Mohon tunggu...
Mia Ismed
Mia Ismed Mohon Tunggu... Guru - berproses menjadi apa saja

penyuka kopi susu yang hoby otak atik naskah drama. pernah nangkring di universitas negeri yogyakarta angkatan 2000. berprofesi sebagai kuli di PT. macul endonesa bagian dapor

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Psychosis

1 Oktober 2019   18:36 Diperbarui: 1 Oktober 2019   19:04 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi itu ibram merakit sebuah bom kecil dan memasang di dalam mulutnya. Diundangnya kawan-kawan dan relasi sekerjanya diundang. 

Ibram                    :"Aku yakin, kita semua pernah mengalami hal yang sama. Apa yang kualami ini mungin juga pernah kawan-kawan alami. Tetapi masing-masing kita menimbulkan efek yag berbeda. Mungkin masing-masing kita mempunyai cara tersendiri untuk mengatasinya. Aku tak biasa mengatasinya maka beginilah jadinya. Namun apapun yang terjadi biarlah terjadi dan aku tak akan menyesalinya. Aku mengambil jalan ini semata-mata untuk membuktikan bahwa tak seorangpun berhak atas kepalaku. Akhirnya kepada kawan-kawan aku minta maaf. Mudah-mudahan apa yang kita lakukan adalah amal ibadah yang bernilai untuk kita. Pada akhirnya, kita hanya menanggung apa-apa yang kita lakukan. Apakah itu dosa atau pahala. "

                                Dengan tenang bram menarik picu bom yag ditanam dimulutnya. Maka tak ayal dengan bunyi ledakan. Kepalanya yang bertanduk itu bagaikan balon tusuk. Anehnya meskipun kepalanya telah berkeping-keping jantungnya masih tetap berdegub. Tubuh itu roboh dan dilarikan ke rumah sakit terdekat.

                                Ibram merasa heran sendiri. Ia dapat melihat tubuhnya diangkut ambulan dari rumahnya ke rumah sakit. Wajah-wajah tegang kawan-kawan dekatnya mengikutinya menyusuri bangsal rumah sakit yang begitu senyap.

                                "Ya Tuhan, mengapa aku masih hidup? Bukankah aku sudah meledakkan isi kepalaku?"

                                Sementara diantara tetelan-tetelan daging kepala ibram yang hangus terbakar para doketer menemukan lempengan-lempengan cip computer. Ketika dibaca teryata di dalamnya tersimpan memori yang bertuliskan beberapa nama. Tumpukan nama-nama cip itulah yang semula tersimpan di meja kerja yang menyebabkan kepalanya ditumbuhi tanduk sedemikian rupa.

Ibram                    :"Jika saya masih meminta ya Tuhan....".

Suara Ibram mengantung pada zat anastesi yang mengaliri darahnya dan mengeliminasi semua ingatannya. Ibram masih mendengar kuat apa yang ada disekitarnya. Dalam ketidaktahuannya dia menyaksikan dengan sadar semua yang terjadi hari itu. Tubuhnya tergolek lemah dipenuhi alat kedokteran. Matanya terkatup rapat. Mulutnya terbungkam alat oksigen.   

"Ya Tuhan apakah operasi ini tak berhasil? Itu tubuhku kaku tak bergerak. Kepalaku? dan orang-orang itu sangat kurang ajar sudah menjajah isi kepalaku. Apapun alasanya mereka tak berhak menyentuh apalagi mengoyak-koyak isi kepalaku."

"Apakah aku masih hidup ya, Tuhan? Bukankah aku sedang dioperasi? Apakah mereka yakin bisa menata kembali setiap cip yang error di kepalaku. Jangan-jangan mereka justru mencari tahu blackbox kepalaku dan mencuri segala ide-ide yang sudah kusimpan rapat di memori itu?"

Jarak Ibram semakin jauhdari tubuhnya. Dia merasa melayang hingga tubuhnya semakin mengeci dari pandangannyal. Ia melesat seperti cahaya. Keluar dari lubang angin. Melihat atap rumah sakit, pohon pohon dan akhirnya hanya gumpalan awan yang terlihat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun