Matahari terlambat membangunkanku. Kulihat jam beker di sudut meja juga masih mendengkur dengan nyenyak. Barangkali aku lupa memberikan komando hingga ia lupa kewajiban. Kusingkap tirai putih yang sedari tadi menunggu, terlihat di luar beku, matahari dengan rapi mengemasi sinarnya.
Aku baru ingat kalau hari ini ada janji dengan tamu dari luar kota. Semalaman aku benar-benar terjaga setelah dua hari membawa tamuku keliling kota. Kuraih smartphone yang sedari malam kuanggurkan karena kantuk yang cepat meminangku.
"Ufft tiga belas panggilan tak terjawab." Rupanya nomor baru yang meneleponku berkali-kali. Kucoba dial kembali nomor itu.
"Hallo, selamat pagi."
"Pagi Tika cantik, susah banget ya hubungin kamu. Tik, hari ini aku batal ke Jakarta. Jadi, mungkin esok atau lusa aku baru meluncur ke sana"
"tunggu-tunggu, ini siapa ya?."
"aku teman Mario, bukankah dia sudah menceritakan padamu."
"sory sory saya lupa. ok aku tunggu kabar selanjutnya."
"see you."
Kulenturkan kembali tubuhku beberapa saat, penat sekali rasanya. Hari ini aku sepertinya memutar schedulku. Shoping? atau ke kampus? Langit-langit kamar seakan memberiku komando "Ingat skripsimu yang sudah lama tidur!" bayangan tulisan besar menampar jidatku.
Aku baru kepikiran kenapa tak sempat kutanyakan nama sebenarnya lelaki itu. Tempo hari Mario sempat bilang ada seorang yang ingin sekali mengenalku. Mungkin aku sudah terlanjur percaya sama Mario teman jurnalis yang menjadi pimred salah satu media di Yogyakarta. Jadi ku terima saja. Mengiyakan menemui tamu yang belum kukenal asal usulnya.
***
Kubuka perlahan tab merahku sambil menunggu mocacino di Kafe Blue. Kubuka salah satu media sosial yang mempertemukanku dengan seorang lelaki misterius. Nama nick namenya LelakiLangit. Kenapa kubilang misterius tulisan-tulisannya membuatku memicingkan mata.
Awalnya aku tidak terlalu menghiraukannya seperti lelaki kebanyakan. Dia biasa saja, tidak ganteng, pun tidak terlihat berduit. Ntahlah aku kepikiran saja.
Selama ini aku tak tertarik dengan lelaki manapun. atau ketertarikanku karena didorong rasa penasaran dengan lelaki penulis naskah monolog itu. Sudah setahun lamanya dia selalu mengirimkan tulisan-tulisan di kronologiku.
"aku tak mengenalmu secara dekat tapi aku mengagumimu lewat matamu yang cerdas". Awal januari yang tiba-tiba dia nyelonong diberandaku.
"seperti bayangan kita tak mampu mengukurnya kadang terlalu tinggi atau tak tampak sama sekali. bukankah memberikan semangat adalah bagian dari cinta, dan cita tak perlu menuntutmu ada". Aku hanya membalas dengan senyuman karena tak ada yang perlu kubahas. Awalnya aku merasa risi saja. Bulshit dengan bahasa cinta yang kuanggap tak realistis.
Sebagai mahasiswa, aku harus pilih-pilih tamu. Minimal tamuku berkantong tebal dari kalangan pengusaha. Tapi entahlah mengapa aku tidak berpikiran panjang menerima tamu yang direkomendasikan Mario.
"Makasih," ucapku kepada pelayan yang menyodorkan secangkir mocacino hangat.
Mataku tak beranjak dari postingan tulisan berupa potongan-potongan naskah di beranda facebooknya. Aku lebih memperhatikan karyanya disbanding poto lelaki itu. Bagiku tak ada yang menarik dipandang wajahnya cuman samar terlihat separuh setiap kali dia berpose dibawah tulisannya di surat kabar dengan menggunakan topi kumal  kesayangannya yang tampak hanya hidung dan bibirnya. Aneh, bisikku sambil memilin cangkir putih itu yang tak kudiamkan berlama-lama menunggu kecupanku.
Hape yang sedari tadi ku silent bergetar beberap kali. Kulihat inboks dari lelakilangit.
"Tik, aku rindu padamu?"
Aku hanya tersenyum mengabaikan pesannya di messenger itu. Kulihat harian kota berjajar rapi disudut ruangan caf. Ntah apa yang kurasakan sore itu. Kakiku berayun begitu saja mendekati kertas buram. Tak ada kerjaan dan ah bosan sekali. Kubolakbalik media masa itu tak ada sesuatu yang menarik. Tapi mataku mulai tertuju pada halaman kelima di kolom seni. Sebuah monolog yang mencantumkan nama lelaki langit.
Melawan Lupa "Aku Anak Ibu Pertiwi Tulen"
Lelaki Langit
Ketika kita masih saling beradu nyali untuk membuktikan darah kita asli pribumi atau sudah terkontaminasi darah asing lantaran aku berewokan berkulit putih dan bermata biru barang kali kau menganggapku tak berhak tinggal di negeri ini. aku dengan lantang akan mengatakan aku adalah anak pribumi tulen. Darahku masih merah tak terkontaminasi dengan birunya laut atau putihnya susu.
Atau kau juga masih ragukan kebangsaanku apakah aku dari golongan makluk asing dari mars atau sebangsa makluk langit yang dihantarkan meteor jatuh dan kamu berpikir aku adalah bangsa alien yang dikirim piring terbang dari angkasa raya. Jawabku tetap tegas. Aku adalah anak pribumi tulen yang lahir di negeri kaya rempah-rempah.
Aku manusia yang hanya suka makan nasi bukan daging saudara sendiri. Ketika kau juga mungkin berpikir aku suka keringat asin yang diperas tukang angkut buruh pasar, atau menggadaikan legam tubuh pak tani menghalau panas dipersawahan dengan menggantikan berasnya dengan roti, mohon maaf aku tak suka roti. aku akan katakan aku pribumi tulen yang doyan makan nasi.
Ketika hidup terkotak-kotak karena merasa darah yang tak sama merah atau baju yang tak sama ukuran atau mungkin keringat yang tak sama bau itu yang menjadi dalih kau tak berhak hidup di negeri ini, memakan bahkan kencing. Aku akan mengatakan aku anak ibu pertiwi tulen aku masih punya sungai dan kebun-kebun sayur.
 .....................................................................................................
Tepuk jidat dibuatnya. Aku sangat mengagumi tulisan-tulisan langit.
***
Hujan mulai merambat. Seperti biasa jika tak ada kerjaan kuhabiskan waktuku di caf Blue yang tak jauh dari apartemenku. Beberapa menit lalu Mario menghubungiku. Teman yang dia ceritakan sudah mendarat di soekarno hatta. Itu barangkali yang membuatku punya alas an kuat untuk memilih caf itu. Â
"Hai, sudah lama menunggu?"
"Lumayan.?"
"O iya, sudah pesan makanan?"
"Nggak usah, aku kebetulan sudah makan tadi." Mataku tertegun beberapa saat memandang lelaki itu dihadapanku.
"akhirnya aku bisa ketemu juga sama kamu kartika Ayu."
"kau mengenalku.?
"tentu saja aku mengenalmu sangat dekat. Matamu yang cerdas membuatku tak bisa lepas dari bayangmu."
"kok bisa mataku sih, maksudnya gimana itu brother?" diam-diam aku mulai berpikir bukankah kalimat itu hanya milik lelaki langit.
"aku lelaki langit yang jatuh hati padamu."
"lelaki langit, Serius? Bukannya situ teman Mario."
"iya kita berteman sejak kuliah. Senang bertemu denganmu." Katanya perlahan.
Perbincangan kami hanya singkat. Tak ingin menunggu waktu lama, Â lelaki itu segera mengajakku menuju suatu tempat yang memang sudah dipesan dua hari ke depan. Obrolan kami berlanjut di tempat tidur. Rupanya langit nama lelaki itu kusebut sudah memesankan sweet room di hotel berbintang di kawasan Kalibata.
"Kamu masih kuliah Tik? Semester berapa?"
"Iya, aku masih kuliah. Sudahlah, jangan tanyakan semester berapa. Sudah kedaluwarsa mahasiswa seperti aku ini."
"Bisa aja kamu, Tik."
Pembicaraan kami ngalor-ngidul. Sedari sore hingga dini hari tamuku tak menyentuhku sedikit pun. Beberapa kali kupancing untuk sekadar bermain cinta seperti tamu-tamuku yang lain, tetapi dia selalu menolaknya. Sebenernya apa motif dia mengajakku kencan dua mala mini?
"Aku tak ingin menyakitimu, Tik. Aku hanya ingin kau temani. Lembaran-lembaran tulisanmu sangat menarik. Dan aku tak pernah menganggapmu sebagai mahasiswa... ah sudahlah. Entahlah, aku hanya tertarik saja padamu."
"Kamu yakin tak mau bersenang-senang denganku? Aku tak ingin makan gaji buta loh..."
"Kalau boleh tahu, kenapa sih kamu melakukan pekerjaan ini? Kamu kan anak manis dan punya bakat yang lumayan."
"Itu dulu. Dulu aku sangat mencintai kehidupanku termasuk aktif menulis di media. Dan papaku sangat mendukung aktivitasku. Tapi, sejak perusahaan papa gulung tikar, aku tidak siap dengan kondisiku yang serba kekurangan. Dari kecil aku terbiasa hidup mewah. Hampir semua les aku ikuti. Terpaksa aku melakukan kerjaan ini. Akukan butuh fasilitas. Bayar apartemen, ngisi bensil mobil, ya pokoknya aku nggak ingin saja fasilitas yang dulu aku nikmati hilang gitu aja."
"Terus, sekarang papamu kerja di mana?Papamu tahu soal ini?"
"Papa sekarang bekerja di salah satu perusahaan. Dia cuma jadi karyawan biasa. Tentu gajinya sangat kecil untuk memenuhi kebutuhanku. Aku berbohong ke mereka kalau aku selain kuliah juga kerja di salah satu EO di kota ini. Jadi, yang mereka tahu aku bisa bayar segala kebutuhanku selain kuliah. "
"Sampai kapan kamu akan seperti ini, Tik?"
"Entahlah, sampai aku benar-benar bisa menerima semuanya."
"itulah hidup yang memaksa kita untuk tegas dengan pilihan-pilihan sulit. Ya seperti pernikahanku. Aku tak pernah mencintai istriku. Kau tau aku menikah karena dijodohkan. Ya sampai aku punya anak dua. Semua saya jalani karena kewajiban semata. Waktuku kuhabiskan untuk bekerja."
"apa alas an abang menuruti perjodohan itu?, bukankah menikah tanpa cinta itu sama saja hidup tanpa garam. Hambar dan ih... gak asik banget gitu?."
"kau ingin tahu jawabannya?." Matanya dengan sorot teduh itu membelaiku.
"karena aku ingin orang tuaku bahagia. Kadang kita mengabaikan kebahagiaan pribadi hanya untuk menyenangkan orang lain. Dari dulu memang aku lelaki yang tak pernah melibatkan cinta disemua aktifitasku. Meskipun aku berkecimpung di dunia seniman."
"sekarang abang sudah mencintai istri?."
"belajar lebih tepatnya. Tapi entahlah aku mulai terusik dengan wajahmu, tulisanmu disurat kabar nasional beberapa tahun lalu. Tapi kemudian aku kehilangan kamu. Karena tak lagi kujumpai kau dimedia itu. Kau wanita cerdas dan cantik. Padahal sebelumnya kita tak saling ketemu. Kamu percaya gak aku sering memimpikanmu. Rasanya semangat saja aku kerja kalau aku baca tulisanmu, poto-potomu di media sosial."
"ah terlalu berlebihan itu Bang. Dulu aku memang aktif mengisi kolom budaya diharian kota dan bermain-main dengan anak-anak di TIM. Tapi sekarang ntahlah."
"ada aku, tetaplah berkarya. Oiya tahun depan aku ada agenda seni di Johor Malaysia. Kamu mau ikut? Bukankah kau dulu actor?".
"itu dulu, ntah kapan waktunya aku lupa meninggalkan semua itu."
"please kau tulis lagi ya, demi aku." Matanya meyakinkanku seakan tak mau mengakhiri pertemuan itu.
***
Mobilku melaju cukup stabil dengan kecepatan delapanpuluh kilometer perjam. Harapannya aku segera menemui Mr Burhan tanpa hambatan. Jujur, sebenarnya untuk pergi ke kampus saja sudah nggak ngeh. Bertemu dengan orang-orang yang tak menarik untuk kudekati. Tanpa kusadari aku parkir bersebelahan dengan Nissan Juke biru, milik Haris, anak yang gaulnya setengah mateng. Vokalis band abal-abal kampus ini yang beberapa hari lalu membujukku mati-matian mengisi kekosongan vokalis Rani yang tiba-tiba menghilang. Ah, malas banget ketemu dia sebenarnya. Benar saja, baru kulangkahkan kaki empat langkah suara itu mengagetkanku.Â
"Halo Tika cantik, gimana tawaran gue semalam. Mau nggak elo jadi vokalis band Vesto?"senyumnya nyinyir, sangat menyebalkan.
"Elo Ris, bisa nggak ngomongin yang laen aja, gue nggak selera dech kayaknya."
"Oke, oke sorry. Gimana kelanjutan skripsi elo, sudah di-deal?" suara Haris lagi-lagi mengejar jawabanku.
"Nih mau nemuin Mr Burhan. Kali aja berbaik hati. Gimana tumpukan kertas elo, sudah lampu hijau ya?"
"Ngadat." Wajah Haris berubah burem
"Mendingan elo cepetan deh temuin Mr B, tadi gue denger mister mau keluar negeri tuh minggu-minggu ini."
"Oya, oke tengkyu ya infonya, gue cabut dulu."
Ruang kerja itu sepi layaknya kuburan buku. Ke mana gerangan mr killer?. Mataku berselancar mengamati lekuk ruangan yang bagiku tampak kaku. Sebaiknya aku menunggu saja, bisikku sambil menata punggung di atas kursi kayu buatan Jepara itu.
 Di ruang tunggu terlihat tumpukan buku dan jurnal. Pemandangan yang sangat membosankan. Kuraih dua buku biografi tokoh dosen ternama di tanah air. Kubolak-balikan kertas-kertas itu. Apa menariknya buku-buku ini? Hmm..., kurang kerjaan aku membacanya. Tapi nggak papa deh daripada bengong, bisikku dalam hati.
Ini kan? Bentar deh, apa nggak salah nih mataku? Bukannya ini Langit? Ternyata namanya hmm...dia seorang doctor? Dosen ternama di Yogyakarta? Aku mulai semangat membaca tulisan-tulisan itu. Entahlah apakah ini suatu ketertarikan atau rasa penasaranku yang membuat aku ingin membaca lebih dalam biografi tamu misterius itu. Secara rinci kutekuni deskripsi ketenaran lelaki itu. Ternyata dia sosok yang luar biasa.
"Ehem ehem, sejak kapan kamu suka baca, Tik?" suara Mr Burhan menggelegar seakan mengejek tingkahku siang itu. Buyar semua yang ada di benakku. Aku tak tahu apakah dosen itu sudah berdiri sejak tadi mengamatiku. Entahlah, aku benar-benar terhipnotis tulisan itu.
"Eh Mr Burhan, ini lagi iseng baca-baca."
"Membaca kok iseng, mahasiswa semester akhir kayak kamu itu wajib baca. Jangan terlalu alergi sama buku. Entar kamu jadi perawan tua karena ngak kelar-kelar kuliah. Sayang lo, kamu kan cantik."
Nggak salah nih Mr Burhan yang killer menggodaku?
"Hehe saya coba untuk mencintai sedikit-sedikit Mr..."
"Memangnya kamu kenal dengan tokoh yang kamu baca itu, Tik? Dia itu temanku ketika sama-sama kuliah di Australi. Dia orang hebat. Dosen sekaligus seniman."
"O, gitu ya Mr..." Aku hanya nyengir pura-pura nonsense dengan penjelasan Mr Burhan. Aku cukup heran, tumben banget gitu loh Mr B nggak pelit bicara dan sok-sokan mau akrab dengan mahasiswa seperti aku.
Paling tidak, aku hari ini bisa meyakinkan Mr Burhan, proposalku diterima. Dan yang lebih menarik lagi, aku semakin tahu siapa sebenarnya LelakiLangit itu.
***
Pertemuan itu menyisakan rasa yang aneh. Tak biasanya aku merasakan perasaan yang cemen seperti ini. Beberapa laki-laki yang sudah kencan denganku, tak satu pun dari mereka yang mampu menggoyahkan hatiku. Tapi, ada apa dengan Langit? Mengapa aku selalu kepikiran dia terus? Padahal tak sedikit pun dia menyentuhku. Dia sangat menghormatiku.Â
Tujuh bulan semenjak pertemuan itu lelakilangit tak satusukukata pun singgah di smartphoneku. Meski hati ini tak pernah berbohong, dalam diam aku sangat merindukannya. Ingin dia sapa. Entahlah, hari ini aku merasa ada yang janggal. Kulihat secarik sajak tergeletak di inbox facebookku. Sebuah puisi yang menurutku tak masuk akal.
ciumanmu manis sekali
Masih basah di bibirku hangat
Kau memulasnya dengan harapan kulekas jadi lelaki
Semburat tatap lenteramu menganiaya keadaan
Sebab satusatunya kekayaanku cuma keringat
Sedang di luar udara lekas panas
Dan aku selalu menjadi bahan bakar
Disulap ketololan sendiri
Atasnama cinta
Kutangkup bibirmu, rebahkan
Sebab malam bukanlah permainan
Dan cinta akan segera kita rayakan
Kusebut namamu di langit rusia
***
Komunikasi kami akhirnya tersambung kembali. Satu kata yang mengagetkan nyaliku, "Tik, aku ingin hubungan kita tak hanya sebatas mimpi. Aku ingin menidurimu tanpa dosa. Kita akan menikah."
"Menikah? Kamu serius, Bang? Bukankah kau sudah beristri secara sah? Lalu apa yang akan kau katakana kepadanya?"
"Aku katakan padanya aku mencintaimu dalam fase yang lain. Dan aku mimintamu untuk jadi istriku. Tunggu aku kembali ke tanah air. Aku sedang ada pekerjaan yang menyitaku di Rusia."
Busyet, kata-kata itu seperti ledakan. Entahlah, aku suka atau malah ini jawaban bahwa aku harus mengakhiri permainan gilaku di dunia remang.
Sanggupkah aku terima pinangannya menjadi wanita madu secara sah? Bukankah selama ini aku hanya ingin menjadi wanita candu bagi lelaki berduit tanpa embel-embel cinta? Mampukah ia memenuhi semua materiku? Karena terus terang aku belum siap menjadi miskin.
Menikah dengannya, apakah aku juga siap menjadi istri dengan kekangan pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak dari hasil bercinta dengannya? Tanpa legalitas hukum dan aku akhirnya terjajah?
Selama ini aku mati-matian memperindah tubuhku, menjaga imejku menjadi perempuan cantik dan secara komersil memang patut dipuji sebagai mahasiswa gedongan. Lalu, dengan ribuan teriakan di luar sana aku akan dicap sebagai istri muda penjilat harta dari lelaki kaya? Ah, ribet sekali.
Di sisi lain, selama ini aku tak pernah jatuh cinta. Seingatku dulu aku pernah pacaran ketika usia belia. Dengan teman cowokku bernama Alex yang semasa itu jago basket di SMA 11 Bintaro. Ya, gaya pacaran yang aneh, pulang bareng dengan motor bebeknya yang tak seberapa harganya. Yah, Alex, dia sekarang menjadi penyiar olahraga di stasiun televisi nasional.
Selebihnya aku tak pernah melibatkan cinta dalam setiap hubunganku dengan lelaki mana pun. Semata hanya rupiah yang kuinginkan. Perdebatan pikiranku semakin liar.
Tiga panggilan tak terjawab di ponsel yang kubeli dengan harga duabelas juta rupiah pemberian Langit. Ada satu inbox yang menuliskan sebait kata yang mendesak untuk kujawab segera.
"Tik, apakah tahun depan kamu siap?. Kita akan menikah secepatnya. Aku tak tahan diteriaki rindu seperti dingin memelas pada selimutku. Kita hanya perlu waktu sedikit saja. Membentangkan selimut malam dan melanjutkan mimpi-mimpi yang sempat tertunda."
Bibir ini meringis. Gigi-gerigiku menggigit ngilu bibir yang gemetar. Menahan dingin ac kamar yang kustel minus lima. Kubergegas ke kamar mandi. Kuiisi bathube dengan air hangat dengan taburan serb uk Bath Salt dengan aroma lavender. Kuingin berendam dalam kehangatan garam sejenak.
Aku ingin berdialog padanya tentang tawarnya air sungai dan masinnya air segara. Haruskah kuteguk air asin yang justru membuatku semakin kehausan atau aku harus merendam dalam air tawar yang keruh seperti susu coklat? Mengenalinya dan tenggelam ke dalam kawah panas dengan hati sebagai bahan bakarnya. Hangus dan lebur barangkali.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H