Baru saja Bunda mau mengetuk kembali pintu yang selalu terkunci itu. Tapi tiba-tiba pintu terbuka dan ….
“Halo, halo, halooooooooooo…!!!” muncul kepala Mocsya dengan rambut keriting yang selalu dipakai di kepalanya. Aneh memang, rambut keriting Mocsya tak pernah sekalipun ketinggalan. Muka Mocsya sedikit lucu. Maklum, mata Mocsya tidak kelihatan karena tertutup rambut kriting.
“Ada apa ribut-ribut? Banjir bandang dari Situ Gintung sampai sini, ya? Cepat selamatkan diri Bunda, Kakak!” kata Mocsya sambil menyibak rambut kriting yang menutupi mata.
“Iya, Ca. Tapi banjir bandangnya di pulau Kapuk,” jawab Kak Sevi. Maksudnya di kasur alias hanya di dalam mimpi saja.
“Ca, pakai baju yang rapi. Bunda mau mengajak kamu jalan-jalan,” kata Bunda.
“Yang benar, Bunda?!” tanya Mocsya setengah percaya sambil mengucek-ucek matanya. Tak disangka-sangka. Tak ada petir tak ada hujan, tahu-tahu ada ajakan. Tak apa-apa. Yang penting jangan banjir saja. Apalagi banjir bandang seperti di Situ Gintung. Jangan sampai lah.
“Iya, cepat!”
“Tidak usah mandi, Bun?”
“Yaaaa..… mandi dululah. Sudah mandi saja kadang-kadang masih rada bau, Ca. Apalagi kalau kamu tidak mandi? Nanti orang di jalan pada pingsan semua dong, Ca!”
“Aku, Bun?” tanya Sevi ingin ikut juga.
“Untuk sementara kamu temani Mba Sanah. Rumput di halaman depan. Di bawah pohon jambu sudah mulai tinggi. Bantu Mba Sanah memotongnya, ya? Oke? Nanti Bunda bawakan kue kesukaanmu.”