Berpikir sejenak. Ibram terkekeh dan mengulangi kata-katanya.
"Ya, ya ya ke dukun."
Tangannya bertepuk sembari mulutnya menyeringai kegirangan. Kakinya meloncat-loncat.Â
"Ah, pergi ke dukun di zaman markonah tonggek  seperti sekarang ini? Apakah tak membuatku semakin tolol?. Sedangkan dunia ini serba realistis."
Ibram tersenyum sinis menertawakan idenya pergi kedukun. Wajahya datar kembali.Â
 "Tapi, menuruti dokter yang sok tau itu, juga sangat tak masuk akal bagiku. Sementara diameter kepalaku semakin melebar. Segala macam topi kukenakan tak bisa menampung isi otakku. Benjolan itu benar-benar menjadi tunas seperti kepala kerbau."
Meskipun dengan perasaan setengah-setengah Ibram kembali mendatangi dr Mugni. Dorongan itu karena dr Mugni adalah kawan baik bukan karena dia dokter dengan segala kemapanan serba bisa, serba ahli, serba tahu dan serba sirna.Â
Dr Mugni       : "Kebanyakan pasien memang orang bebal."
Suara dr Mugni menyambut kedatangan Ibram. Matanya tak beranjak di layar notebook dihadapannya. Ibram berjalan menuju sofa di ruangan itu. Bukan dikursi pasien yang berada di hadapan dr Mugni.
"Saya pernah mempunyai seorang pasien penderita serangan jantung dan tekanan darah tinggi serta penyakit kronis lainnya."
Dr Mugni melanjutkan perkataannya meskipun sedari tadi ibram membisu. Menyaksikan sahabatnya ngomel sendiri tanpa melihat ke arahnya.Â