"tapi aku punya satu permintaan."
"apa itu mas ?"
"kita bercerai tiga bulan setelah kamu melahirkan, jika satria benar ingin bertanggung jawab pasti dia tidak keberatan. toh selama ini kita juga tidak pernah tidur bareng. kamu pun masih suci dariku bukan." ucapku sambal bercanda.
"iya, biar nanti saya bicarakan dengan satria."
"eh, satu hal lagi! saya ingin menenangkan fikiran dulu. saya ingin pergi ke luar kota, jadi selama itu kita tidak berkomunikasi satu sama lain."
"kenapa begitu ?"
"saya ingin terbiasa tanpamu terlebih dahulu, dan kamu harus janji itu. setelah itu, saya akan tanda tangan surat cerai kita."
"baik mas." ucapnya ragu.
jam menunjukan pukul 03.00 wib saat travel jurusan malang sudah siap menjemput di depan rumah. dan sebelum pergi, kusempatkan meninggalkan sepucuk surat di depan kamar istriku. berharap dia membaca dan tahu bagaimana perasaanku saat ini terhadapnya. dan sayapun pergi meninggalkan istriku, rumahku, dan kota asalku….
Sinar mentari menembus sela-sela jendela dan putri mulai terbangun, melangkah dan menemukan sepucuk surat di depan pintu kamarnya.
Teruntuk putri, istriku…
Maaf, saya tidak berpamitan secara langsung sama kamu.
karena itu berat untukku, terlampau berat.
mungkin, aku tidak benar - benar mengenalmu.
bahkan pernikahan kita pun tanpa ada sedikit cinta diantara kita.
tapi seiring berjalannya waktu, rasa itu ada, cinta itu ada.
dan aku sudah jatuh cinta kepadamu.
maaf bila terlalu lancang. dalamnya lautan bisa di ukur, tapi dalamnya hati siapa yang ngerti.
maaf, aku mencintaimu...
benar - benar mencintaimu.
aku melepaskanmu, merelakanmu agar engkau bahagia.
karena bahagiamu adalah sebuah kebahagiaan untukku juga.
jika kau mencintainya, pergilah, kejarlah, dan pertahankanlah dia.
tapi, jika nanti engkau tersesat, maka kembalilah.Â
kembalilah padaku, jalan pulang yang kau rindukan...
Wisnu hastama
dan putri pun terduduk membaca surat itu dan tanpa terasa air matanya mulai mengalir.