Mocsya masuk dengan agak gemetar. Muka tertunduk.ocsya tak tega melihat kondisi Bagus. Dia tak salah apa-apa. Apa salah kalau Bagus berjalan dengan Ismi? Tidak kan? Kenapa Mocsya harus mengeroyoknya? Harusnya Mocsya bangga punya teman yang pandai. Tapi sayang. Sekali lagi, sayang. Semua sudah terlanjur. Paling-paling Mocsya hanya bisa minta maaf.
“Maafkan Mocsya, Kek,” kata Mocsya lirih. Suaranya hampir tak terdengar. Tapi suara itu betul-betul dari hati Mocsya. Hati Mocsya yang paling dalam.
Kakek hanya mengangguk. Mengelus kepala Mocsya. Dengan sayang. Mocsya dapat merasakannya.
“Lihat akibat dari perbuatanmu,” suara Bunda terdengar lembut. Tapi Mocsya juga merasa ada nada marah yang ditahan pada kata-kata Bunda.
“Tidak apa-apa kok Bu. Sebentar lagi sudah boleh pulang.”
“Kamu salah, Ca!” kata Bunda. Semakin membuat Mocsya malu. Malu pada Kakeknya Bagus.
“Maafkan aku, Gus,” kata Mocsya. Juga dengan suara lirih.
“Kakek sendirian?” tanya Bunda.
“Kakek memang hanya berdua dengan Bagus.”
“Orang tua bagus ke mana?”
“Tidak ke mana-mana,” kata kakek sambil memberi isyarat untuk berbincang di luar ruangan saja.