Mohon tunggu...
MEIRISMAN HALAWA
MEIRISMAN HALAWA Mohon Tunggu... Guru - H sofona osara

Lahir di Gunungsitoli, 18 Mei 1979

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Satu Hari yang Ajaib

5 November 2024   08:36 Diperbarui: 5 November 2024   08:39 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

SATU HARI YANG AJAIB

Perumnas Dahana, 21.00

(Dingin. Udara menerobos masuk ke dalam rumah dan segera membuat orang-orang di dalamnya mendekap dada. Mauri beranjak dari tempat duduknya, menutup pintu dan jendela depan. Mata Mauri kembali tertuju pada perut istrinya. Lebih besar dan kelihatan bergerak-gerak. Kasihan Dira. Seumur  ini masih harus melahirkan. Ini adalah bayi ketiga yang akan dilahirkan istrinya. Semoga bayi kami  seorang laki-laki yang kuat. Bisa membantu orang tuanya kelak)

Baca juga: Kisah yang Lain

"Bang.., Abang?"

"Hmm..?"

"Sejak tadi dia ndak tenang. Terus menendang. Mungkin sudah hampir waktunya."

Baca juga: Doa Makan

"Oh, ya?"

" Abang kok ndak perhatiin. Saya serius, Abang. Mungkin bayi kita lahir minggu ini."

 Minggu ini?

Baca juga: Laowomaru

  "Nanti kalau laki-laki kita beri nama apa?"

"Dari mana kamu tahu dia laki-laki?"

"Perasaan saya sepertinya bilang laki-laki. Dia suka nendang. Mungkin nanti jadi atlit silat atau pemain bola, ya?"

"Ha. Ha.."

"Bagaimana kalau kita beri nama : Mauri Cinta Dira?"

"Nama apa itu? Kok aneh?"

"Habis Abang ngak perhatiin saya. Memangnya apa sih yang dipikirkan?"

(Tersenyum). "Tidak ada.."

Pasti ada.

Dahana Sogawu-gawu, 08.20

(Pasti ada. Dira akan melahirkan. Biaya pasti sangat besar dan Mauri sekarang belum punya uang. Pekerjaan saja serabutan. Masih untung mereka bisa makan nasi tiap hari. Dari mana uang harus didapat..).

"Ada yang bisa saya bantu,"

(Perempuan cantik itu menatap curiga. Ini jalanan sepi. Seorang perempuan dengan mobil mogok. Dan... sekarang ada laki-laki asing tak dikenal berdiri di depannya)

"Jika mau saya bantu,  saya akan periksa mesinnya."

"Saya....?"

"Saya cuma mau membantu. Tapi kalau tidak mau, tak apa."

"Maaf...! Mesinnya ngadat. Aneh ..?"

"Saya Mauri. Saya mengenal sedikit tentang mesin mobil. Mungkin bisa membantu. Tolong hidupkan mesinnya!"

(Pintu dibuka. Mauri melirik. Di bangku depan ada hp mahal keluaran baru. Di sampingnya tas cantik tergeletak).

Mungkin di dalamnya banyak uang..!

"Bagaimana..? Bisakah diperbaiki."

"Hmm.. .. Tidak ada masalah serius. Cuma air pendinginnya  hampir habis. Itu biasa.  Mesin terlalu panas. Kamu punya air mineral botol?"

"Ya .. Saya punya di sini."  (Mesin kembali dihidupkan. Mula-mula ngadat tetapi kemudian normal). "Wah ..! Saya benar-benar mengucapkan terima kasih."

Tas itu pasti berisi uang. Dari HP-nya saja yang mahal, dia pasti orang kaya.

"Terimakasih. Pak. Berapa harus membayar ini."

Kalau saya rampok takkan ada yang tahu. Ini jalanan sepi. Uangnya pasti lebih dari cukup untuk biaya bersalin Dira.

"Pak ..?

(Ada nada kuatir. Juga takut)

"Eh .. Ya. Tidak. Tidak. Terima kasih juga. Tidak usah dibayar. Saya senang bisa membantu anda"

"Hei ..tunggu. Ini ambil sajalah. Ini bukan bayaran. Tapi sekedar ucapan terima kasih."

"Tidak usah. Saya senang hari ini bisa membantu seseorang. Seseorang tidak harus dibayar untuk yang ia lakukan."

"Tapi...?"

"Terima kasih. Ini tadi tidak terlalu merepotkan. Mungkin lain kali Ibu yang akan membantu saya. Terima kasih." (Perempuan itu terbengong). "....Atau begini saja. Ibu bantu seseorang hari ini, kita impas." Ha .. Sejak kapan saya pintar ngomong seperti fllsuf.

'Tunggu, Pak..!" (Tapi Mauri sudah berlalu). Aneh. Siapa laki-laki itu. Bicaranya seperti pendeta atau ustad saja. Atau ..Malaikatkah dia? Benar-benar aneh.

Jl. Sirao, 11.35

(Aneh..? Tidak juga. Perempuan itu mengeluh. Cuaca memang tidak mudah ditebak tahun-tahun terakhir ini. Tadi pagi begitu cerah dan tiba-tiba hujan, itu bukan hal yang aneh. Malah kejadian tadi pagi yang lebih aneh. Masa ada orang yang ditawarin upah malah menolak. Hmm...mungkin memang harus begitu. Orang kadang harus membantu seseorang tanpa pamrih. Jangan berharap sesuatu pada orang yang dibantu, demikian kata Pak Guru saat masih sekolah dulu. Perempuan itu mengangkat bahu. Hari ini ia mendapat satu pelajaran dari seorang yang tak di kenal. Siapa namanya tadi? Mau..Mauri? Entahlah. Hujan tiba-tiba turun dengan deras. Padahal tadi pagi begitu terik).

"Payung .. Tante. Payung."

Brengsek. Cantik-cantik begini dipanggil tante. "Makasih. Tidak usah!"

"Cuma seribu kok, Tante. Dari pada nunggu di sini terus.'"

Cerewet juga nih, Anak. Sebentar lagi dia pasti maksa. "Eh .. dibilang ngak usah. Ya, ndak usah. Cari yang lain, ya!"

(Memelas). "Ya sudah, deh. Mari, Tante. Payung ..! Payung ..!"

Ah .. kasihan juga nih, Anak. Masa hanya karena dibilang tante saya tidak  bisa keluarin seribu rupiah. Eh .. bukankah orang aneh tadi pagi itu bilang supaya membantu seseorang. Nah ini saatnya. Lagipula saya memang buru-buru. "Hei!  Payungnya, Dek!" (Si anak menoleh. Bingung, tapi segera berlari menuju perempuan itu.)

"Ada apa, Tante. Jadi nyewa payungnya?"

"Iya. Tolong seberangkan saya ke mobil di ujung parkir.."

"Baik. Mari, Tante."

"Siapa namamu?"

"Fa'a. Fa'atulo, Tante."

"Sekolah dimana?. Ini kan jam sekolah. Kenapa tidak ke sekolah?."

"Saya ngak sekolah hari ini. Ibu lagi sakit. Butuh biaya berobat. Hujan kan tidak selalu muncul tiap hari."

"Oh .. "(Kasihan) "Nah ini uang untuk kamu, ya"

"Wah besar sekali. Tunggu di sini, tante. Biar saya tukar di warung sana."

"Tidak, tidak. Ini uang sama kamu semua. Kasi biaya obat ibu kamu."

"Ha .. Tante serius. Ini seratus ribu, tante.?"

"Iya. Semua untuk kamu. Atau begini saja. Kalau kamu mau berterima kasih bantu seseorang hari ini tanpa mengharapkan imbalan. Bagaimana? Dan satu lagi.... jangan panggil saya tante."

(Tiba-tiba tangan perempuan itu diraih si Anak. Menciumnya beberapa kali).

"Tante .. Eh, Kakak baik sekali. Benar-benar baik. Kakak pasti bukan manusia. Kakak ..kakak.. Malaikat cantik. Malaikan tercantik di Gunungsitoli"

"Hi.. Hi.. " Cuma seratus ribu, saya sudah dipanggil malaikat.  Cantik lagi katanya.  Tapi kenapa hanya di Gunungsitoli, maunya se Indonesia atau se Asia Tenggara paling tidak. Anak itu pasti sangat butuh uang itu. 

Jalan Gomo, 16.10

(Ini bukan sekedar seratus ribu. Ini keajaiban. Ibu lagi sakit, dan malaikat tadi tiba-tiba kasi uang besar. Jika sudah sehat, ibu akan kembali jaga warung. Dia tidak perlu nyewa payung. Bukankah itu ajaib).

Akhh..!

"Ma .. maaf, Pak. Saya.. saya tidak sengaja."

"Makanya hati-hati kalau jalan. Ya ..sudah. Saya lagi buru-buru. Hati-hati lain kali ya."

"Iya, Pak. Makasih."

Uff.. untung saja Bapak itu tidak marah. Saya juga yang salah, kurang hati-hati sehingga nabrak orang. Untung tidak dimarahi. Eh .. apa itu?

(Sebuah dompet)

Pasti milik Bapak tadi, Hmm .. wah isinya lumayan juga. Apa ini. Pasti ini yang namanya kartu kredit. Bapak ini pasti orang kaya. Kalau saya ambil uangnya, saya pasti bisa jajan tiap hari. Lumayan. Tapi .. ini namanya mencuri. Uang beli obat untuk mama sudah lebih dari cukup. Siap tahu ini maksud tante malaikat tadi. Membantu seseorang tanpa mengharapkan imbalan. Sebaiknya saya kembalikan saja.

"Pak .. Pak, Tunggu ..!"

"Ada apa, Nak?"

"Dompet Bapak terjatuh."

"Ha? Dimana?,"

"Ini, Pak!"

"Ya, Tuhan. Tolol sekali saya. Kamu .. kamu ..Wah kamu baik sekali. Siapa namamu?"

"Fa'a, Fa'atulo, Pak."

(Suaranya mantap selalu jika menyebut namanya)

'Terima kasih, Nak Fa'a. Jarang ada anak sejujur ini. Saya benar-benar berterima kasih. Hmm.. ambillah ini. Saya senang atas perbuatanmu ini."

"Ngak usah, Pak,"

"Lho."

"Kalau saya mau ambil uang ini, untuk apa dompet Bapak saya kembalikan." Iya juga, ya. "Terima kasih, Pak. Saya hanya mengikuti saran seorang malaikat kakak cantik tadi siang. Dia bilang supaya saya harus menolong seseorang hari ini."

"Malaikat kakak? Maksudnya..?"

"Iya. Bukan Malaikat tante. Tapi malaikat kakak" Ngawur "Maksudnya,.. ya, ngak usah di kasi uang lagi. Saya senang bisa membantu, Bapak."

"Hei.. tunggu..?"

"Saya permisi, Pak ya"

"Tunggu.. tunggu. Begini saja. Kamu masih sekolah?"

"Masih, Pak. Kelas lima."

"Dimana ? Rumahmu juga dimana?

"SD Boyo. Saya tinggalnya di Honu. Tuh..! tidak jauh dari sini."

"Nah .. Begini saja saya akan temui kamu kapan-kapan di sana. Mungkin saya bisa bantu sesuatu."

"Ngak usah, Pak. Bisa-bisa malaikat tante nanti marah karena saya tidak ikhlas bantu orang lain."

"Malaikat tante..?"

"Iya .. Eh, bukan..bukan. Maksud saya  Malaikat kakak? Katanya hari ini saya harus membantu seseorang tanpa mengharapkan imbalan. Malaikat kakak itu sangat baik, Pak."

Ha..?

Jalan Fondrako, 18.15

(Ada malaikat tante, malaikat kakak dan mungkin malaikat anak. Hmm atau anak malaikat. Ha... Ha ... hari ini lucu tapi luar biasa. Dompet hampir-hampir hilang dan anak aneh itu benar-benar   baik.   Mungkin   kapan-kapan   saya   menemuinya,   siapa   tahu   saya   bisa membantunya).

"Selamat sore, Bapak... Mari biar saya bawa tasnya."

"Ya... ya ini, Bi. Ibu sudah pulang?"

"Belum, Pak. Tapi Nyonya sudah nelpon tadi. Katanya dia mungkin makan malam di luar."

Selalu begitu. Semua sibuk. Kadang-kadang saya merindukan masa-masa dulu saat masih sulit. Semua sering bertemu dan tertawa bersama.  Untung Bibi ada di sini. Eh... sepertinya kandungan Bibi semakin besar. Kasihan Bibi ini. Umurnya sudah lebih kepala tiga, masih harus  melahirkan. Hmm.. sepertinya saya juga kurang memperhatikan orang-orang di rumah ini.

"Ini kopinya, Pak."

"Terima kasih, Bi. Oh, ya Bi kandungan Bibi sudah bulan berapa?"

"Doro bawa nia[1]. Bibi sebenarnya malu, sudah tua begini masih melahirkan. Tapi Ama Sakhi [2] benar-benar merindukan anak laki-laki. Siapa tahu ini anak laki-laki. ".

 

"Ha... ha... untuk apa malu, Bi. Itu anugerah. Begini, Bi, saya pikir Bibi perlu istrahat. Lebih baik menjaga kandungan Bibi saja. Saya mau kasih waktu istrahat sama Bibi sampai benar-benar sehat setelah melahirkan."

 

"Maksudnya?"

 

"Iya, Bibi sudah bekerja belasan tahun di sini. Wajar perlu diberi cuti seperti itu."

 

"Tapi, Pak?"

 

"Jangan kuatir tentang gaji Bibi. Walau Bibi libur gajinya tetap dihitung. Sementara cukup Eta yang bantu-bantu di rumah.  Dan... satu lagi, suami Bibi sekarang kerja dimana..?"

 

"Tidak ada, Pak. Sejak di PHK, dia kerjanya serabutan".

 

"Nah... kebetulan, Pak Daro, tukang kebun sudah minta pamit sama saya. Dia diajak anaknya ke Jawa. Suruh Ama Sakhi ke sini, ya".

 

"Benar, Pak?"

 

"Iya, Bi."

 

"Pak..Bapak  benar-benar baik sekali. Bapak punya hati seperti malaikat."

 

Malaikat? Ha... Ha... ?Ada tante malaikat, ada anak malaikat dan saya menjadi bapak malaikat, ha... ha...

 

"Hmm...saya hampir lupa. Kemarin Ibu  nitip sesuatu. Tunggu. Biar saya ambil sebentar."

 

"Apa itu, Pak?"

 

"Ini ada sekedar biaya persalinan. Tidak begitu besar. Tapi cukup membantu. Sisanya anggap saja kado kelahiran bayi Bibi..."

 

"Ha...?"

 

(Majikannya mengangguk kepala pelan. Tulus. Bibi menitikkan air mata. Terharu).

 

Mungkin ini yang dimaksud malaikat kecil itu. Menolong seseorang. Betapa indah hidup ini... bila seseorang mau membantu tanpa pamrih. Mungkin sebaiknya Bibi saya anjurkan pula hal yang sama. Biar dunia jadi indah.

 

Perumnas Dahana, 21.00

 

(Dingin.  Selalu begitu tiap malam. Mata Bibi tertuju pada suaminya yang tertidur di kursi rotan ruang tamu. Kelihatan ia capek. Benar-benar capek)

 

"He... kamu sudah pulang... ?"

 

"Lho kok Abang bangun?"

 

"Saya cuma istrahat tadi sebentar. Malah ketiduran. Abang lelah sekali..."

 

"Kenapa..?"

 

"Hmm...ngak usah dipikirin. Sana ..Cuci muka."

 

"Abang pikirkan biaya persalinan, ya?"

 

"Tidak...Eh...ia, sih. Tapi jangan kuatir, Abang pasti dapat uang banyak besok-besok. Jangan pikirkan, ya."

 

"Abang jangan kuatir. Tadi Bapak  dan Nyonya kasi ini sama kita."

 

"Apa ini...?"

 

"Uang biaya persalinan. Katanya hadiah, dan Abang kalau mau, bisa jadi tukang kebun di rumah Tuan. Mulai besok."

 

"A... A.. apa... ? Ini uangnya besar Dira."

 

"lya. Mereka baik. Seperti Malaikat. Kata Bapak tadi,  kalau mau berterima kasih bantu seseorang tanpa pamrih."

 

Sepertinya saya pernah mendengar kalaimat itu. Di mana, ya? Hidup ini kadang tak bisa diterka. Kemarin saya susah tidur mikirin bagaimana dapat uang. Eh..., tiba-tiba dapat rejeki  besar malam ini. Hm... Terima kasih Tuhan. Dan, untuk Dira, saya harus menyetujui nama bayi kami nanti: MAURI CINTA DIRA. Ha... Ha...

 

***

 

  

 

 

 

                               

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PROFIL PENULIS

 Nama: Meirisman Halawa

 Menyelesaikan pendidikan SI di IKIP Gunungsitoli dan S2 di UPI Bandung.

 Menulis belasan cerpen dan esay yang diterbitkan dalam kumpulan cerpen oleh Departemen Pendidikan Nasional, diantaranya: Tujuh Bagian (2003), Aku,  Bapak dan Setan(2004), Jalan-jalan Sepi Nalua (2005) dan Kisah yang Lain (2007).  Beberapa kali memenangkan lomba membuat cerpen tingkat nasional, diantaranya juara 4 tahun. 2002, finalis tk. Nasional tahun 2003 dan 2004 dan juara 1 tk. Nasional tahun 2006.

 sebagian cerpen terbit di media cetak dan online diantaranya Kompas

 

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun