Wah gawat!!!
Bagus memang pandai. Pantas kalau banyak teman perempuan yang ingin dekat dengannya. Lumayan. Kalau dekat Bagus, pasti nilai ulangan akan bisa lebih tinggi. Kan dapat contekan.
Mocsya pun marah. Bersama Andi, Firdaus, dan Teguh, Mocsya mendatangi Bagus saat pulang sekolah. Tanpa berkata apa-apa, mereka berempat mengeroyoknya. Bagus merintih kesakitan. Sempat ada darah yang keluar dari mulut Bagus. Terus besoknya Bagus tidak masuk sekolah.
Jangan-jangan Bunda tahu kalau Mocsya telah bertindak tidak benar. Jangan-jangan Bu Lina, walikelas Mocsya sudah memberi tahu Bunda. Atau jangan-jangan, Mocsya sudah dikeluarkan dari sekolah?
“Kok bengong lagi?” tanya Bunda.
Mocsya dengan enggan menjawab, “Tidak apa-apa kok, Bunda.”
Tapi tetap saja Mocsya tak dapat menyembunyikan perasaan bersalahnya. Bagaimana kalau Bunda memang sudah tahu dengan apa yang telah dilakukannya? Bagaimana kalau Kak Sevi juga tahu? Kalau kak Sevi tahu, mungkin Mocsya hanya diolok-oloknya. Tapi bagaimana kalau ayah juga tahu? Mocsya pasti habis dipukulnya. Ayah Mocsya memang galak. Mocsya terkadang merasa tak takut pada macan kalau Ayah sedang marah. Lebih baik diterkam macan daripada dimarahi Ayah.
Mobil berbelok ke mall. Bunda mengajak Mocsya makan. Sayang, makanan yang biasanya terasa enak, tak lagi terasa enak. Perasaan Mocsya memang sedang tidak karuan. Ada perasaan bersalah. Ada rasa sesal. Mengapa harus emosi? Mengapa harus melukai Bagus?
Sehabis makan, Bunda mengajak Mocsya ke rumah sakit. Menengok seseorang. Kata Bunda teman kantor. Mocsya agak kurang percaya. Jangan-jangan Bagus yang dirawat. Bagaimana kalau benar, bagus yang dirawat?
Rumah sakit. Mendengar kata rumah sakit saja sudah tidak sedap. Mengapa harus dinamai rumah sakit? Seharusnya jangan disebut rumah sakit. Diganti saja menjadi rumah sehat. Rumah bagi orang yang ingin sehat. Jadi tidak seram. Nanti usulkan saja sama guru bahasa Indonesia. Siapa tahu bisa.
Baru sampai di depan rumah sakit, sengatan bau obat sudah menusuk hidung. Mocsya agak mual. Hendak muntah. Ditahannya kuat-kuat. Jangan sampai muntah di depan umum. Malu. Mocsya ingin menolak untuk ikut masuk ke rumah sakit. Tapi sudah terlanjur. Dengan terpaksa, Mocsya pun mengikuti langkah-langkah Bunda. Semakin lama, debar jantung Mocsya semakin tak beraturan. Dag, dig, dug, der! Dag dig dug der!! Dag dig dug der!!!