“Kalian tinggal bersama selama berhari-hari dan berjam-jam dalam seharinya, di sebuah ruangan VIP yang tertutup hanya kalian bertiga saja. Selain itu kamu sangat baik padanya, menyetrika bajunya, mencuci kan dia piring, sendok dan gelas.”
“Masak makan kesukaan dia tanpa seizinku. Sanggup berjalan kaki ke sana kalau aku tidak mengantarmu. Selain itu juga kamu tidak membolehkan aku masuk ke dalam ruangan dengan alasan Dita tidak suka. Kalau malam di saat aku mencoba memelukmu, kamu menepiskan tanganku.”
“Kamu juga memaksa anak tetangga yang masih SMP itu untuk mengantarmu pakai motor, padahal dia SIM saja belum punya dan pakai motor saja baru beberapa hari. Ini semua tanda-tanda yang sangat jelas,” kata Tehkep dengan penuh emosi.
“Ah, itu sih perasaanmu saja,” bantah Rani. “Memang abang suka cemburu buta.”
“Ingat,” kasta Tehkep sambil memandang Rani jengkel. “Apakah kamu memang terlalu bodoh atau pura-pura tidak tahu. Atau seperti saudara-saudaramu yang lainnya yang berselingkuh di saat para suami mereka tidak berada di tempat. Jadi kamu sama saja dengan mereka,” kata Tehkep sangat kesal sambil pergi tanpa menunggu jawaban dari Rani.
Memang saudari-saudari Rani yang lainnya pada rajin berselingkuh, di saat suami mereka tidak ada maka berhubungan dengan laki-laki mana saja yang mau dengan mereka. Kabar-kabarnya sih mereka berhubungan dengan ratusan laki-laki. Maniak kali? Pikir Tehkep. Apakah istrinya juga sebenarnya seperti itu?
“Yang bertengkar itu kita berdua, jangan mengaitkannya dengan para saudariku,” kata Rani tersinggung.
Tehkep juga terlanjur berkata seperti itu, sebenarnya dia tidak bermaksud menyinggung mereka. Oleh sebab itu dia lari saja dan mencoba menghibur dirinya.
Suatu hari ada WA dari Reza, meminta dirinya datang ke rumah sakit, tetapi Tehkep tidak mau mengantarkannya. Akhirnya Rani bersepakat dengan adiknya yang tinggal tidak jauh dari rumah dirinya.
Tetapi karena adiknya itu adalah seorang guru, maka mereka baru sore bisa datang ke rumah sakit, sedangkan pesan WA itu sekitar jam 8 pagi. Ketika Rani dan adiknya sampai ke rumah sakit, rupanya Dita dengan ayahnya sudah dibolehkan dokter pulang, sehingga pada saat itu mereka sudah pulang ke rumah.
Tidak lama Rani dan adiknya sudah pulang, sambil membeli buah-buahan di pinggir jalan, karena memang sudah musimnya. “Cepat pulangnya?” tanya Tehkep sambil berusaha sabar.