Lintang membeku, bukannya tak mau, karena sesungguhnya  benih-benih cinta yang dulu dimatikan secara paksa mulai menggeliat, mendesak keluar dari rongga dada. Namun, Lintang takut untuk bermimpi  terlalu berlebihan. Cerita lama perjalanan cintanya dengan Sultan masih meninggalkan bekas luka.
"Tunggu." Lintang menoleh pada Sitha.
"Bagaimana kalian bisa mengatur semua ini dan merahasiakan padaku?"
"Lintang, jika memang sudah jodoh, pasti akan selalu ada jalan untuk menautkan cinta. Tak peduli sebesar apa rintangannya." kilah Sitha.
"Tak penting bagaimana proses yang mempertemukan kalian, yang penting saat ini Sultan butuh jawabanmu."
Â
Lintang menatap laki-laki yang masih berlutut di hadapannya, matanya tak sengaja bertemu dengan sepasang mata laki-laki itu, hatinya tak bisa bohong, mata itu masih sama seperti dulu, teduh membuat Lintang ingin berenang di dalamnya.
Lintang menghela napas, sekilas ia melihat dua pemuda gagah tengah memperhatikannya dengan tatap penuh harap. Lintang mengumpulkan keberanian dan niatnya. 'Mungkin inilah saatnya,'
"Bismillah," ucapnya lirih
"Aku bersedia." pelahan tangannya terjulur menerima kotak dengan beledu merah, lalu menyematkan cincin di jari manisnya.
"Terima kasih, Honey," ucap Sultan penuh syukur, wajahnya berbinar penuh rona bahagia.
"Alhamdulillah," teriak suka cita dan syukur sontak bergema, lalu, satu per satu, mereka memberi selamat pada Lintang dan Sultan. Kerlip bintang di langitpun turut bahagia, sebahagia Lintang yang berkelip dalam untaian syukur.
***