Bagi mereka yang karena faktor tempat tinggal jauh, atau karena faktor keamanan,Â
Jadi, untuk kasus di atas, jalur yang harus ditempuh adalah mencatatkan perkawinan tersebut ke Pegawai Pencatat Nikah (PPN), bukan mengajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama. Apabila diajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama, maka hakim yang memeriksa perkara itu wajib menyatakan tidak berwenang mengadili perkara tersebut.
Dengan demikian, ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf (a) Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan bahwa "Isbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: (a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian", harus diartikan kepada perkawinan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, dan perkawinan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
Ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf (b), juga dianggap terlalu berlebihan. Jika hanya sekedar hilangnya Buku Kutipan Akta Nikah, tentu dapat dimintakan duplikatnya ke KUA, dan untuk tindakan preventif jika catatan Akta Nikah yang asli hilang tentu masih dapat menentukan helai kedua dari Akta Perkawinan itu di Pengadilan Agama, sebab sesuai dengan ketentuan Pasal 13 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 bahwa helai kedua dari Akta Perkawinan itu harus dikirim oleh Pegawai Pencatat nikah kepada Panitera pengadilan untuk disimpan p
ada Pengadilan Agama. Kemudian data itu diserahkan kepada KUA sebagai dasar untuk dikeluarkannya Duplikat Akta Nikahnya.
   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H