Ismi menengok. Ismi tersenyum kepada Bunda.
“Habis dari mana, tante?” tanya Ismi.
“Habis menjenguk teman tante. Kamu sendiri mau ke mana? Kok ramai-ramai?” Bunda balik bertanya.
“Habis menengok teman, Tante. Lho, memangnya Mocsya belum cerita?” kata Ismi sambil memandang Mocsya dengan menahan rasa marah. Mocsya hanya tertunduk. Tak bisa berkata apa-apa. Malu. Juga menyesal. Tapi mau dikata apa. Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Terlanjur. Mocsya hanya pasrah. Pasrah pada apa pun yang akan terjadi.
“Mocsya tidak cerita apa-apa. Memangnya ada apa?” tanya Bunda dengan perasaan yang ditahan. Mungkin Bunda juga malu. Malu pada kelakuan Mocsya.
“Mocsya telah mengeroyok Bagus, Tante. Dan sekarang Bagus dirawat di rumah sakit ini,” jawab Ismi.
“Apa?!” Bunda tak kuasa menahan rasa terkejutnya. Dengan penuh tanda tanya, Bunda memandangi Mocsya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kalau Mocsya malas mengerjakan PR sepertinya sudah biasa Bunda dengar. Kalau Mocsya menjadi biang ribut di kelas, juga sudah berapa kali Bunda dengar. Tapi kok sekarang malah mengeroyok temannya sampai temannya dirawat di rumah sakit? Luar biasa!
“Permisi, Tante. Ismi pulang dulu,” kata Ismi pamit.
“Sebentar. Bagus dirawat di ruang berapa?” tanya Bunda.
“Anggrek 23.”
“Terima kasih, Ismi.”