"Tak  seorang pun berhak mengatur kepalaku. Aku merdeka sepenuhnya atas milikku yang satu-satunya ini. Aku bebas menentukan potongan rambutku, bebas menentukan jenis topi dan segala macamnya. Pokoknya, sebelum ada undang-undang yang melarang orang mempunyai tanduk dalam kegiatan rutinnya aku akan tetap bekerja. Jika memang ada yang melarang orang-orang bertanduk melakukan aktivitasnya, aku akan tetap melaksanakan rutinitasku. Akan kubuktikan, aku mempunyai kepala, bahwa aku berhak penuh atas kepalaku. Pokoknya, kepalaku ini adalah satu-satunya milikku yang paling berharga dan aku berhak penuh atas perlakuan apa pun yang akan kuberikan padanya."
                Suaranya nyerocos tanpa henti hingga matanya layu dipinang kantuk, tanpa dia sadari tubuhnya mengamini mata yang membawanya ke alam mimpi
Babak 5
Ibram bertekat dengan keputusannya. Kepalanya ditumbuhi tanduk. Dia berusaha obyektif. Mengeliminasi cemoohan orang lain, dia cuek dengan tertawaan dan tetap masuk kerja, tetap membaca Koran, tetap mendengarkan radio dan tetap berkomunikasi dengan handphone. Beberapa hari kemudian tanduk itu bercabang seperti tanduk menjangan. Dikepalanya menancap sepasang tanduk yang kokoh. Kali ini ibram benar-benar kehilangan kepercayaan dirinya. Kehilangan gairah. Frustasi. Untuk menemui Dr Mugni dia urungkan. Apatis terhadap nasihat.
Ibram           : "dr Mugni tak memberiku apa-apa."
Ibram kembali mengubah ruangan itu menjadi sebuah kolosium.Â
"Dia hanyalah seorang dokter. Â Ya Dokter. Dimana pun di dunia ini, tidak lebih dari orang-orang yang sok tahu. tapi tak benar-benar mengetahui."
                "Tindakan apa yang harus kulakukan sekarang? Dengan sepasang tanduk di kepala yang terus tumbuh tanpa dapat dikendalikan ini. Apakah aku masih bisa berkata, bahwa aku punya hak penuh atas kepalaku? Apakah aku masih bisa berteriak bahwa aku merdeka sepenuhnya atas kepalaku? Ah, semakin banyak saja hal yang tak bisa kuatasi meski hanya untuk diriku sendiri. Aku mesti berbuat sesuatu atas kepalaku ini."
ibram benar-benar frustasi
                "Biarlah. Biarlah dr Mugni merasa besar kepala, karena aku mengikuti anjurannya. Apa boleh buat, kejujuran, apa pun bentuknya, harus berhadapan dengan kejujuran lain, dan untuk mengatakannya harus ada polesan, harus ada bedak. Tak ada kejujuran benar-benar jujur. Tak ada kejujuran yang berdiri sendiri. Meski aku jujur mengatakan bahwa aku mengoperasi kepalaku karena inisiatifku sendiri tapi klaim dr Mugni yang mengatakan bahwa dialah yang menyarankannya tak dapat aku bantah."
Babak 6