Mocsya seakan disambar petir di siang bolong. Tak ada gerimis, tak ada hujan, tahu-tahu badai datang. Sekarang Mocsya harus mempertangungjawabkan perbuatannya.
“Mocsya kita jenguk Bagus dulu, ya?” kata Bunda.
Mocsya mengangguk pelan. Mengikuti Bunda ke ruang Anggrek 23 tempat Bagus dirawat. Di ruang itu terlihat sepotong tubuh kerempeng tergolek lemah. Ada selang infus di tangan. Bagus tertidur. Tapi sebentar-sebentar merintih kesakitan.
Bagus hanya ditunggui kakeknya.
“Mudah-mudahan tak apa,” Mocsya berdoa dalam hati. Mocsya tak tega juga melihat kondisi Bagus. Tak disangka, perbuatannya bisa berakibat seperti itu.
“Kakeknya Bagus?” tanya Bunda.
“Iya. Ibu siapa?”
“Saya ibunya Mocsya. Teman Bagus.”
Mocsya agak takut kalau kakek Bagus akan marah mendengar nama Mocsya disebut. Kakek Bagus pasti sudah tahu kalau yang membuat cucunya seperti itu adalah anak yang sekarang ada di depan matanya.
“Oooooh, Mocsya,” hanya itu kata yang keluar dari mulut kakek. Tak ada nada marah.
“Mocsya, sini!” panggil Bunda. Mata dipejamkan. Tersandung. Hampir menubruk meja. Tak sakit. M