Mohon tunggu...
Melinda Rahmawati
Melinda Rahmawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Traveling

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Tata Kelola Pencatatan Perkawinan Berdasarkan Undang Undang

18 Maret 2024   08:00 Diperbarui: 18 Maret 2024   08:03 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkara permohonan isbat nikah itu adalah bersifat voluntair murni;

Perkara yang dapat diisbatkan adalah perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bukan perkawinan yang terjadi sesudahnya.

Sebagaimana telah dijelaskan oleh Penjelasan Pasal 49 huruf (a) angka 22 tersebut bahwa perkawinan (termasuk nikah yang tidak dicatatkan/nikah sirri) yang dapat diajukan permohonan isbat/pengesahan nikah ke Pengadilan Agama hanyalah perkawinan yang dilakukan sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan perkara permohonan isbat nikah itu adalah perkara voluntair. Dan setiap perkara termasuk perkara voluntair, jika tidak ada ketentuan undang-undang yang mengatur dan menunjuknya, maka pengadilan tidak boleh menyelesaikannya, artinya bukan merupakan kewenangan Pengadilan Agama. Oleh karena itu, undang-undang tidak memberi sinyal kebolehan mengisbatkan perkawinan yang dilakukan setelah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, meskipun perkawinan tersebut telah dilakukan sesuai dengan ajaran hokum Islam tetapi tidak dicatatkan, maka perkawinan tersebut tidak dapat diisbatkan, karena demikianlah perintah undang-undang.

Belakangan ini muncul Kompilasi Hukum Islam yang mengatur masalah isbat nikah, Kompilasi Hukum Islam tampaknya telah memperluas dan mengembangkan kewenangan Pengadilan Agama tentang isbat nikah yang melampaui kewenangan yang telah diberikan oleh undang-undang tersebut di atas. Dalam Pasal 7 Ayat (2) dan Ayat (3) Kompilasi Hukum Islam, 

Dari ketentuan Kompilasi Hukum Islam tersebut, dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut: 

Pertama, ditinjau dari hirarkis peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, bahwa Kompilasi Hukum Islam sebagai Inpres (Instruksi Presiden) tidak termasuk ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan, dan tingkatannya jauh di bawah undang-undang, oleh karena itu ketentuan Inpres harus tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.

Kedua, ditinjau dari muatan Pasal 7 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam tersebut, yaitu kalimat "Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama". Ketentuan pasal ini telah memberikan kompetensi absolut yang sangat luas tentang isbat nikah, yang melebihi kewenangan yang telah diberikan oleh undang-undang. Karena itu, ketentuan ini rancu sebab Akta Nikah merupakan bukti otentik tentang telah terjadinya suatu perkawinan yang sah. Mestinya jika suatu perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, maka sesuai dengan ketentuan PERMENAG Nomor 3 Tahun 1975 Pasal 35 Ayat (4), atas permintaan yang berkepentingan, KUA mengeluarkan duplikat akta nikah. Pengadilan Agama dapat mengisbatkan nikah, hanya terbatas terhadap perkawinan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara efektif, bukan perkawinan yang dilakukan setelah undang-undang tersebut. Jadi, untuk memperoleh bukti otentik perkawinan yang dilaksanakan setelah tahun 1974, tidak dengan jalan mengisbatkannya ke Pengadilan Agama, tetapi dengan jalan mencatatkannya ke Pegawai Pencatat Nikah (PPN).

Ketiga, ketentuan pasal 7 Ayat (3) huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan "isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: (a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian". Ketentuan pasal ini walaupun bersifat sangat umum, namun yang dimaksudkan adalah perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974, tidak dapat diajukan permohonan isbatnya ke Pengadilan Agama, dengan beberapa argumentasi sebagai berikut:

Jawaban secara yuridis, adalah bahwa undang-undang hanya memberi izin untuk mengisbatkan perkawinan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Bagi mereka yang mungkin melangsungkan perkawinan di KUA atau dengan cara memanggil Pegawai Pencatat Nikah ke tempat akad nikah dilangsungkan, tetapi hal ini tidak mereka lakukan sehingga perkawinan tersebut tidak didaftarkan untuk dicatat secara resmi, maka hal ini merupakan suatu indikator bahwa mereka tidak patuh hukum mencatatkan perkawinannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun