Mocsya hanya tersenyum. Ada sedikit rasa heran. Tidak biasanya Bunda seperti ini. Seperti ada yang disembunyikan. Tapi biarlah. Mocsya pun langsung menyingkirkan perasaan itu dari dalam hatinya. Jauh-jauh.
Mobil melaju. Melewati jalanan yang selalu macet. Mobil dan jalan sepertinya selalu berlomba-lomba untuk menjadi yang paling panjang. Setiap kali bertambah jalan baru, pasti bertambah pula orang yang punya mobil baru.Â
Bagaimana kalau suatu saat jumlah mobil sudah banyak sekali. Mobil itu jalan semua. Pasti semua mobil menjadi mogok. Mau jalan ke mana lagi? Jalanan semua sudah terisi mobil. Pasti orang akan turun dari mobil-mobilnya untuk jalan bersama. Lucu, ya? Punya mobil tapi malah pada jalan kaki.
Mocsya senyum sendiri.
Bunda melirik Mocsya. Ada apa? Tanya Bunda dalam hati.
Bunda pun mengajak Mocsya bicara. Bunda takut kalau Mocsya seyum-senyum sendiri. Jika keterusan menjadi …. Tapi tak usah diceritakan di sini, ya? Soalnya Bunda hanya mengajak bicara sesuatu yang biasa-biasa saja. Misalnya, bagaimana pelajaran Oca di sekolah? Bagaimana guru-guru Oca di sekolah? Bagaimana teman-teman Oca di sekolah?
Hah!!!!
Bunda bertanya tentang teman-teman Mocsya? Kenapa, ya? Jangan-jangan Bunda ….
Mocsya ingat peristiwa tiga hari yang lalu. Bagus. Ya, si Bagus.  Teman satu sekolah. Satu kelas pula. Tapi bukan, bukan teman! Kalau teman pasti tidak begitu.
Kenapa memang?
Masa Bagus selalu dekat dengan Ismi? Ke mana-mana selalu bersama.  Ke perpustakaan, ke kantin, bahkan kalau pulang pun selalu terlihat berdua. Padahal seharusnya Bagus tahu kalau Mocsya juga ingin dekat dengan Ismi kan? Karena Mocsya ingin dekat dengan Ismi, maka siapa pun yang dekat Ismi berarti musuh Mocsya. Tak boleh ada yang dekat dengan Ismi.Â