Yang namanya cemburu itu seperti api, dia bisa membakar apa saja, apa lagi hanya sekeping hati. Ketika seorang suami merasa kesetiaannya dikhianati, maka apa saja bisa dilakukannya …
__________________________________________________________________
Sejak beberapa hari yang lalu, perasaan cemburu mulai merayap dalam hati Tehkep terhadap istrinya, Rani. Ia merasa sangat terganggu dengan beberapa kelakuan istrinya yang menurutnya sangat merugikan. Entah itu sengaja atau tidak, tetapi perilaku Rani sungguh sangat menyakitkan bagi Tehkep.
Insidennya itu adalah urusan Dita menderita DBD, yang membuat Tehkep cemburu adalah Rani harus menunggu keponakannya, Dita, di rumah sakit. Dita terkena DBD, dan ibu Dita, yang merupakan adik kandung Rani, telah meninggal dunia beberapa bulan yang lalu, Tehkep merasa keberatan dengan situasi ini.
Yang membuatnya semakin tak suka adalah fakta bahwa suami adik Rani adalah seorang play boy, dan adiknya yang sudah meninggal karena sakit kanker usus itu bahkan hamil di luar nikah. Jadi Dita itu lahir sebelum mereka di ikat dalam perkawinan yang sah.
Tehkep tak bisa membayangkan bagaimana istrinya harus berada dalam satu ruangan dengan suami play boy tersebut selama beberapa hari dan setiap hari beberapa jam bertiga saja dengan anaknya yang sakit DBD itu.
Apa saja bisa terjadi, siapa yang melihatnya jika mereka bermain di WC atau sambil berdiri? Toh anaknya Dita kan sering tertidur karena pengaruh obat tidur yang diberikan dokter, jadi mereka punya banyak kesempatan apa lagi kamar itu VIP dan hanya ditempati mereka saja tidak ada orang lain.
"Sungguh, Rani. Apa yang kamu pikirkan dengan terus-terusan menemani mereka di rumah sakit? Lagi pula, suaminya adikmu itu benar-benar tidak bisa dipercaya," ujar Tehkep kepada istrinya saat mereka duduk di ruang tengah rumah mereka.
Rani hanya tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, sayang. Mereka adalah keluarga, dan aku ingin mendukung mereka dalam situasi sulit seperti ini. Apa lagi Dita ini kan anak almarhumah adikku. Aku tidak berbuat apa-apa kok dengan Reza Bapaknya Dita."
Namun, semakin hari, perasaan cemburu Tehkep semakin memuncak. Ia merasa istrinya terlalu baik kepada keponakannya dan ayahnya itu. Bahkan, beberapa kali Rani rela berjalan kaki dari rumah mereka atau meminta diantar ojek hanya untuk pergi ke rumah sakit tempat Dita dirawat.
Bukan itu saja, dia sering meminta keponakan Tehkep anak tetangga untuk mengantarnya ke rumah sakit, padahal anak itu baru masuk SMP, jelas belum punya SIM lagi. Memakai motor pun baru beberapa minggu, kan bahaya. Sepertinya Rani ngebet sekali ingin bertemu Dita atau Reza sebenarnya?
Tehkep juga semakin jengkel karena Rani sempat membantu suami adiknya itu mencuci piring dan mencuci pakaian. Sementara itu, di rumah Tehkep, pakaiannya terbengkalai dan tidak ter setrika dengan baik. Ini membuatnya semakin curiga.
"Bukankah kamu terlalu baik padanya?" tanya Tehkep pada suatu malam ketika Rani sedang menyetrika baju Dita di ruang tamu.
Rani hanya tersenyum saja, seperti senyum seorang yang sedang jatuh cinta. "Aku hanya ingin membantu, sayang. Mereka sedang dalam kesulitan, dan kita harus mendukung mereka sebaik mungkin."
Tetapi yang membuat Tehkep semakin tidak senang adalah ketika Rani menawarkan diri untuk membantu memasak untuk suami adiknya. Malam itu, Rani memasak ikan tempoyak, hidangan favorit Reza, suami adiknya. Ia juga menyiapkan beberapa hidangan lainnya untuk mereka berdua.
Rani melakukan itu dengan sama sekali tidak menanyakan persetujuan Tehkep. Padahal Tehkep memancing ikan itu dalam keadaan siang yang panas, sehingga setelah itu dia merasa sedikit pusing karena terkena terpaan sinar matahari yang sangat panas. Lalu enak saja Rani memasakan ikan itu campur tempoyak untuk makan Reza yang berada di rumah sakit.
Rani beralasan karena pasti Reza suka karena di rumah sakit hanya memakan makanan Fast Food saja. Kok dia peduli benar?
Tehkep merasa tidak enak hati ketika ia melihat hidangan yang lezat itu dihidangkan untuk suaminya adiknya. Ia melihat bagian dari ikan tempoyak yang sangat besar disajikan untuk suami play boy itu. Ini seperti puncaknya bagi Tehkep.
"Kenapa kamu memberikan bagian terbaik untuk suami adikmu? Bukankah dia bukanlah orang yang baik?" tanya Tehkep dengan nada yang memanas.
Rani mencoba menjelaskan, "Aku hanya ingin menjaga keharmonisan keluarga, sayang. Biarkan aku membantu mereka dalam waktu sulit ini."
Yang semula hanya kata-kata yang ringan, akhirnya pembicaraan itu semakin lama menjadi pertengkaran hebat. Hati mereka semakin panas. Kata-kata mereka tidak terkendali lagi, sehingga semua hal yang selama ini tersembunyi menjadi terungkap semuanya.
Hari berikutnya, Tehkep masih merasa marah. Ia merasa bahwa Rani tidak mendengarkan argumennya dan terlalu keras kepala. Ia memutuskan untuk pergi memancing lagi di kolam mereka untuk meredakan perasaannya yang masih membara.
Rani tidur pisah ranjang dengan Tehkep, alasannya Tehkep ngorok. Padahal selama ini juga mereka tidur bersama, tidak pernah Rani mengeluh dengan Tehkep yang katanya ngorok. Hal ini semakin menjadi catatan bagi Tehkep, tetapi dia diam saja karena masih menjaga keluarganya tetap utuh.
"Rani, aku akan pergi memancing di kolam lagi sebentar," kata Tehkep saat Rani sedang sibuk membersihkan rumah.
Rani mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mungkin ia masih marah dengan Tehkep setelah pertengkaran semalam.
Tehkep pergi ke kolam mereka dengan perasaan campur aduk. Meskipun ia ingin meredakan kekesalannya, tetapi ia juga merasa tidak enak karena telah marah dengan istrinya. Ia membawa pancing, umpan, dan segala perlengkapan yang diperlukan untuk memancing.
Saat ia tiba di kolam, matahari bersinar terik di langit lagi, memang ini musim kemarau panjang. Panasnya terik matahari membuatnya berkeringat seketika. Namun, Tehkep tetap fokus pada memancing. Ia melemparkan umpannya ke dalam air dan mulai menunggu dengan sabar.
Beberapa jam berlalu, Tehkep akhirnya berhasil menangkap beberapa ekor ikan. Salah satunya sangat besar dan kuat. Ia dengan hati senang mengeluarkan ikan besar itu dari air dan segera membersihkannya.
Saat itu, Tehkep merasa bahwa ikan itu sangat cocok untuk dimasak tempoyak, hidangan favorit Rani. Ia memutuskan untuk menyimpan ikan tersebut untuk mereka berdua. Ia merasa bahwa mungkin hidangan lezat ini dapat membantu memperbaiki hubungan mereka setelah pertengkaran semalam.
Ketika Tehkep kembali ke rumah, ia melihat Rani sedang sibuk membersihkan piring di dapur. Ia merasa gugup dan berharap bahwa ikan perolehannya dapat mengakhiri pertengkaran mereka.
Tehkep masuk ke dapur dengan senyum di wajahnya. "Rani, aku sudah pulang. Aku membawa ikan yang sangat besar. Kita bisa masak tempoyak dan mengobrol baik-baik sekarang."
Rani berbalik dan melihat ikan besar yang dipegang oleh Tehkep. Matanya berbinar-binar. "Wow, ikan ini sungguh besar, Tehkep! Terima kasih banyak!"
Tetapi saat Rani mulai memasak ikan tersebut, Tehkep merasa ada yang tidak beres. Ia melihat Rani kembali menyajikan bagian terbaik dari ikan tersebut untuk Reza, suami play boy almarhumah adiknya.
Tehkep yang sudah mencoba untuk berbaikan dengan istrinya, tidak bisa lagi meredam kemarahannya. "Rani, kenapa kamu memberikan bagian terbaik untuk suaminya adikmu? Apa yang sedang kamu pikirkan?"
Rani mengernyitkan kening. "Aku hanya ingin membuatnya senang, Tehkep. Kita bisa menikmati bagian yang lainnya bersama."
Mereka malamnya tidur berpisah lagi, Rani di kamar sementara Tehkep di ruang kerjanya di kamar atas. Tetapi anehnya, tidak ada upaya dari Rani untuk menekan kemarahan suaminya, sepertinya dia pura-pura tidak tahu saja.
Apakah dia benar-benar sudah jatuh cinta pada suami almarhumah adiknya? Karena Reza lebih muda, tampan dan punya uang banyak? Hanya Rani yang tahu, pikir Tehkep.
Di kamar Rani malahan sibuk bermain ponsel saja dan tertawa-tawa sendiri, sementara Tehkep memendam rasa sakit hati yang berkepanjangan. Sebelum naik ke ruang kerjanya, beberapa kali suaminya mencoba memeluknya sambil tidur, tetapi Rani selalu menolak tangan suaminya.
Siangnya, Rani menerima telepon dari kakaknya, Maya, yang tinggal di kota tetangga. Maya mengatakan bahwa ia ingin datang untuk melihat Dita yang sakit. Rani mengiyakan dan sepintas memberitahu Tehkep tentang kedatangan Maya. Setelah itu dia diam lagi, tidak mau berbicara dengan Tehkep.
Maya ini juga menurut Tehkep, tidak bisa dipercaya juga. Karena dirinya sangat dekat dengan suami adik Rani itu, bahkan sewaktu merawat almarhumah mamanya Dita dulu, Maya beberapa malam tidur berdampingan di lantai di rumah sakit di samping Reza.
Malam-malam sepi dan tidak ada orang yang melihatnya, apa saja bisa terjadi. Durian dan mentimun bersatu, biasanya sih mentimun akan tembus oleh durian.
"Bang Tehkep, Maya akan datang besok untuk melihat Dita. Aku harus menemaninya ke rumah sakit," kata Rani dengan nada seperti angin lalu saja. “Mungkin kami pergi bersama adikku yang menjadi tetangga kita itu.”
Tehkep merasa was-was, tetapi dia tidak mungkin melarang Rani untuk meninggalkan rumah sejenak. Dia juga kan bersama adik dan kakaknya. "Baiklah, istriku. Pergilah, tapi jangan lupa waktu. Jangan lupa rumah kita.”
“Iya sayang …”
Keesokan harinya, Rani bersama adik perempuannya yang satu lagi pergi ke rumah sakit bersama Maya. Rani tampak senang karena Maya akhirnya datang untuk memberikan dukungan kepada Dita. Mereka segera berangkat dan meninggalkan rumah dalam keadaan yang tidak terurus.
Sementara itu, Tehkep diberi tugas oleh Rani untuk memancing lagi di kolam mereka, untuk dibekalkan Sebagian kepada Maya ketika dia pulang ke kotanya. Tehkep sependapat juga bahwa pergi memancing dapat menjadi cara yang baik untuk meredakan perasaannya. Dengan terpaksa, Tehkep mengikuti instruksi Rani.
Hari itu sangat panas, dan matahari tetap bersinar terik di langit seperti hari-hari kemarin. Tehkep melemparkan umpannya ke dalam air dan duduk dengan sabar. Ia merenungkan tentang perasaannya yang campur aduk. Ia merindukan kedamaian dan kebahagiaan dalam rumah tangga mereka.
Beberapa jam berlalu, Tehkep akhirnya berhasil lagi menangkap beberapa ekor ikan. Semuanya kali ini sedang besar dan kuat. Ia mengingat kata-kata Rani bahwa mereka dapat menikmati bagian yang lainnya bersama. Ia merasa bahwa ini adalah kesempatan baik untuk memperbaiki hubungan mereka.
Tehkep membersihkan ikan-ikan tersebut dengan hati-hati di antara gangguan anjing dan kucing tetangga yang mengerumuninya karena menginginkan ikan mentahnya, kemudian setelah bersih dia membawanya pulang. Saat ia tiba di rumah, ia merasa senang dan gugup sekaligus. Ia berharap bahwa hidangan ikan campur tempoyak segar yang tidak terlalu asin itu nantinya dapat membantu meredakan pertengkaran mereka.
Untuk Maya dia simpan dalam plastik dan dimasukkannya ke dalam kulkas, agar sewaktu Maya pulang nanti maka dia dapat membawanya.
Tetapi ketika pulang siang harinya menjelang sore, Rani memang memasakan ikan itu campur tempoyak tetapi masih lagi-lagi sebagian besar diberikannya kepada suami adik iparnya itu tanpa persetujuan Tehkep sebelumnya.
Jelas saja hal ini membuat Tehkep jengkel, karena dirinya dalam keadaan panas-panas memancing dan menyimpan ikan besar itu untuk istrinya, agar Rani memasakannya untuk mereka dan keduanya bisa makan bersama sambil konsolidasi dari pertengkaran selama ini.
Pertengkaran di antara Tehkep dan Rani pun pecah kembali. Kali ini, mereka berdua kembali lagi mengeluarkan semua perasaan yang mereka pendam selama beberapa hari ini dengan lebih keras. Suasana di rumah mereka semakin tegang.
Seperti perang dunia ketiga …
Tehkep tidak bisa lagi meredam kemarahan dan kekecewaannya. Ia melampiaskan perasaannya dengan berteriak. "Kamu terlalu naif, Rani! Suami adikmu bukanlah orang yang baik! Dia tidak layak mendapatkan perlakuan seperti ini!"
“Aku kan terpikir adikku dan anaknya yang sakit, sehingga aku lah yang mengurus Dita karena Mamanya telah tiada,” jawab Rani tidak kalah sengitnya.
“Tapi kan anaknya yang sakit, bukan ayahnya,” bentak Tehkep dengan keras.
“Kamu terlalu pencemburu Bang. Malu lah sedikit, seperti anak kecil saja,” serang Rani.
“Suami mana yang tidak cemburu dengan sikap istrinya sepertimu itu. Kecuali dia memang bloon,” sergah Tehkep lagi. “Seharusnya kamu paham, bahwa tindakanmu itu menyinggung dan menyakitiku,” ujar Tehkep.
Tidak ada yang tahu bagaimana pertengkaran ini akan berakhir. Yang pasti, perasaan cemburu Tehkep semakin meruncing, dan Rani terus beralasan karena hanya ingin meringankan beban adik iparnya.
“Cobalah kamu pikir,” kata Tehkep. “Kalian berdua tinggal dalam satu kamar, selama beberapa hari lagi dan hanya sebentar saja perawat dan dokter masuk. Setelah itu kalian hanya tinggal bertiga dengan Ditanya saja yang lebih banyak tidur karena pengaruh obat tidur. Kan apa saja bisa terjadi,” kata Tehkep kesal.
“Kamu salah. Aku kan bisa menjaga diri, aku bukan perempuan murahan,” jawab Rani.
“Aku mungkin masih bisa masih percaya padamu, tetapi aku sama sekali tidak bisa percaya pada suami almarhumah adikmu itu. Dia itu terkenal play boy,” ujar Tehkep.
“Itu kan kata orang, Bang. Tetapi tidak denganku,” bantah Rani lagi.
“Coba kamu pikir lagi baik-baik Rani,” kata Tehkep mencoba menjelaskan dengan kata-kata yang perlahan.
“Kalian tinggal bersama selama berhari-hari dan berjam-jam dalam seharinya, di sebuah ruangan VIP yang tertutup hanya kalian bertiga saja. Selain itu kamu sangat baik padanya, menyetrika bajunya, mencuci kan dia piring, sendok dan gelas.”
“Masak makan kesukaan dia tanpa seizinku. Sanggup berjalan kaki ke sana kalau aku tidak mengantarmu. Selain itu juga kamu tidak membolehkan aku masuk ke dalam ruangan dengan alasan Dita tidak suka. Kalau malam di saat aku mencoba memelukmu, kamu menepiskan tanganku.”
“Kamu juga memaksa anak tetangga yang masih SMP itu untuk mengantarmu pakai motor, padahal dia SIM saja belum punya dan pakai motor saja baru beberapa hari. Ini semua tanda-tanda yang sangat jelas,” kata Tehkep dengan penuh emosi.
“Ah, itu sih perasaanmu saja,” bantah Rani. “Memang abang suka cemburu buta.”
“Ingat,” kasta Tehkep sambil memandang Rani jengkel. “Apakah kamu memang terlalu bodoh atau pura-pura tidak tahu. Atau seperti saudara-saudaramu yang lainnya yang berselingkuh di saat para suami mereka tidak berada di tempat. Jadi kamu sama saja dengan mereka,” kata Tehkep sangat kesal sambil pergi tanpa menunggu jawaban dari Rani.
Memang saudari-saudari Rani yang lainnya pada rajin berselingkuh, di saat suami mereka tidak ada maka berhubungan dengan laki-laki mana saja yang mau dengan mereka. Kabar-kabarnya sih mereka berhubungan dengan ratusan laki-laki. Maniak kali? Pikir Tehkep. Apakah istrinya juga sebenarnya seperti itu?
“Yang bertengkar itu kita berdua, jangan mengaitkannya dengan para saudariku,” kata Rani tersinggung.
Tehkep juga terlanjur berkata seperti itu, sebenarnya dia tidak bermaksud menyinggung mereka. Oleh sebab itu dia lari saja dan mencoba menghibur dirinya.
Suatu hari ada WA dari Reza, meminta dirinya datang ke rumah sakit, tetapi Tehkep tidak mau mengantarkannya. Akhirnya Rani bersepakat dengan adiknya yang tinggal tidak jauh dari rumah dirinya.
Tetapi karena adiknya itu adalah seorang guru, maka mereka baru sore bisa datang ke rumah sakit, sedangkan pesan WA itu sekitar jam 8 pagi. Ketika Rani dan adiknya sampai ke rumah sakit, rupanya Dita dengan ayahnya sudah dibolehkan dokter pulang, sehingga pada saat itu mereka sudah pulang ke rumah.
Tidak lama Rani dan adiknya sudah pulang, sambil membeli buah-buahan di pinggir jalan, karena memang sudah musimnya. “Cepat pulangnya?” tanya Tehkep sambil berusaha sabar.
“Mereka sudah pulang ke rumah,” jawab Rani sepertinya sangat kecewa.
Dalam hati Tehkep merasa bersyukur karena Rani tidak berjumpa dengan Dita eh maksudnya Reza, iparnya. Karena apa Tehkep masih curiga, sampai sekarang Rani tidak pernah mau membolehkannya untuk menunggu Dita secara bersama-sama dengan dirinya.
Seharusnya Rani yang tahu Tehkep tidak senang di larang seperti itu, sebagai manusia yang normal dia bisa berpikir, bahwa hal itu akan memicu pertengkaran mereka. Dia harus berpikir, menolong sih boleh, meskipun itu masih keponakannya. Tetapi dia juga harus memikirkan perasaan suaminya.
Tidak perlu juga dia menghambakan dirinya …
Apa salahnya mereka berdua suaminya bersama-sama menunggunya? Lagi pula kan kalau di pikir-pikir lagi, kan tidak harus Rani menunggu Dita di rumah sakit sampai berjam-jam. Orang sakitkan perlu istirahat, dengan adanya Rani selama berhari-hari dan setiap harinya selama berjam-jam di sana, tidak kah itu malah mengganggu Dita untuk beristirahat?
Setelah Dita sembuh dan pulang ke rumah mereka bersama ayahnya, setiap hari Tehkep menyaksikan Rani bersenandung lagu-lagu cinta. Aneh, pikir Tehkep. Seharusnya jika karena sayang keponakannya, maka dia maka dia mestinya prihatin. Bukannya malah menyanyikan lagu-lagu cinta seperti ABG, seperti orang yang jatuh cinta saja.
Malam harinya mereka masih tidur terpisah, Rani di tilam bawah sedangkan sekarang Tehkep di tilam atas. Karena Rani sudah mau bicara padanya dan sampai lama Tehkep mengupingnya dia ternyata belum tidur, maka Tehkep berkesimpulan bahwa istrinya masih belum tidur.
Sementara saat itu dirinya merasa sangat horny, maka dia turun ke bawah dan memeluk istrinya dari arah belakang. Beberapa kali istrinya menepiskan tangannya mengatakan berat, tetapi Tehkep tidak peduli karena selama ini toh Rani tidak pernah mengeluh berat.
Merasa seperti itu, Rani lalu membalikkan tubuhnya dan berbaring telentang. Lalu mulai dia nyerocos marah dengan kata-kata seperti peluru senapan mesin. Dia mengatakan Tehkep sungguh tidak tahu diri, jelek, miskin, tidak punya uang, dan segala macamnya.
Dia bertindak begitu karena Dita itu keponakan kandungnya dan karena ibunya sudah meninggal, dia juga mengatakan bahwa dirinya selama ini selalu bekerja hanya saja Tehkep yang tidak melihatnya. Tehkep tidak menjawab sepatah kata pun, karena menurut pertimbangan Tehkep, hal itu percuma saja karena rupanya istrinya tetap merasa benar dan menyalahkannya sebagai orang yang tidak pernah dewasa.
Padahal selama ini Tehkep merasa cukup memperhatikan istrinya. Kalau pagi, Tehkep sengaja tidak mau membangunkan istrinya, karena dia tahu istrinya kurang sehat. Dia yang membuat sarapan, memasak nasi, mencuci piring dan belanja ke pasar.
Kalau dia membuli garam, kunyit, Rinso, sayur dan segala macamnya, istrinya jarang mau mengurusnya dan dibiarkan terlantar begitu saja. Sehingga dengan sabar Tehkep memindahkan barang-barang itu ke tempatnya.
Jika ada barang kotor atau ada barang yang terjatuh ke lantai, Rani selalu membiarkannya sehingga bisa jadi fosil langka. Dia tidak akan menyapunya atau membersihkannya, sehingga Tehkep dengan menarik nafas panjang akan membersihkannya dan menyapunya.
Belum lagi membersihkan kolam ikan mereka, membuka warung dan sambil menulis online. Semuanya dilakukan Tehkep setiap hari, sehingga tidak ada waktunya yang terbuang percuma. Sehingga urusan rumah sebenernya tidak menjadi kewajibannya lagi.
Tetapi itulah fakta kehidupannya, tetapi dia tidak terlalu menyesalinya, karena dalam kehidupan ini belum tentu semua yang kita inginkan akan tercapai seperti maunya kita.
“Coba kamu pikir, aku sama sekali tidak tertarik dengan Reza jika itu yang kamu cemburui,” ujar Rani.
Dalam hati Tehkep mempertimbangkan, semua kelakuan Rani sudah menjadi alasan yang cukup untuk membuatnya cemburu. Sebagai seorang suami yang mencintai istrinya, Tehkep merasa wajar-wajar saja dia cemburu.
Itu masih syukur dia tidak berbuat nekat, di sepanjang sejarah dunia kita melihatnya akibat cemburu seorang suami seperti perang Troya di Yunani. Itu terjadi karena suaminya cemburu. Di media spesial juga kita banyak suami yang membunuh istrinya atau membunuh selingkuhannya saja atau istrinya bersama selingkuhannya, itu karena cemburu.
Sementara Tehkep ini hanya menegur saja, bukannya karena dia takut. Tidak, dia sama sekali tidak takut dengan siapa pun. Tetapi karena dirinya seorang yang berpendidikan, maka pertimbangannya banyak. Jika istrinya memang tidak mau di tegur, ya sudah lah.
“Kamar VIP itu kan bisa di buka. Kalau toh dia memperkosa ku, aku kan bisa berteriak,” ujar Rani meyakinkan Tehkep.
Bacotmu seperti itu, kata Tehkep dalam hatinya. Kalau misalnya kamu memang mau, maka akan lain ceritanya. Bukannya kamu berteriak minta tolong, tapi mungkin mengerang kenikmatan di dalam WC yang bisa di kunci dari dalam selama Dita tidur dan dokter serta perawat sedang tidak berkunjung.
Tetapi Tehkep sedikit pun tidak berkomentar, karena kalau memang ini jalan hidupnya, dia diam saja. Karena jika memang itu pilihan Rani, dia bisa apa? Dia menunggu Rani mengomel panjang pendek sampai dia capek sendiri.
Ketika Rani selesai mengomelinya seperti pesakitan, maka Tehkep bangun dan meskipun jauh malam, dia naik lagi ke ruang atas untuk bekerja di kamar kerjanya. Pertengkaran itu masih berlanjut dan belum ada tanda-tanda penyelesaiannya.
Tehkep tetap curiga, tetapi Rani tetap menyangkal. Siapakah yang benar? Hanya Tuhan, Rani, dan Reza yang tahu pasti jawabannya.
Mungkin suatu hari nanti, mereka akan menemukan jalan untuk mengatasi semua perbedaan dan ketegangan yang ada di antara mereka. Pertanyaan krusialnya, apakah Rani benar tertarik dengan adik iparnya yang bermobil Lexus itu dan berselingkuh, karena dia memang tampan dan kaya?
Dibandingkan dengan Tehkep yang tampangnya jelek dan miskin serta hanya memiliki sepeda motor butut saja? Ataukah hanya Tehkep saja yang terlalu cemburu? ataukah memang istrinya yang terlalu bodoh sehingga tidak sadar jika perbuatannya itu sangat menyakiti suaminya?
Hanya waktu yang akan menjawabnya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H