"Mending aku cari dukun, walau tak tahu penyakitnya, tapi dukun selalu berani untuk mengobati."
Ibram meninggalkan dr Mugni. membanting pintu sembari menggerutu setengah frustasi.
Babak 3
Ibram tercenung. Dalam sekat kamar itu ia bagaikan anak kecil yang terus menumpahkan  kekesalannya. Sesekali ia berontak, ingin dimengerti cukup dengan diam tanpa harus dibantah oleh kursi dan dinding hitam. Pikirannya berkecamuk hebat. Â
Ibram           :"Jika memang obatnya seperti yang dianjurkan oleh dokter Mugni, untuk apa aku capek-capek konsultasi dengannya. Ya, aku tahu apa yang disampaikan dokter itu juga sama seperti pikiranku. Tapi, sangat mustahil jika aku meninggalkan itu semua. Ini kan zaman David Becham. Kita bisa bertahan hidup dan bisa sukses ya dengan benda itu."
Ibram beranjak dari tempat duduknya. Matanya memandangi langit-langit. keningnya mengerucut seakan berpikir kerasÂ
"Dunia tanpa surat kabar? (pikirannya menerawang) Tanpa radio? (sambil menghitung jumlah jemarinya) Tanpa televisi? dan tanpa handphone?."
"Ah, tandus sekali hidup ini. (suaranya melengking kembali) Gersang dan dunia yang mati. Tak ubahnya planet-planet lain yang tak ada kehidupan."
"Tidak! Tidak mungkin kutinggalkan semua itu."
Berjalan mondar mandir seperti ketakutan
"Atau apa aku harus pergi ke dukun saja?."