Sabrina merasa terjebak antara rasa ingin tahu dan ketakutan. Ia tahu ia harus menemukan alasan mengapa rumah ini dipilih sebagai warisan. Dengan semangat yang membara, Sabrina melangkah lebih dalam, tidak menyadari bahwa petualangannya baru saja dimulai. Dalam setiap sudut rumah tua itu, tersimpan rahasia yang menunggu untuk diungkap---sebuah kisah tentang cinta, kehilangan, dan mungkin, keadilan yang telah lama ditunggu.
Bab 2: Suara dari Masa Lalu
Malam kedua di rumah warisan buyutnya terasa lebih menegangkan. Sabrina terbangun dari tidurnya, dikelilingi oleh kesunyian yang menekan. Meskipun matanya terpejam, dia merasakan ada sesuatu yang aneh. Suara bisikan lembut, seperti gema dari masa lalu, melayang-layang di udara. Setiap kali ia berusaha tidur, suara itu semakin keras, seolah memanggilnya.
Sabrina memutuskan untuk keluar dari kamar. Dengan senter di tangan, dia menyusuri lorong gelap yang penuh dengan bayangan. Dinding-dinding berderit, seakan menahan rahasia yang tak ingin diungkapkan. Ketika dia mendekati ruang tamu, suara itu semakin jelas---sebuah tangisan lirih, seolah datang dari dalam rumah. Sabrina menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya.
"Ini hanya imajinasiku," bisiknya, meski hatinya berdebar kencang.
Dia melangkah lebih jauh, mengikuti suara itu hingga tiba di depan pintu ruang bawah tanah yang tertutup rapat. Pintu kayu tua itu terlihat lebih menakutkan dalam gelap. Tanpa pikir panjang, Sabrina membuka pintu dengan hati-hati, suara derak kayu menggema di seluruh ruangan.
Dalam kegelapan yang pekat, Sabrina merasa terhisap ke dalam dunia lain. Dia menyalakan senter, dan cahaya menyapu ruangan. Di sana, terdapat tumpukan barang-barang lama yang ditutupi debu. Hati Sabrina berdegup kencang ketika matanya tertuju pada sebuah peti kayu yang terletak di sudut. Peti itu tampak usang, dengan ukiran yang hampir tak terbaca. Suara tangisan itu seolah semakin mendekat, memintanya untuk membuka peti itu.
Dengan tangan bergetar, Sabrina mendekati peti. Dia mengangkat penutupnya, dan seketika itu juga, aroma yang busuk menyeruak keluar. Di dalamnya, terdapat barang-barang milik buyutnya: surat-surat kuno, foto-foto buram, dan sebuah buku harian yang sudah sangat usang. Sabrina merasakan jantungnya berdegup cepat. Di saat itulah, suara tangisan menjadi lebih jelas, dan dia merasa ada yang mengawasinya.
Dia mengambil buku harian itu dan membuka halamannya. Tulisannya terlihat tidak teratur, seolah ditulis dalam keadaan terdesak. Setiap kalimat penuh dengan rasa sakit dan kesedihan, menggambarkan kehidupan buyutnya yang tidak pernah bahagia. Sabrina terus membaca, dan saat matanya melintas di satu bagian, ia terhenti. Tulisan itu menyebutkan sosok wanita berpakaian putih yang sering muncul dalam mimpinya, seorang hantu yang merindukan keadilan.
"Harus ada sesuatu yang bisa kulakukan," bisiknya kepada dirinya sendiri.
Sabrina merasa terhubung dengan cerita buyutnya. Namun, saat dia mengangkat wajahnya, sebuah bayangan melintas cepat di sudut pandangnya. Sabrina menoleh, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Suara tangisan itu kini berubah menjadi jeritan, memecah kesunyian malam.