itu.
Dengan tangan bergetar, Sabrina mendekati peti. Dia mengangkat penutupnya, dan seketika itu juga, aroma yang busuk menyeruak keluar. Di dalamnya, terdapat barang-barang milik buyutnya: surat-surat kuno, foto-foto buram, dan sebuah buku harian yang sudah sangat usang. Sabrina merasakan jantungnya berdegup cepat. Di saat itulah, suara tangisan menjadi lebih jelas, dan dia merasa ada yang mengawasinya.
Dia mengambil buku harian itu dan membuka halamannya. Tulisannya terlihat tidak teratur, seolah ditulis dalam keadaan terdesak. Setiap kalimat penuh dengan rasa sakit dan kesedihan, menggambarkan kehidupan buyutnya yang tidak pernah bahagia. Sabrina terus membaca, dan saat matanya melintas di satu bagian, ia terhenti. Tulisan itu menyebutkan sosok wanita berpakaian putih yang sering muncul dalam mimpinya, seorang hantu yang merindukan keadilan.
"Harus ada sesuatu yang bisa kulakukan," bisiknya kepada dirinya sendiri.
Sabrina merasa terhubung dengan cerita buyutnya. Namun, saat dia mengangkat wajahnya, sebuah bayangan melintas cepat di sudut pandangnya. Sabrina menoleh, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Suara tangisan itu kini berubah menjadi jeritan, memecah kesunyian malam.
Sabrina berlari ke pintu, tetapi saat dia berusaha membuka, pintu itu seolah terkunci dengan kekuatan yang tak terlihat. Dalam kepanikan, dia mendengar suara lembut, "Bantu aku..."
Sabrina terhuyung, merasakan ketakutan yang melanda. Dia menyadari, rumah ini tidak hanya menyimpan barang-barang lama; ada sesuatu yang lebih dalam---sebuah jiwa yang terperangkap.
Akhirnya, dengan segenap tenaga, Sabrina berhasil membuka pintu dan melarikan diri ke luar. Dia berdiri di halaman, napasnya terengah-engah. Suara tangisan itu kini menjadi hening, tetapi dia tahu, kehadiran itu masih ada di sekitar. Di bawah sinar bulan yang purnama, Sabrina menatap rumah itu dengan rasa takut dan penasaran. Dia bertekad untuk menemukan kebenaran---meski itu berarti menghadapi ketakutannya yang paling dalam.
Bab 3: Hantu dalam Mimpi
Setelah malam yang mencekam di ruang bawah tanah, Sabrina berusaha untuk tidur, tetapi tidurnya dipenuhi oleh mimpi buruk. Dalam mimpinya, dia melihat sosok wanita berpakaian putih, wajahnya tidak jelas, tetapi air mata mengalir di pipinya. Wanita itu seolah-olah terjebak dalam kesedihan yang mendalam, dan setiap kali Sabrina mencoba mendekat, wanita itu menghilang, digantikan oleh kegelapan yang pekat.
Ketika Sabrina terbangun, keringat dingin membasahi pelipisnya. Jam dinding berdentang satu kali, menunjukkan bahwa masih sangat pagi. Namun, rasa ketakutan yang mendalam menyelimuti dirinya. Dia merasa bahwa sesuatu yang jahat mengintainya di dalam rumah. Sabrina mengambil napas dalam-dalam dan berusaha menenangkan diri, tetapi ketegangan di dalam hatinya semakin menguat.
Malam berikutnya, Sabrina kembali mendengar suara bisikan, kali ini lebih kuat dan lebih jelas. "Bantu aku...," suara itu menggema di seluruh ruangan, membuatnya merinding.
Dengan berani, Sabrina beranjak dari tempat tidur dan mengumpulkan kebeSabrinaan untuk mencari tahu dari mana suara itu berasal. Ia meraih senter dan melangkah ke lorong yang gelap.
Di lorong itu, dia merasakan udara dingin yang menusuk, seolah-olah ada sesuatu yang mengawasinya dari bayang-bayang. Suara tangisan wanita itu kembali terdengar, kali ini semakin dekat. Sabrina melangkah pelan menuju ruang tamu, di mana cahaya bulan menembus jendela yang berdebu. Di sana, dia melihat bayangan samar bergerak di sudut ruangan.
"Siapa itu?" teriak Sabrina, suaranya pecah di kegelapan.
Namun, hanya hening yang menyambutnya. Sabrina merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia tahu dia tidak sendirian. Saat dia berbalik untuk pergi, tiba-tiba, suara jeritan terdengar menggema di telinganya. Sabrina terhenti, terperangkap dalam ketakutan.
Dia meraih pegangan jendela untuk menenangkan dirinya, tetapi saat melakukannya, dia merasakan sentuhan dingin di punggungnya. Terkejut, Sabrina berbalik, dan di hadapannya berdiri sosok wanita berpakaian putih, wajahnya terhalang bayangan. Wanita itu menatapnya dengan mata kosong yang penuh dengan kesedihan dan kepedihan. Sabrina merasa terhisap ke dalam tatapan itu, seolah-olah dia bisa merasakan segala penderitaan yang dialami wanita tersebut.
"Bantu aku..." suara wanita itu, lirih dan penuh harap, mengguncang jiwanya.
Sabrina merasakan air mata mengalir di pipinya. Dia ingin berlari, tetapi kakinya seolah terpaku di tempatnya. Sosok itu mendekat, dan Sabrina bisa merasakan angin dingin berhembus saat wanita itu melintas di depannya. Sabrina merasa tercekik oleh ketakutan, tetapi ada sesuatu di dalam dirinya yang mendorongnya untuk tetap berdiri.
"Kenapa kau terjebak di sini?" Sabrina berbisik, suaranya hampir tidak terdengar.
Wanita itu hanya menggelengkan kepala, lalu tiba-tiba, cahaya lampu senter Sabrina mulai berkedip-kedip sebelum mati total. Ruangan itu terbenam dalam kegelapan, dan Sabrina merasa semakin tertekan.
Dia mencari jalan keluar, tetapi semua pintu seolah menghilang. Dalam kegelapan, Sabrina mendengar suara berdesir, seolah-olah sesuatu mendekatinya. Suara itu semakin jelas, dan Sabrina merasakan angin dingin menyapu wajahnya.
"Bantu aku..." suara itu kembali bergema, dan kali ini, Sabrina merasakan desakan yang tak tertahankan untuk melarikan diri.
Dengan segenap tenaga, Sabrina berlari menuju tangga, berharap menemukan tempat yang lebih aman. Dia tidak berhenti hingga tiba di kamar tidurnya, mengunci pintu dengan cepat. Hatinya berdebar-debar, dan air mata mengalir di pipinya. Dia merasa sangat lelah, tetapi ketakutan membuatnya terjaga sepanjang malam.
Ketika fajar mulai menyingsing, Sabrina menyadari bahwa dia tidak bisa terus seperti ini. Dia harus menemukan cara untuk mengungkap rahasia buyutnya, meskipun itu berarti menghadapi kegelapan dan ketakutan yang mengintainya di rumah itu. Dengan tekad yang bulat, Sabrina bersiap untuk kembali menghadapi kengerian yang mengungkap misteri rumah warisan buyutnya.
Bab 4: Keterikatan
Setelah malam yang penuh teror, Sabrina merasa tidak mungkin tinggal lebih lama di rumah itu tanpa memahami kebenaran di balik semua kejadian aneh. Dia memutuskan untuk menjelajahi lebih dalam, berharap menemukan jawaban yang akan membebaskan buyutnya dan mungkin juga dirinya sendiri dari ketakutan yang mengintai.
Hari itu, dia menemukan catatan dalam buku harian buyutnya yang menyebutkan sebuah ruangan tersembunyi di lantai atas, di balik dinding yang tampaknya biasa. Dengan semangat dan keberanian yang baru, Sabrina menaiki tangga menuju lantai atas, langkahnya pelan dan penuh kehati-hatian. Setiap derit langkahnya seakan menggema di seluruh rumah, membangkitkan kembali rasa takut yang menggerogoti hatinya.
Sesampainya di lantai atas, Sabrina merasakan hawa dingin yang menusuk. Dia mencari-cari dinding yang mungkin menyimpan rahasia. Tiba-tiba, saat meraba dinding, jari-jarinya menyentuh sesuatu yang tidak biasa. Ada tonjolan kecil yang berbeda dari permukaan lainnya. Sabrina mendorongnya, dan seketika itu juga, bagian dinding terangkat, mengungkapkan sebuah ruangan kecil yang gelap.
Dia menyalakan senter dan melangkah masuk. Ruangan itu dipenuhi barang-barang kuno: boneka-boneka tua dengan wajah menakutkan, buku-buku yang sudah lapuk, dan potret-potret keluarga yang tampak cemas. Sabrina merasakan hawa aneh di dalam ruangan itu---sebuah kehadiran yang tidak dapat dijelaskan. Tiba-tiba, dia mendengar suara pelan, seperti suara anak kecil yang berbisik.
"Jangan pergi...," bisik suara itu, membuat bulu kuduk Sabrina berdiri.
Dia berbalik, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Dia merasakan ada sesuatu yang mengawasinya, dan rasa panik mulai merayap ke dalam dirinya. Sabrina mencoba untuk menenangkan diri, tetapi ketakutan membuatnya tidak bisa berpikir jernih.
Saat dia mengalihkan pandangan kembali ke ruangan, tiba-tiba pintu di belakangnya tertutup keras. Suara dentingan logam terdengar, seolah-olah pintu itu terkunci dengan sendirinya. Sabrina berusaha membuka pintu, tetapi tidak ada gunanya. Dia terjebak.
Mendengar suara bergetar dari arah jendela, Sabrina berlari ke sana, berharap bisa melarikan diri. Tetapi saat dia mendekat, jendela itu terbuka dengan sendirinya, menampilkan pemandangan gelap di luar. Sabrina melihat bayangan melintas di luar jendela, dan dia merasa seolah-olah sosok yang sama yang muncul dalam mimpinya sedang memanggilnya.
"Bantu aku..." suara itu semakin dekat, dan Sabrina merasa terdesak oleh rasa penasaran dan ketakutan.
Dia kembali ke tengah ruangan, tetapi saat dia berbalik, dia melihat sosok wanita berpakaian putih berdiri di sudut, wajahnya kini lebih jelas---wajah yang penuh penderitaan.
"Kenapa kau terjebak di sini?" tanya Sabrina, suaranya bergetar.
Wanita itu mendekat, dan Sabrina merasa angin dingin berhembus di sekelilingnya. "Aku tidak bisa pergi...," suara wanita itu menembus kegelapan. "Ada sesuatu yang harus kau temukan..."
Sebelum Sabrina bisa bertanya lebih lanjut, lampu senter di tangannya berkedip-kedip, kemudian mati total, meninggalkannya dalam kegelapan. Sabrina berusaha menenangkan diri, tetapi suara jeritan anak kecil semakin keras, membuatnya hampir kehilangan akal. "Tolong...!" teriak Sabrina, tetapi tidak ada yang mendengar.
Ketika lampu kembali menyala, Sabrina melihat sekeliling ruangan dan terkejut melihat benda-benda yang telah bergeser. Boneka-boneka itu tampak lebih hidup, seolah-olah mereka menatapnya. Sabrina merasa ada yang tidak beres. Dengan kebeSabrinaan yang tersisa, dia kembali meraba dinding mencari jalan keluar.
Namun, saat dia meraba-raba, dia menemukan sesuatu yang tajam. Dengan cepat, dia menarik tangannya kembali. Dia menyalakan senter dan melihat potongan kayu yang tergores, dengan darah segar mengalir dari lukanya. Sabrina merasa dunia di sekelilingnya berputar. Ada sesuatu yang sangat salah.
"Bantu aku...," suara wanita itu kembali terdengar, lebih kuat dan mendesak.
Sabrina tahu dia tidak bisa mengabaikan panggilan itu lagi. Dengan tekad yang bulat, dia berusaha mencari tahu lebih dalam, berjanji pada dirinya sendiri untuk mengungkap misteri ini, meskipun itu berarti menghadapi kengerian yang lebih besar.
Dengan hati yang berdebar, Sabrina memutuskan untuk kembali ke ruang bawah tanah dan menggali lebih dalam, berharap menemukan jawaban tentang apa yang terjadi pada buyutnya dan kenapa hantu wanita itu terjebak di rumah ini. Saat dia beranjak pergi, dia merasakan sebuah tangan dingin menyentuh bahunya, dan dia tahu, ketakutan sejati baru saja dimulai.
Bab 5: Membebaskan Jiwa
Sabrina berdiri di depan cermin di kamarnya, merapikan rambut yang acak-acakan dan menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Setelah pengalaman malam sebelumnya, dia merasa harus melakukan sesuatu untuk mengakhiri penderitaan buyutnya dan sosok wanita berpakaian putih yang terus mengikutinya. Dia tahu bahwa untuk membebaskan jiwa yang terperangkap, dia perlu melakukan ritual pengusiran.
Setelah mencari informasi dalam buku harian buyutnya, Sabrina menemukan sebuah catatan yang menjelaskan cara melakukan ritual tersebut. Di dalamnya terdapat petunjuk untuk mengumpulkan beberapa benda yang dianggap sakral: lilin putih, garam, dan foto buyutnya. Dia bertekad untuk melakukannya malam itu juga.
Malam menjelang, dan Sabrina mengatur ruangan kecil di lantai atas. Dia menyalakan lilin putih dan menempatkan garam di sekelilingnya dalam bentuk lingkaran. Di tengah lingkaran, dia meletakkan foto buyutnya yang tampak anggun dan penuh kasih. Sabrina merasakan getaran aneh saat dia mengamati foto itu, seolah ada koneksi kuat antara mereka.
Dia mulai membaca doa yang tertulis dalam buku harian dengan suara yang tegas, berusaha mengusir rasa takut yang mendera hatinya. Setiap kata yang diucapkannya membawa energi ke dalam ruangan. Lilin menyala lebih terang, dan bayangan di dinding bergerak seolah merespons panggilannya. Sabrina bisa merasakan kehadiran sosok wanita itu mendekat.
"Bebaskan aku..." suara itu kembali menggema di telinganya, membuat Sabrina merinding.
Tetapi kali ini, dia tidak mundur. Dia melanjutkan doanya, menegaskan niatnya untuk membantu buyutnya.
Sekelebat angin kencang tiba-tiba menerpa ruangan, memadamkan sebagian lilin. Sabrina berusaha untuk tetap fokus, meskipun ketakutan mulai merayap ke dalam dirinya. Dia tahu dia harus bertahan. Dengan suara yang semakin keras, dia melanjutkan doanya.
"Aku memanggilmu, jiwa yang terperangkap! Datanglah dan dengarkan! Saatnya untuk pergi!" Sabrina berteriak, mengalirkan semua emosinya ke dalam kata-kata itu.
Lilin berkedip-kedip seolah merespons panggilan jiwanya.
Dalam sekejap, sosok wanita berpakaian putih muncul di hadapannya, wajahnya lebih jelas dan penuh rasa harap. "Aku tidak bisa pergi...," dia berbisik, suaranya penuh kesedihan.
Sabrina merasa hati nuSabrinanya tergerak. Dia bisa melihat betapa menderitanya wanita itu, dan itu membuatnya semakin bertekad untuk membebaskannya.
"Lepaskan semua bebanmu!" Sabrina berteriak, "Biarkan jiwa ini bebas! Kamu tidak sendirian!"
Dengan kata-kata itu, dia merasakan getaran kuat di udara, seolah-olah energi di sekelilingnya bergolak. Angin kencang berputar di dalam ruangan, menerbangkan lilin-lilin dan menciptakan suasana mencekam. Sabrina berusaha untuk tidak panik, tetap fokus pada tujuannya. Dia menyebarkan garam lebih banyak di sekelilingnya, menciptakan perisai untuk melindungi dirinya.
"Dengarkan panggilanku!" Sabrina melanjutkan, suaranya semakin tegas. "Inilah saatnya untuk meraih kebebasanmu! Datanglah padaku, dan temukan kedamaian!"
Tiba-tiba, wanita itu melangkah maju, dan Sabrina merasakan hawa dingin yang menusuk tulang. "Bantu aku...," wanita itu berulang kali mengucapkan kata-kata itu, mengisi ruangan dengan kehampaan.
Sabrina mengulurkan tangan, merasakan kehangatan yang mulai mengalir.
Dengan keberanian, Sabrina berteriak, "Dengarkan aku! Dalam nama keluarga ini, aku memanggilmu untuk pergi! Bebaskan dirimu dari segala kesakitan!"
Lilin kembali menyala terang, dan suara jeritan yang penuh rasa sakit bergema, mengisi ruangan dengan ketakutan. Sabrina merasakan jiwanya bergetar, dan dia tahu bahwa dia berada di ambang sesuatu yang besar. Dengan semua tenaga yang dimilikinya, dia meneriakkan doa terakhirnya, mengekspresikan semua cinta dan harapan untuk buyutnya.
"Berhenti berlari! Temukan kedamaian! Ini saatnya untuk pulang!"
Saat kata-katanya mengalir, sosok wanita itu mulai meluruh ke dalam cahaya yang menyilaukan. Jeritan itu bertransformasi menjadi suara lembut, dan seketika, ruangan dipenuhi cahaya putih yang menyilaukan. Sabrina merasakan angin hangat menyelimuti tubuhnya, dan semua rasa takut mulai menghilang.
Setelah sekejap, cahaya itu menghilang, meninggalkan Sabrina terengah-engah dalam keheningan. Ruangan itu terasa lebih ringan, seolah beban berat yang selama ini mengintainya telah terangkat. Sabrina duduk di lantai, air mata mengalir di pipinya, tetapi kali ini, air mata itu adalah air mata haru.
Dia tahu bahwa dia telah melakukan sesuatu yang besar. Sabrina merasakan bahwa buyutnya kini telah bebas, dan sosok wanita itu tidak akan lagi menghantuinya. Dengan semangat baru, Sabrina bertekad untuk melanjutkan hidupnya dan menjaga ingatan tentang buyutnya, menyimpan kisah dan warisan keluarga dengan penuh cinta.
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H