Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air & Api, Lahirnya Air dan Api

18 Desember 2018   11:19 Diperbarui: 18 Desember 2018   11:23 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dyah Puspita mengangguk percaya.  Tokoh satu ini memang sangat berangasan, tapi dia adalah satu dari sedikit orang yang paling bisa dipercaya di dunia ini.  Dyah Puspita melangkah ke sebelah Dewi Mulia Ratri sambil berbisik lirih.  Suaranya bergetar ketika berkata,

"Adik yang baik...aku sangat mempercayaimu...bawalah Arya Dahana pergi.  Selamatkan dia.  Dia akan pulih kembali selama kau rawat....penyakitnya belum akan bisa sembuh sampai beberapa tahun lagi....Tolonglah....aku akan pergi ke Majapahit untuk menyelamatkan kita semua...setelah itu aku akan menyusulmu untuk merawat dia...." 

Dewi Mulia Ratri melihat mata Dyah Puspita begitu pilu saat memohon.  Bahkan dari kedua sudut mata indah itu mengalir air mata duka.  Dewi Mulia Ratri benar benar tidak tega untuk menolak permintaan itu.  Dia mengangguk sambil memegang tangan Dyah Puspita untuk menguatkan hatinya. Diapun sudah berhitung.  Jika pertempuran ini dilanjutkan, maka mereka ada di pihak yang lebih lemah.  Belum lagi jika bantuan ke Sayap Sima mengalir datang.

Hanya dia dan Dyah Puspita yang sanggup mengimbangi tokoh tokoh Sayap Sima itu.  Nyai Genduk Roban tidak akan bisa membantu dengan sihirnya karena Bledug Awu Awu pasti akan mengalihkan semua perhatiannya.  Gadis cantik yang sekarang sedang bersama Nyai Genduk Roban itu malah tidak bisa diharapkan sekali karena jelas jelas tidak punya ilmu kanuragan yang mumpuni.

Dyah Puspita menghapus air mata yang menetes dari sudut matanya.  Hatinya seperti teriris pisau berlimau.  Membayangkan berpisah dengan Arya Dahana dan tidak tahu kapan akan berjumpa lagi membuatnya sangat pedih.  Dia menatap pemuda kurus yang masih dalam gendongan Dewi Mulia Ratri itu.  Diusapnya pipi pucat pasi itu dengan penuh perasaan.  

Hhhhhhh...dikuatkan hatinya dan mengangguk terimakasih sekali lagi kepada Dewi Mulia Ratri.  Dia berjalan ke arah pasukan Sayap Sima yang sudah bersiap mengawalnya dalam tahanan pulang ke ibukota Majapahit.

"Kak Puspa...namaku Dewi Mulia Ratri..."  seru Dewi Mulia Ratri ke arah Dyah Puspa yang berjalan tertunduk. 

Dyah Puspita menoleh dan mengangguk.  Diusapnya kepala Sima Lodra yang berjalan mengikuti di sampingnya.  Dilanjutkannya langkahnya menemui Nyai Genduk Roban dan berbisik bisik di telinga nenek ratu sihir itu. Nyai Genduk Roban terlihat tertegun sejenak kemudian mengangguk tanda mengerti.  Dyah Puspita melanjutkan langkahnya sambil menggamit Ayu Wulan mengajaknya pergi.  Ayu Wulan yang sudah menerima isyarat dari neneknya, dengan patuh mengikuti. 

Pasukan Sayap Sima itu akhirnya berderap pulang dengan keberhasilan menangkap salah satu buronan kerajaan yang paling dicari.  Ayu Wulan ikut dalam rombongan itu atas permintaan Dyah Puspita.  Maesa Amuk tidak keberatan sama sekali.  Dia sudah sangat gembira dengan penyerahdirian itu.

Dewi Mulia Ratri  kebingungan setelah ditinggal sendiri.  Dia tidak tahu apa yang harus dikerjakannya sekarang.  Arya Dahana masih dalam gendongannya.  Dia tidak tega menurunkan pemuda itu.  Lagipula pemuda itu tidak berat.  Tubuh pemuda itu sangat aneh rasanya.  Sebelah kanan tubuhnya sangat panas sekali, sedangkan tubuh sebelah kirinya sedingin es.  Diperhatikannya muka tirus yang menarik itu sangat pucat pasi.  Ada bekas bekas darah di mulutnya yang terkatup rapat.  Dewi Mulia Ratri melihat sekeliling.  Ada pondok tidak jauh dari situ. 

Dewi Mulia Ratri membaringkan Arya Dahana di teras rumah yang terawat dengan baik itu.  Diambilnya gayung dalam rumah.  Diisinya dengan air lalu disekanya wajah belepotan darah itu dengan hati hati.  Pemuda ini lah yang dulu menatap beringas ke semua orang di Ranu Kumbolo saat Dyah Puspita sekarat terkena pukulan keroyokan.  

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun