"Aku ingin Mas menikah lagi," ucap Gischa lirih.
"Aku ridho, Mas. Aku tahu aku tidak sempurna. Aku tidak bisa menjadi istri yang bisa memenuhi kebutuhan batinmu. Aku tahu, walau Mas tidak pernah mengatakan apapun, tapi Mas sangat tersiksa."
"Sayang, dengar..! Aku mencintaimu apa adanya. Setiap orang berhak untuk mendapatkan yang terbaik, dan yang terbaik dalam hidupku adalah memilikimu, mencintaimu tanpa melihat kekuranganmu."
Anan mengelus kepala Gischa, merebahkan dalam pelukannya.
"Kenapa sampai kamu berpikir kalau aku tidak bahagia dengan pernikahan kita."
Gischa melepas pelukan Anan, ia meraih tangan laki-laki kekar itu, Â mencium punggung tangannya takjim. Lalu meletakkan tangannya di atas tangan suaminya. Gischa menatap sepasang netra laki-laki yang begitu dicintainya itu.
"Ini tanganku di atas tanganmu, Mas. Hidupku tidak akan bahagia tanpa ridhomu. Aku tak akan pernah bisa masuk surga tanpa ridhomu, karena ridho Allah ada padamu. Jadi tolong ridhoi aku untuk memberikan kebahagian untukmu."
"Tapi tidak dengan cara menyuruhku menikah lagi. Apapun yang kamu lakukan selama tidak menyalahi syariat agama kita, aku akan ridho." Anan menghela napas panjang, tak mengerti arah bicara istrinya.
"Dan menyuruhmu menikah lagi itu tidak menyalahi syariat, kan?"
"Iya sih." Anan menyugar kasar, kalimatnya seperti bumerang yang menghantam dirinya sendiri.
"Aku tahu benar, Mas. Sejak aku sakit aku tak bisa melayanimu sebagai seorang istri. Aku tak bisa memenuhi hasrat biologismu."
"Apakah selama ini pula aku menuntut pemenuhan hasrat biologisku?" Anan membalik ucapan Gischa.