Nama : Melinda RahmawatiÂ
NIM. : 222121163(HKI4E)
Tata Kelola Pencatatan Perkawinan Berdasarkan Undang UndangÂ
(Prof. Dr. Rifdan, M. Si dan Dr. H. Muhammadong, M. Ag)
BAB I
Makna Tata Kelola
Pencatatan perkawinan merupakan bagian dari administrasi negara dalam rangka mewujudkan tata kelola pencatatan perkawinan yang baik (good governance). Good governance banyak dipergunakan secara reguler dalam ilmu politik dan administrasi politik konsep ini sejalan dengan konsep-konsep dan terminologi demokrasi masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia, dan pembangunan masyarakat yang berkelanjutan. Terselenggaranya pemerintahan yang baik (good governance) menjadi cita-cita dan harapan setiap individu pencapaian cita-cita dan harapan tersebut masih perlu mendapatkan dukungan dari suatu sistem penyelenggaraan pemerintah berdasarkan suatu format yang disebut negara hukum(rechsstaat). Untuk mendapatkan pemahaman tentang pemerintah yang baik maka perlu memberikan pengertian tentang good governance.
Secara konseptual pengertian good dalam istilah good governance mengandung dua pemahaman yaituÂ
nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat serta nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam mencapai tujuan nasional kemandirian pembangunan yang berkelanjutan dan keadilan sosial
Aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mewujudkan tujuan nasional. Kata good pada good governance bermakna satu berorientasi pada kepentingan masyarakat bangsa dan negara dua kebudayaan masyarakat dan swastaÂ
Pemerintah yang bekerja sesuai dengan hukum positif negaraÂ
Pemerintahan yang produktif efektif dan efisien sedangkan governance bermakna penyelenggaraan pemerintah 2 aktivitas pemerintah melalui pengaturan publik fasilitas publik dan pelayanan publik.
istilah governance dalam konteks good governance terkadang di bersamakan dengan government sehingga munculÂ
Tata kelola pencatatan perkawinan berdasarkan undang-undang
Perkawinan siri adalah perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat syariat Islam, namun tidak atau belum dicatatkan pada biro agama setempat, dan disebut dengan UPTD wilayah distrik setempat. Didirikan dalam Undang-Undang Pengelolaan Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006. Fenomena pengkhianatan dan nikah siri di kalangan umat Islam Indonesia masih marak terjadi, tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat bawah saja, namun juga terjadi di kalangan menengah dan atas. Keadaan ini disebabkan oleh beberapa faktor, Yaitu:
Kurangnya kesadaran hukum masyarakatÂ
Ketidakpedulian sebagian masyarakat terhadap hukum
Tidak jelasnya ketentuan mengenai pencatatan perkawinan
Poligami yang tegas diperbolehkan Apalagi jika perkawinan yang dilangsungkan adalah perkawinan kedua dan seterusnya.
Adapun bahasan beberapa hal mengenai akibat hukum dan akibat lain dari perkawinan yang dilakukan secara diam-diam atau tidak dicatatkan.
 Implikasi hukum terhadap harta perkawinanÂ
Pengaruh hukum terhadap status hukum seseorang
Pengaruh terhadap kemanfaatan agamaÂ
Pengaruh terhadap kemanfaatan akal Bagi masyarakat Indonesia, pencatatan perkawinan sangat diperlukan untuk menjaga kemanfaatan status.
Atas dasar itulah masyarakat merasakan pentingnya permasalahan tersebut sehingga diatur baik dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam. Adanya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam serta peraturan hukum lainnya yang mengatur pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dilaksanakan merupakan suatu bentuk pembaharuan hukum keluarga dan perdata Islam.Â
Pencatatan perkawinan awinan pada hakikatnya dimaksudkan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap pasangan suami istri, termasuk kepastian dan perlindungan hukum mengenai akibat-akibat yang timbul dari perkawinan itu sendiri, khususnya hak dan kewajiban bersama masing-masing individu sehubungan dengan perkawinan itu. Hak anak berupa warisan bagi anak yang dilahirkan dan calon orang tuanya. Pemerintah mengatur pencatatan perkawinan menurut epistemologi hukum Islam dengan menggunakan hukum istihsan atau maslahah. Namun secara resmi tidak ada ketentuan dalam kitab suci atau sunnah yang mengatur tentang pencatatan perkawinan, karena kandungan manfaatnya sesuai dengan syariat yang bertujuan untuk mencapai kebahagiaan manusia. Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa pencatatan perkawinan merupakan suatu ketentuan yang harus diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak, karena mempunyai landasan kokoh maslahah mursalah. Dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa semua perkawinan harus dicatatkan menurut peraturan yang berlaku. Menurut ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, pencatatan perkawinan bagi umat Islam dilaksanakan oleh petugas Pencatat Perkawinan (PPN) Departemen Agama, dan pencatatan perkawinan bagi non-Muslim dilakukan oleh petugas Pencatat Perkawinan (PPN) Departemen Agama, dan pencatatan perkawinan bagi non-Muslim dilaksanakan melalui pernikahan.
 Panitera Kantor Catatan Sipil.
Mengenai urgensi pencatatan nikah, jika Anda beragama Islam maka Anda perlu menyerahkan pencatatan nikah Anda kepada Pencatat Nikah (PPN) di Biro Agama, dan jika Anda menganut agama lain, Anda bisa menikah dengan menyerahkan pencatatan pernikahan Anda ke kantor catatan sipil. Islam juga melegitimasi kepastian dan perlindungan dari akibat pernikahan di kemudian hari. Hukum Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 dan 3 Undang-Undang Perkawinan Republik Indonesia Tahun 1974. Tujuan perkawinan tidak tercapai, Puncak dari syariat Islam, yaitu terwujudnya rumah tangga (keluarga) yang bahagia, sakina, rama, dan mawadda, belum sepenuhnya terwujud. Perempuan yang menikah dengan laki-laki dan perkawinannya tidak dicatatkan pada Badan Pencatatan Perkawinan (PPN) dan Badan Catatan Sipil, berhak mempunyai suami jika ingin menggugat. Untuk pemenuhan kewajiban, dapat mengajukan ke pengadilan sesuai dengan Pasal 34 Ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, atau menggugat suami ke pengadilan karena tidak melakukan perbuatan yang diatur dalam Pasal 9 Undang-undang tersebut. Sesuai amandemen Undang-Undang Republik Indonesia tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Kekerasan Terhadap Peraturan (KDRT) tanggal 23 tahun 2004, dia adalah Anda akan menghadapi masalah.
 Dari sini terlihat jelas bahwa perempuanlah yang menjadi korban atau pihak yang dirugikan akibat perkawinan siri. Apabila pasangan suami istri yang mempunyai anak namun belum mencatatkan perkawinannya ingin agar akta kelahiran anaknya diterbitkan di kantor catatan sipil, salah satu syarat administrasi yang harus dipenuhi adalah fotokopi akta kelahiran orang tuanya menghadapi kesulitan mendapat Kutipan dari akta nikah. Bagi pasangan yang tidak memiliki akta nikah, kantor catatan sipil menerbitkan akta kelahiran anak tanpa menyebutkan nama ayah. Penerbitan akta kelahiran tersebut serupa dengan akta kelahiran anak tanpa ayah atau anak luar nikah, karena hanya milik ibu. Berbeda dengan akta kelahiran anak yang orang tuanya telah mencatatkan perkawinannya. Akta kelahiran mencantumkan nama orang tua.
Jika pasangan yang belum pernah menikah sebelumnya bercerai di pengadilan karena belum dilakukan pencatatan perkawinan, maka prosesnya akan lebih lama dibandingkan pasangan yang sudah menikah. Sebab, sebelum pengadilan mempertimbangkan dalil-dalil perceraian, pengadilan terlebih dahulu melakukan hal-hal sebagai berikut: Membuat tiga kali pengumuman melalui media massa dalam jangka waktu paling sedikit satu bulan sejak pengumuman terakhir. Pengadilan kemudian akan memeriksa apakah status perkawinan itu sah. Bila setelah diperiksa perkawinannya ternyata sesuai dengan syarat-syarat dan hukum perkawinan, maka perkawinannya dinyatakan (Pasal 7 (3) Hukum Islam Huruf A Kompilasi). Jika syarat pernikahan tidak terpenuhi, pengadilan tidak akan menerima gugatan atau permohonan cerai Anda.
Kajian perundang-undangan tentang tata kelola pencatatan perkawinan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk
Sebelum RUU Perkawinan Tahun 1973 dibahas di DPRRI, telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, berlaku bagi umat Islam, yang diumumkan pada tanggal 21 Nopember 1946, dan ditetapkan di Linggarjati pada tanggal 26 Nopember 1946.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 menentukan dalam ayat (1) bahwa "nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk". Ayat (2) menentukan, "yang berhak melakukan pengawasan atas nikah dan menerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk, hanya pegawai yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya".Tugas Pegawai Pencatat Nikah ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1), bahwa Pegawai Pencatat Nikah dan orang yang disebut dalam ayat (3) Pasal 1 membuat catatan tentang segala nikah yang dilakukan di bawah pengawasannya dan tentang talak dan rujuk yang diberitahukan kepadanya, catatan yang dimaksudkan pada Pasal 1 dimasukkan di dalam buku pendaftaran masingmasing yang sengaja diadakan untuk hal itu, dan contohnya masing-masing ditetapkan oleh Menteri Agama.
Pelaksanaan perkawinan harus dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Seorang laki-laki yang melakukan akad nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah, maka ia dapat dikenakan hukuman denda paling banyak Rp. 50 (lima puluh rupiah). Dalam ketentuan tersebut jelas, bahwa yang dapat dikenakan hukuman denda adalah suami
Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 November 1946 No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh daerah luar Jawa dan Madura
Keberadaan Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 Nopember 1946 No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh daerah luar Jawa dan Madura, merupakan penyempurnaan tentang aturan pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang berlaku khusus di Jawa dan Madura. Olehnya itu, dapat dikatakan bahwa Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 hanya mengatur tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk saja bagi seluruh warga Negara Republik Indonesia, tidak mengenai prosedurnya.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang terdiri dari XIV bab dan 67 pasal, merupakan Undang Undang yang mengatur perkawinan bagi warga Negara Republik Indonesia, yang berlaku secara nasional, baik yang beragama Islam maupun non Islam. Di dalam UU terdapat Asas-asas atau prinsip prinsip yang tercantum dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut:
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.Â
suatu perkawinan sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannyaÂ
Undang-undang ini menganut asas monogami.
Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian.
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.Â
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Adapun materi pokok dari Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dapat dikemukakan sebagai berikut:
Ketentuan UmumÂ
Dalam ketentuan umum peraturan ini dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan undang-undang adalah Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sedangkan yang dimaksud dengan pengadilan adalah Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang berada dalam lingkungan Peradilan Umum, sedangkan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama bagi pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Adapun yang dimaksud dengan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian pada KUA kecamatan bagi umat Islam dan catatan sipil bagi non muslim.
Pencatatan Perkawinan
Perkawinan dianggap sah adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Di Negara Indonesia ada dua Instansi atau Lembaga yang diberi tugas untuk mencatat perkawinan, perceraian dan rujuk. Adapun Instansi atau Lembaga yang dimaksud adalah:
Kantor Urusan Agama Kecamatan untuk Nikah, Talak, dan Rujuk bagi orang beragama Islam (lihat Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo. UndangUndang Nomor 32 Tahun 1954).
Kantor Catatan Sipil untuk perkawinan bagi yang non muslim.
Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan harus mencatat setiap perkawinan yang dilaksanakan di wilayahnya masing-masing. Kelalaian mencatat perkawinan ini dapat dikenakan sanksi kepada petugas pencatat perkawinan tersebut. Salah satu kegunaan dari pencatatan perkawinan ini adalah untuk mengontrol dengan konkrit tentang data NTR.
BAB II
EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata hukum berarti peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah, undang-undang dan peraturan untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, patokan (kaidah,ketentuan) mengenai peristiwa yang tertentu, keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim.Â
Hukum Islam baik dalam pengertian syariahmaupun dalam pengertian fikih, dapat dibagi dua, yaitu: (1) ibadah dan (2) muamalah. Ibadah adalah tata cara manusia berhubungan langsung dengan tuhan, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Tata hubungan itu tetap, tidak mungkin dan tidak boleh diubah-ubah. Ketentuannya telah pasti diatur oleh Allah swt sendiri dan dijelaskan secara rinci oleh Rasulnya. Dalam soal ibadah berlaku asas umum yakni semua perbuatan ibadah dilarang dilakukan kecuali perbuatan-perbuatan denga tegas disuruh untuk dilakukan.
ISLAM DALAM SISTEM PENCATATAN PERKAWINAN
Sebelum RUU Perkawinan Tahun 1973 dibahas di DPRRI, telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, berlaku bagi umat Islam, yang diumumkan pada tanggal 21 Nopember 1946, dan ditetapkan di Linggarjati pada tanggal 26 Nopember 1946. Begitu pula Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang terdiri dari XIV bab dan 67 pasal, merupakan Undang-Undang yang mengatur perkawinan bagi warga Negara Republik Indonesia, yang berlaku secara nasional, baik yang beragama Islam maupun non Islam.
Dalam sistem pencatatan, tidak ada dalil secara tegas yang menjelaskan. Namun, apabila dikembangkan dan dianalisis secara mendalam, maka semua persoalan muamalah harus diketahui melalui pencatatan. Hal itu ditegaskan dalam surah al-Baqarah (02) ayat 282. Perintah pencatatan pada ayat tersebut mengenai muamalah, tidak menjelaskan secara secara rinci mengenai pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh pihak KUA sekarang ini, hanya pada dasarnya apa yang telah dibicarakan dalam Q.S. al-Baqarah/2: 282 tersebut tidak secara tekstual menyangkut pencatatan perkawinan, akan tetapi jika dikaitkan dengan tujuan pencatatan pada suatu transaksi muamalah, maka pencatatan dalam perkawinan memiliki pertimbangan yang sama, yaitu kemaslahatan, ini suatu upaya yang dilakukan untuk melindungi martabat dan kesuciah perkawinan. Keabsahan suatu perkawinan merupakan suatu hal yang sangat prinsipil, karena berkaitan erat dengan akibat-akibat perkawinan, baik yang menyangkut dengan anak (keturunan) maupun yang berkaitan dengan harta.Tujuan utama pencatatan perkawinan adalah demi mewujudkan ketertiban administrasi perkawinan dalam masyarakat di samping untuk menjamin tegaknya hak dan kewajiban suami istri.Â
KONSEKUENSI HUKUM PERKAWINAN YANG TIDAK TERCATAT
Pencatatan terhadap suatu perkawinan merupakan hal yang sangat penting. Walaupun bersifat administratif, tetapi pencatatan mempunyai pengaruh besar secara yuridis tentang pengakuan hukum terhadap keberadaan perkawinan tersebut. Dengan adanya pencatatan terhadap perkawinan tersebut yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan (PPN), kemudian diterbitkan Buku Kutipan Akta Nikah, maka telah ada bukti otentik tentang telah dilangsungkannya suatu perkawinan yang sah, yang diakui secara agama dan diakui pula secara yuridis. Dampak hukum dan dampak lainnya dari perkawinan yang dilakukan di bawah tangan atau perkawinan yang tidak dicatatkan:
Terhalang mendapatkan harta kekayaan
Status hukum seseorang tidak jelas
Kemaslahatan Ummah Terganggu
Mempunyai Beban PsikologisÂ
Kondisi Akal Terganggu
PENYEBAB PERKAWINAN TIDAK DICATAT
Istilah "tidak dicatat" tidak sama dengan istilah "tidak dicatatkan". Kedua istilah tersebut mengandung makna yang berbeda. Pada istilah "perkawinan tidak dicatat" bermakna bahwa perkawinan itu tidak mengandung unsur "dengan sengaja" yang mengiringi niat seseorang untuk tidak mencatatkan perkawinannya. Adapun istilah "perkawinan tidak dicatatkan" terkandung niat buruk dari suami, khususnya yang bermaksud perkawinannya memang "dengan sengaja" tidak dicatatkan. Oleh karena itu "Perkawinan tidak dicatat" dengan "perkawinan yang belum dicatatkan" dapat disepadankan, yang berbeda dengan "perkawinan tidak dicatatkan". Fenomena pernikahan di bawah tangan atau nikah sirribagi umat Islam di Indonesia masih terbilang banyak. Bukan saja dilakukan oleh kalangan masyarakat bawah, tapi juga oleh lapisan masyarakat menengah ke atas. Kondisi demikian terjadi karena beberapa faktor yang menyebabkan sehingga perkawinan tidak dicatatkan, yaitu:
Kurangnya Kesadaran Hukum Masyarakat
Sikap Apatis Sebagian Masyarakat Terhadap Hukum
Ketentuan Pencatatan Perkawinan Yang Tidak Tegas
Ketatnya Izin Poligami
BAB III
YANG BERKAITAN DENGAN PENCATATAN PERKAWINAN
Dalam pedoman PPN Kementerian Agama (2003:6) disebutkan bahwa pencatatan perkawinan harus melalui prosedur supaya tidak salah dalam melakukan pencatatan sehingga kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan. Adapun prosedur pencatatan perkawinan meliputiÂ
Persiapan
 Pemberitahuan kehendak nikah,
Pemeriksaan nikah,
Pengumuman kehendak nikah,
Pelaksanaan akad nikah,Â
Penandatanganan akad nikah,Â
Pembuatan kutipan akta nikah.
Formulir Nikah
RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Jadi, rukun perkawinan merupakan faktor penentu bagi sah atau tidak sahnya suatu perkawinan. Adapun rukun perkawinan adalah:
Calon Mempelai Laki-Laki dan Perempuan
Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan tidak boleh lain dari itu, seperti sesama laki-laki atau sesama perempuan, karena ini yang tersebut dalam Al Qur'an. Adapun syarat-syarat yang mesti dipenuhi untuk lakilaki dan perempuan yang akan menikah adalah sebagai berikut:
Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal lain yang berkenaan dengan dirinya.
Keduanya sama-sama beragama Islam.
Keduanya tidak terdapat larangan untuk melangsungkan pernikahan.
Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula dengan pihak yang akan mengawininya.
Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan
Wali Nikah
Dalam akad nikah itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut. orang yang berhak menjadi wali apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau orang gila tidak berhak menjadi wali.
 Laki-laki.
Muslim, tidak sah orang yang tidak beragama Islam menjadi wali untuk muslim.
Tidak berada dalam pengampuan atau mahjur alaih. Alasannya ialah bahwa orang yang berada di bawah pengampuan tidak dapat berbuat hukum dengan sendirinya.
Berpikiran baik. Orang yang terganggu pikirannya karena ketuaannya tidak boleh menjadi wali, karena dikhawatirkan tidak akan mendatangkan maslahat dalam perkawinan itu
Adil, dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar atau tidak sering terlibat dengan dosa kecil serta tetap memelihara muru'ah atau sopan santun.
Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah.Â
Saksi Nikah
Akad pernikahan harus disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari. Saksi dalam pernikahan mesti memenuhi syarat-syarat, bahwa saksi itu berjumlah paling kurang dua orang laki-laki yang beragama Islam, kedua saksi tersebut bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu melakukan dosa kecil dan tetap menjaga muruah, dan kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.
Ijab Qabul
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Dalam melaksanakan ijab dan qabul harus digunakan kata-kata yang dapat dipahami oleh masing-masing pihak yang melangsungkan akad nikah sebagai pernyataan kemauan yang timbul dari kedua belah pihak, dan tidak boleh menggunakan kata-kata yang samar atau tidak dimengerti maksudnya.
NIKAH SIRI DAN ISBAT NIKAH
Nikah Sirri
Nikah sirri dapat dibedakan kepada dua jenis. Pertama, akad nikah yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan tanpa hadirnya orang tua/wali si perempuan. Dalam pernikahan bentuk pertama ini akad nikah hanya dihadiri oleh laki-laki dan perempuan yang akan melakukan akad nikah, dua orang saksi dan guru atau ulama yang menikahkan tanpa memperoleh pendelegasian dari wali nikah yang berhak. akad nikah yang telah memenuhi syarat dan rukun suatu perkawinan yang legal sesuai dengan ketentuan hukum Islam, tetapi tidak dicatatkan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia.
Untuk mengetahui apakah pada suatu perkawinan itu terdapat unsur sirri atau tidak, dapat dilihat dari tiga indikator yang harus selalu menyertai suatu perkawinan legal. Tiga indikator itu adalah, Pertama, subyek hukum akad nikah, yang terdiri dari calon suami, calon istri, dan wali nikah adalah orang yang berhak sebagai wali, dan dua orang saksi. Kedua, kepastian hukum dari pernikahan tersebut, yaitu ikut hadirnya Pegawai Pencatat Nikah pada saat akad nikah dilangsungkan, dan Ketiga, walimatul 'ursy, yaitu suatu kondisi yang sengaja diciptakan untuk menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa di antara kedua calon suami istri tadi telah resmi menjadi suami istri. Pada indikator ketiga inilah letak hakikat filosofis dari hadis Rasulullah saw tersebut.
Istilah perkawinan di bawah tangan muncul setelah diberlakukannya secara efektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan di bawah tangan yang disebut juga sebagai perkawinan liar pada prinsipnya adalah perkawinan yang menyalahi hukum, yakni perkawinan yang dilakukan di luar ketentuan hukum perkawinan yang berlaku secara positif di Indonesia. Selanjutnya, oleh karena perkawinan di bawah tangan tidak mengikuti aturan hukum yang berlaku, perkawinan semacam itu tidak mempunyai kepastian dan kekuatan hukum dan karenanya, tidak pula dilindungi oleh hukum.
Untuk mengidentifikasi apakah suatu perkawinan itu merupakan perkawinan sirri atau perkawinan legal, istilah perkawinan di bawah tangan sebenarnya merupakan istilah lain dari nikah sirri. Hal itu karena, dari ketiga unsur yang harus ada pada suatu perkawinan logis yang diakui oleh hukum tersebut di atas, ada unsur-unsur yang tidak terpenuhi di dalam perkawinan di bawah tangan. Unsur yang tidak terpenuhi itu setidaktidaknya adalah unsur kedua dan ketiga, yaitu perkawinan tersebut tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah dan tidak diumumkan kepada masyarakat luas.
Isbat Nikah
Dalam kompetensi absolute Pengadilan Agama, undangundang telah menunjuk beberapa kewenangan yang menyangkut perkara tanpa sengketa, sehingga Pengadilan Agama hanya berwebang menyelesaikan perkara tanpa sengketa tersebut. Perkara yang dimaksud adalah:
Permohonan Isbat Nikah (Penjelasan Pasal 49 ayat (2) huruf (a) angka 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama);
Permohonan Izin Nikah (Pasal 6 ayat (5) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974);
Permohonan Dispensasi Kawin (Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang N0mor 1 Tahun 1974);
Permohonan Penetapan Wali Adhal (Pasal 23 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam);
Permohonan Penetapan Ahli Waris (Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).
Khusus mengenai Isbat Nikah, landasan yuridisnya adalah Penjelasan Pasal 49 Ayat (2) angka 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Namun demikian, Undang-Undang tersebut dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tidak memberikan rincian secara jelas tentang Isbat Nikah tersebut. Kemudian muncul Peraturan Menteri Agama (PERMENAG) Nomor 3 Tahun 1975 di dalam Pasal 39 Ayat (4) yang menentukan bahwa jika Kantor Urusan Agama (KUA) tidak dapat membuatkan Duplikat Akta Nikah, karena catatannya telah rusak atau hilang atau karena sebab lainnya, maka untuk menetapkan adanya nikah, talak, cerai, maupun rujuk, harus dibuktikan dengan keputusan (berupa penetapan) Pengadilan Agama. Akan tetapi, hal ini berkaitan dengan pernikahan yang dilaksanakan sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bukan terhadap perkawinan yang terjadi sesudahnya. Dengan demikian landasan yuridis dari isbat nikah adalah ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tersebut. Dari ketentuan tersebut dapat dirumuskan bahwa kompetensi absolute Pengadilan Agama tentang masalah isbat nikah, meliputi:
Perkara permohonan isbat nikah itu adalah bersifat voluntair murni;
Perkara yang dapat diisbatkan adalah perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bukan perkawinan yang terjadi sesudahnya.
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Penjelasan Pasal 49 huruf (a) angka 22 tersebut bahwa perkawinan (termasuk nikah yang tidak dicatatkan/nikah sirri) yang dapat diajukan permohonan isbat/pengesahan nikah ke Pengadilan Agama hanyalah perkawinan yang dilakukan sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan perkara permohonan isbat nikah itu adalah perkara voluntair. Dan setiap perkara termasuk perkara voluntair, jika tidak ada ketentuan undang-undang yang mengatur dan menunjuknya, maka pengadilan tidak boleh menyelesaikannya, artinya bukan merupakan kewenangan Pengadilan Agama. Oleh karena itu, undang-undang tidak memberi sinyal kebolehan mengisbatkan perkawinan yang dilakukan setelah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, meskipun perkawinan tersebut telah dilakukan sesuai dengan ajaran hokum Islam tetapi tidak dicatatkan, maka perkawinan tersebut tidak dapat diisbatkan, karena demikianlah perintah undang-undang.
Belakangan ini muncul Kompilasi Hukum Islam yang mengatur masalah isbat nikah, Kompilasi Hukum Islam tampaknya telah memperluas dan mengembangkan kewenangan Pengadilan Agama tentang isbat nikah yang melampaui kewenangan yang telah diberikan oleh undang-undang tersebut di atas. Dalam Pasal 7 Ayat (2) dan Ayat (3) Kompilasi Hukum Islam,Â
Dari ketentuan Kompilasi Hukum Islam tersebut, dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut:Â
Pertama, ditinjau dari hirarkis peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, bahwa Kompilasi Hukum Islam sebagai Inpres (Instruksi Presiden) tidak termasuk ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan, dan tingkatannya jauh di bawah undang-undang, oleh karena itu ketentuan Inpres harus tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
Kedua, ditinjau dari muatan Pasal 7 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam tersebut, yaitu kalimat "Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama". Ketentuan pasal ini telah memberikan kompetensi absolut yang sangat luas tentang isbat nikah, yang melebihi kewenangan yang telah diberikan oleh undang-undang. Karena itu, ketentuan ini rancu sebab Akta Nikah merupakan bukti otentik tentang telah terjadinya suatu perkawinan yang sah. Mestinya jika suatu perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, maka sesuai dengan ketentuan PERMENAG Nomor 3 Tahun 1975 Pasal 35 Ayat (4), atas permintaan yang berkepentingan, KUA mengeluarkan duplikat akta nikah. Pengadilan Agama dapat mengisbatkan nikah, hanya terbatas terhadap perkawinan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara efektif, bukan perkawinan yang dilakukan setelah undang-undang tersebut. Jadi, untuk memperoleh bukti otentik perkawinan yang dilaksanakan setelah tahun 1974, tidak dengan jalan mengisbatkannya ke Pengadilan Agama, tetapi dengan jalan mencatatkannya ke Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
Ketiga, ketentuan pasal 7 Ayat (3) huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan "isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: (a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian". Ketentuan pasal ini walaupun bersifat sangat umum, namun yang dimaksudkan adalah perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974, tidak dapat diajukan permohonan isbatnya ke Pengadilan Agama, dengan beberapa argumentasi sebagai berikut:
Jawaban secara yuridis, adalah bahwa undang-undang hanya memberi izin untuk mengisbatkan perkawinan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Bagi mereka yang mungkin melangsungkan perkawinan di KUA atau dengan cara memanggil Pegawai Pencatat Nikah ke tempat akad nikah dilangsungkan, tetapi hal ini tidak mereka lakukan sehingga perkawinan tersebut tidak didaftarkan untuk dicatat secara resmi, maka hal ini merupakan suatu indikator bahwa mereka tidak patuh hukum mencatatkan perkawinannya.Â
Bagi mereka yang karena faktor tempat tinggal jauh, atau karena faktor keamanan,Â
Jadi, untuk kasus di atas, jalur yang harus ditempuh adalah mencatatkan perkawinan tersebut ke Pegawai Pencatat Nikah (PPN), bukan mengajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama. Apabila diajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama, maka hakim yang memeriksa perkara itu wajib menyatakan tidak berwenang mengadili perkara tersebut.
Dengan demikian, ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf (a) Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan bahwa "Isbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: (a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian", harus diartikan kepada perkawinan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, dan perkawinan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
Ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf (b), juga dianggap terlalu berlebihan. Jika hanya sekedar hilangnya Buku Kutipan Akta Nikah, tentu dapat dimintakan duplikatnya ke KUA, dan untuk tindakan preventif jika catatan Akta Nikah yang asli hilang tentu masih dapat menentukan helai kedua dari Akta Perkawinan itu di Pengadilan Agama, sebab sesuai dengan ketentuan Pasal 13 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 bahwa helai kedua dari Akta Perkawinan itu harus dikirim oleh Pegawai Pencatat nikah kepada Panitera pengadilan untuk disimpan p
ada Pengadilan Agama. Kemudian data itu diserahkan kepada KUA sebagai dasar untuk dikeluarkannya Duplikat Akta Nikahnya.
   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H