"Sampai kapan kamu akan seperti ini, Tik?"
"Entahlah, sampai aku benar-benar bisa menerima semuanya."
"itulah hidup yang memaksa kita untuk tegas dengan pilihan-pilihan sulit. Ya seperti pernikahanku. Aku tak pernah mencintai istriku. Kau tau aku menikah karena dijodohkan. Ya sampai aku punya anak dua. Semua saya jalani karena kewajiban semata. Waktuku kuhabiskan untuk bekerja."
"apa alas an abang menuruti perjodohan itu?, bukankah menikah tanpa cinta itu sama saja hidup tanpa garam. Hambar dan ih... gak asik banget gitu?."
"kau ingin tahu jawabannya?." Matanya dengan sorot teduh itu membelaiku.
"karena aku ingin orang tuaku bahagia. Kadang kita mengabaikan kebahagiaan pribadi hanya untuk menyenangkan orang lain. Dari dulu memang aku lelaki yang tak pernah melibatkan cinta disemua aktifitasku. Meskipun aku berkecimpung di dunia seniman."
"sekarang abang sudah mencintai istri?."
"belajar lebih tepatnya. Tapi entahlah aku mulai terusik dengan wajahmu, tulisanmu disurat kabar nasional beberapa tahun lalu. Tapi kemudian aku kehilangan kamu. Karena tak lagi kujumpai kau dimedia itu. Kau wanita cerdas dan cantik. Padahal sebelumnya kita tak saling ketemu. Kamu percaya gak aku sering memimpikanmu. Rasanya semangat saja aku kerja kalau aku baca tulisanmu, poto-potomu di media sosial."
"ah terlalu berlebihan itu Bang. Dulu aku memang aktif mengisi kolom budaya diharian kota dan bermain-main dengan anak-anak di TIM. Tapi sekarang ntahlah."
"ada aku, tetaplah berkarya. Oiya tahun depan aku ada agenda seni di Johor Malaysia. Kamu mau ikut? Bukankah kau dulu actor?".
"itu dulu, ntah kapan waktunya aku lupa meninggalkan semua itu."