Nama : Mega Riyanti
NIM : 43222010006
Matkul : Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB
Sebelum kita membahas lebih lanjut, disini kita akan mengetahui terlebih dahulu siapa itu Jeremy Bentham, teori-teori yang diciptakan dan dibuat, serta Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia yang sudah sangat menyebar luas.
Jeremy Bentham Dilahirkan di spital field, London pada 15 Februari tahun 1748. Dan pada saat usianya tujuh tahun yaitu pada tahun (1775), dia dikirim oleh ayahnya untuk mengenyam pendidikan di Westminster School. Pada tahun 1769 ketika usianya 12 tahun dia melanjutkan pendidikan di Queen’s Collage University of Oxford. Tahun 1763 dia mendaftar kan dirinya menjadi seorang barisster di The Honorable Society of Lincoln’s Inn,Dan berhasil menyelesaikan ujian barristernya pada tahun 1768. Setelah merayakan kelulusannya menjadi seorang baris ter, dia kembali ke Queen’s College untuk melakukan voting terhadap pemilihan parlemen di universitas nya. Sesaat sebelum melakukan voting, dia mengunjungi perpustakaan universitas dan beristirahat sejenak di kedai kopi depan perpustakaan tersebut. Disitulah dia kemudian menemukan salinan pamflet yang baru diterbitkan oleh Josep prestasi dengan judul “Essay on Goverment”. di dalam pamflet itu dia menemukan istilah paling terkenal yaitu “The greatest happiness of the greatest number”.
Dari data itu pula, Jeremy Bentham memutuskan untuk membuat sebuah pondasi baru kepada ilmu hukum dan kepada legislasi tentang prinsip prinsip keberlakuan hukum dan daya ikatnya kepada masyarakat. Kerja dari Jeremy Bentham ini, selain dimotivasi oleh Pamflet milik John Priestley, didasarkan pula kepada kekecewaannya terhadap hukum, sehingga alih-alih memperhatikan hukum, dia justru memutuskan untuk menulis, mengkritik, dan memberikan saran untuk memperbaiki hukum itu sendiri.
Jeremy Bentham adalah filsuf pendiri Utilitarianisme asal Inggris iya dilahirkan di London, menempuh pendidikan di Oxford, dan kemudian mendapatkan kualifikasi sebagai seorang barista (advokat) di London minta merupakan salah seorang filsuf Empirisme dalam bidang moral dan politik.
Jeremy Bentham seorang filsuf, ahli hukum, dan reformis sosial Inggris yang berpengaruh, dan terkenal karena filosofi utilitariannya. Inti dari Utilitarianisme nya adalah konsep “Kalkulus Hedonistik”, Yang iya perkenalkan sebagai metode untuk menentukan nilai moral suatu tindakan berdasarkan jumlah kesenangan atau penderitaan yang dihasilkannya. Utilitarianisme Bentham Bertujuan untuk memaksimalkan kebahagiaan atau kesenangan secara keseluruhan dan meminimalkan penderitaan atau kesakitan dalam masyarakat.
Masalah utama Kalkulus adalah menghitung perbandingan Utilitas inter personal menggunakan Pengukur Utilitas Kardinal daripada pengukuran ordinal.
Kalkulus hedonistik terdiri dari tujuh kriteria atau faktor yang diyakini Bentham harus dipertimbangkan ketika mengevaluasi konsekuensi suatu tindakan.Kriteria ini digunakan untuk mengukur kuantitas dan kualitas kesenangan dan kesakitan yang terkait dengan tindakan tertentu.
Ketujuh faktor tersebut adalah:
1) Intensitas : seberapa kuat kebahagiaan atau penderitaan yang mungkin timbul dari tindakan tersebut?
2) Durasi : Berapa lama efek kebahagiaan atau penderitaan tersebut akan berlangsung?
3) Kepastian : seberapa pasti bahwa tindakan tersebut akan menghasilkan kebahagiaan atau penderitaan?
4) Kepentingan : seberapa besar jumlah orang yang terlibat yang akan merasakan efek tersebut?
5) Kesempatan : seberapa besar kemungkinan bahwa tindakan tersebut akan membawa kebahagiaan atau penderitaan yang lebih besar jika dibandingkan dengan tindakan alternatif?
6) Kecepatan : seberapa cepat tindakan tersebut akan menghasilkan efek kebahagiaan atau penderitaan?
7) Kemurnian : sejauh mana efek tersebut bersifat murni kebahagiaan atau penderitaan, tanpa campuran efek yang berbeda?
Bentham merupakan seseorang ahli utilitarian yang berpendapat bahwa suatu hukum bertugas untuk memelihara kebaikan dan mencegah semua kejahatan. Minta meyakini bahwa sekarash apapun suatu tindak pidana tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan- penyerangan tertentu.
Utilitarianisme adalah teori moral yang menyatakan bahwa suatu tindakan dianggap benar secara moral jika dan hanya jika tindakan tersebut menghasilkan manfaat terbesar (kebahagiaan, kesenangan) bagi sebanyak mungkin orang. Bentham Percaya bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang mana dari semua tindakan yang terbuka bagi agen, akan benar benar atau mungkin menghasilkan kesan dengan terbesar di dunia secara luas. Kesenangan dan kesakitan menjadi dasar standar benar dan salah.
Bentham selalu menginginkan suatu hukum dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu individu, bukan langsung kepada masyarakat secara keseluruhan (jika dianalogikan kata keseluruhan itu seperti seluruh Indonesia). Utilitarianisme individu wall dikembangkan oleh band Tam. Hal yang menarik dari band Tam yaitu, iya menyingkir kan peranan akal dalam hukum. Tidak peduli seberapa kacau isi dari suatu peraturan perundang-undangan, tetapi selama dia memberikan kemanfaatan sebanyak mungkin, maka perbuatan itu akan menjadi benar. Dianggap sebagai pengamat utilitarian yang paling klasik dan memperoleh banyak kritik dari penganut lainnya (Zainal Arifin Mochtar, 2021).
Basis filsafat Bentham yaitu ada rasa senang dan ada rasa sakit dalam diri manusia kedua rasa tersebut akan sangat menentukan kualitas manusia. Maka benar atau salahnya yang diukur adalah rasa senang atau sakitnya, bukan rasa keadilan. Bagi Bentham benar atau salahnya hukum adalah ketika hukum itu memberikan kegunaan untuk manusia berarti iya benar, tetapi apabila manusia disakiti dengan hukum itu berarti hukum itu salah, itulah yang membuat Bentham menggeser makna keadilan. Ketika jaksa menyoroti hak-hak seluruh masyarakat Indonesia yang dianggap telah di rusak oleh Moch Otjo maka hal tersebut dapat pula dikesampingkan, karena yang menjadi ukuran bukanlah keadilan melainkan rasa senang yang diberikan oleh Moch Otjo kepada individu-individu.
Bentham menyampaikan bahwa kebahagian nya penguasa harus sama dengan kebahagian nya masyarakat, maka kebahagiaan penguasa harus juga dirasakan oleh individu lainnya, sehingga tidak ada kesenjangan kesenjangan sosial. Maka penulis menganalisa bahwa perbuatan pejabat Moch Otjo memberikan sesuatu yang seharusnya dikembalikan kepada negara namun diberikan kepada masyarakatnya dengan alasan untuk memberikan kebahagiaan yang bermuara kesejahteraan masyarakatnya. Secara tidak langsung Moch Otjo sudah mempraktikkan apa yang dimaksud oleh Bentham, yaitu kebahagiaan yang dirasakan oleh Moch Otjo iya coba untuk berikan kepada individu lain, meskipun dengan melakukan perbuatan melawan hukum, yakni dengan uang yang seharusnya dikembalikan kepada negara sisa dari reboisasi.
Terobosan hukum luar biasa dari Bentham Yaitu menggeser kebenaran suatu peraturan itu menjadi berdasar pada kebahagiaan yang dinikmati oleh individu. Bentham Memandang bahwa hukum itu menjadi suatu hukum hanya karena sifat perintah yang berdaulat ("that law become law only by virtue of the command soverign (Hari Chand, 2018). Sehingga keputusan Kasasi menggambarkan bahwa hakim mengenai teori utilitarian karena iya mencoba menggeser kebenaran suatu peraturan dan menyatakan benar bahwa peraturan tersebut telah dilanggar, namun tidak bisa untuk Dieksekusi karena perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tersebut adalah perbuatan yang memperjuangkan kepentingan individu lainnya.
Terlepas dari pandangan utilitarianisme yang dianut oleh hakim. Jaksa tidak dapat membuktikan adanya niat (mens rea) Merugikan keuangan negara untuk memperkaya diri sendiri ataupun orang lain. Lalu terkait dengan perbuatan melawan hukum (actus reus) dengan tegas dapat dibuktikan oleh jaksa, hal tersebut dibuktikan dengan adanya pemufakatan antara Moch Otjo dengan rekan kerjanya untuk menggelapkan dana yang seolah olah digunakan untuk melakukan reboisasi namun digunakan untuk kepentingan masyarakat.
Selanjutnya kita akan membahas mengenai fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia.
Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi persoalan yang hangat untuk dibicarakan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan dengan proses penegakan hukum tersebut antar lain adalah mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. Menyikapi fenomena ini, pemerintah yang silih berganti selalu menjadikan kalimat pemberantasan korupsi sebagai agenda utama kegiatan nya. Berbagai perangkat undang-undang beserta segala peraturan pelaksanaannya yang berkaitan dengan korupsi telah dibuat sebagai bukti keseriusan dari para penguasa dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia.usaha pemberantasan korupsi jelas tidak mudah, kesulitan itu terlihat semakin rumit, karena korupsi kelihatan benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga pemerintah menetapkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Meski demikian, berbagai upaya tetap dilakukan, agar korupsi dapat dilenyapkan, atau setidak-tidaknya bisa dikurangi. Konsekuensi negara menetapkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) Harus dibarengi dengan adanya langkah-langkah ekstra untuk memberantas korupsi dalam membentuk sistem yang luar biasa dan juga setiap elemen negara harus bergerak bersama di dalam usaha pemberantasan korupsi.
Korupsi di Indonesia sudah berada pada kondisi yang mengkhawatirkan, karena sudah menjadikan orang tidak normal lagi dalam sikap, perilaku dan nalar berpikirnya. Korupsi tidak lagi terbatas pada mencuri uang, tetapi lambatlaun juga merasuk ke dalam mental, moral, tata nilai dan cara berfikir. Salah satu akibatnya dalam praktik penyelenggaraan negara adalah hilangnya integritas dan moral oleh materialisme, dan ego Sektoral/ departemen tal yang sangat besar. Ketidak memaksimalkan upaya pemberantasan korupsi selama ini juga tidak lepas dari kurangnya dukungan yang kuat serta kesungguhan segenap aparat penyelenggara negara umumnya dan aparat penegak hukum khususnya serta peran aktif masyarakat dalam melakukan pengawasan sehingga upaya pemberantasan korupsi akan sulit dilakukan. Berdasarkan kondisi tersebut upaya upaya untuk melakukan berbagai pembenahan dan perbaikan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia memerlukan kemauan dan tekat yang besar dari semua pelaku pembangunan.
Lahirnya undang undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan undang undang nomor 31 tahun 1999 Tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi korupsi yang menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut Efisiensi yang tinggi, dan dalam pelaksanaan teknis pemberantasan tindak pidana korupsi, presiden menetapkan peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK). Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diharapkan dapat mewadahi koordinasi antara kepolisian, kejaksaan, Instansi terkait, dan unsur masyarakat dalam upaya pembangunan kasus kasus korupsi secara lebih efektif.
Kerangka Teori : Utilitarianisme
Utilitarianisme pada mulanya digagas dari pemahaman bahwa pada dasarnya manusia dapat merasakan dua rasa utama, yakni kebahagiaan (pleasure) dan penderitaan(pain) (Mill,2016). Menurut Bentham (1996), Terdapat beberapa bangunan kebahagiaan utama yang merupakan kodrat manusia untuk merasakan nya, antara lain:
(1) Pleasure of sense, yaitu kebahagiaan yang dihasilkan oleh Panca Indra, misalnya bahagia karena bisa melihat sesuatu yang Indah atau bahagia karena bisa mengecap makanan yang lezat;
(2) Pleasure of wealth, yaitu kebahagiaan karena memiliki sesuatu, misalnya bahagia karena memiliki harta kekayaan;
(3) pleasure of skill, yaitu kebahagiaan karena memiliki sesuatu kemampuan dalam hal tertentu, misalnya bahagia karena memiliki ke ahlian hukum;
(4) Pleasure of power, yaitu kebahagiaan karena memiliki kekuatan dalam diri manusia untuk mempengaruhi orang lain, menekan orang lain, memberikan harapan atau ancaman kepada orang lain;
(5) Pleasure of benevolence, yaitu kebahagiaan karena melihat subjek lain berbahagia, misalnya bahagia karena melihat orang line atau seekor hewan berbahagia; Dan,
(6) Pleasure of malevolence, yaitu kebahagiaan karena melihat subjek lain menderita, misalnya bahagia karena melihat orang lain atau seekor hewan menderita.
Sedangkan penderitaan juga memiliki beberapa bangunan utama, diantaranya adalah:
(1) Pains of privation, yaitu penderitaan karena tidak memiliki apa apa, misalnya menderita karena tidak memiliki harta kekayaan;
(2) Pains of awkwardess, yaitu penderitaan karena gagal untuk mengaplikasikan sesuatu terhadap sesuatu, misalnya menderita karena gagal mendapatkan pekerjaan;
(3) Pains of enmity, yaitu penderitaan karena mengidap penyakit, dalam kondisi tidak sehat, atau meskipun sehat tapi hidup dalam lingkungan yang berpenyakit;
(4) Pains of piety, yaitu penderitaan karena ketidak puasan atau kekecewaan terhadap keputusan Tuhan (Suprame Being), Misalnya menderita karena kecewa kepada Tuhan yang mengambil nyawa anggota keluarganya;
(5) Pains of benevolence, yaitu penderitaan karena melihat sygic lain bahagia, misalnya menderita karena melihat orang lain atau seekor hewan berbahagia; dan
(6) Pains of malevolence, yaitu penderitaan karena melihat subjek lain menderita, misalnya menderita karena melihat orang lain atau seekor hewan menderita.
Pandangan utilitarianisme Klasik menentukan indikator kemanfaatan berupa kebahagiaan. Menurut Bentham, terdapat empat parameter kebahagiaan, yaitu (Bentham, 1996):
1) Intensitasnya : Intensitas suatu produk, hukum adalah subtansi apa yang diatur dalam produk itu sejauh mana pengaturannya, dan se dalam apa akan mempengaruhi kebahagiaan masyarakat.
2) Durasinya : Durasinya berarti seberapa lama produk hukum ini akan berlaku dan seberapa lama akan mempengaruhi kebahagiaan atau penderitaan masyarakat.
3) Kepastiannya : Kepastiannya merujuk kepada kepastian hukum dari produk hukum terkait, bagaimana harmonisasinya dengan keberadaan peraturan yang sudah ada, Dan bagaimana kepastiannya dalam hal penegakan hukum dari produk hukum dimaksud.
4) Familiaritasnya : Familiaritasnya adalah seberapa cocok produk hukum itu dengan pengetahuan masyarakat akan hal-hal yang terkait dengan produk hukum tersebut.
Dalam perkembangannya, Utilitarianisme mengalami pergeseran sedikit demi sedikit dalam mengukur pemanfaatan dari sesuatu. Menurut pandangan Utilitarianisme modern, mengukur kebahagiaan dengan parameter parameter Utilitarianisme klasik tidaklah mudah, karena seringkali ukuran ukuran itu ternyata abstrak. Maka, yang dijadikan ukuran adalah Preferensi manusia.
Dan untuk saat ini Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, maka kepentingan masyarakat banyak harus dilindungi, seperti yang tersebut dalam alinea IV UUD 1945. Semua warga negara berhak untuk hidup aman, damai, tentram dan terhindar dari kejahatan. Dengan aparat penegak hukum diharapkan tindakan kejahatan dapat ditangani. Akan tetapi apabila tindakan aparat penegak hukum tidak maksimal maka kejahatan semakin berkembang, salah satunya kejahatan korupsi yang semakin meningkat di negara kita.
Korupsi adalah penyelewengan tugas dan penggelapan uang negara atau perusahaan untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Dampak tindakan korupsi dapat merusak perekonomian negara, demokrasi dan kesejahteraan umum. Pemerintah telah berupaya untuk menetaskan kasus korupsi melalui kebijakan kebijakan untuk memberantas korupsi. Walaupun demikian, masih banyak kasus korupsi yang tidak ditangani secara serius dan berbelit-belit.
Korupsi merupakan permasalahan besar yang harus Di atasi, agar tercapai pertumbuhan dan geliat ekonomi yang sehat. Berbagai catatan tentang korupsi yang setiap hari diberitakan oleh media massa baik cetak maupun elektronik, terlihat adanya peningkatan dan pengembangan model model korupsi. Lembaga-lembaga antikorupsi tidak cukup ampuh untuk memberhentikan praktek tercela ini. Peraturan perundang-undangan yang merupakan bagian dari politik hukum yang dibuat oleh pemerintah pun seakan juga diabaikan dan menjadi meaning less, Apabila tidak dibarengi dengan kesungguhan untuk manifestasi dari peraturan perundang undangan yang ada. Politik hukum tidak cukup, apabila tidak ada recovery terhadap para eksekutor atau pelaku hukum. Kejadian seperti ini mempertegas alasan dari politik hukum yang dirancang oleh pemerintah tidak lebih hanya sekedar memenuhi mainstream yang sedang terjadi.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
1) Perbuatan melawan hukum;
2) Penyalahgunaan kewenangan;
3) Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi;
4) Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Korupsi telah dianggap sebagai Hal yang biasa, dengan dalih sudah sesuai prosedur maka koruptor tidak lagi memiliki rasa malu dan takut. Korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak hak sosial dan hak hak ekonomi masyarakat. Sehingga korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes). Dalam penanganan pemberantasan korupsi harus dilakukan secara komprehensif dan bersama sama oleh pihak penegak hukum, lembaga masyarakat dan seluruh anggota individu masyarakat.
korupsi berkaitan dengan kekuasaan karena dengan kekuasaan itu penguasa dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok nya. Fenomena korupsi di Indonesia sebagai patologi sosial, tidak hanya merusak keuangan negara dan potensi ekonomi negara, tetapi juga telah merusak pilar pilar budaya, moral, politik dan tatanan hukum dan keamanan nasional. Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia masih memerlukan perjuangan berat. Kejahatan korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang telah merusak seluruh lapisan masyarakat, sehingga dalam penanganannya juga harus dilakukan cara cara yang luar biasa secara komprehensif.Penanggulangan korupsi memerlukan ke Mawan politik dan presiden sebagai kepala negara serta peran polisi, jaksa, pengadilan dan KPK yang bersatu memberantas korupsi di Indonesia.
Kesimpulannya dasar yang dibangun Utilitarianisme tampak sederhana, satu perselisihan Pertama Utilitas Arianisme berkisar pada konseptualisasi dan pengukuran kesejahteraan. Dengan ini maka jelas merupakan istilah luas yang mencakup banyak sup teori yang berbeda di bawah payung nya, dan sementara banyak kerangka teori this melintas konseptualisasi ini, menggunakan konseptualisasi yang berbeda memiliki implikasi yang jelas untuk bagaimana kita memahami sisi Utilitarianisme yang lebih praktis dalam keadilan distributif.
Bentham pada awalnya memang berkeinginan untuk konseptualisasi kan ini sesuai dengan kalkulus hedonistik, yang juga menjadi dasar fokus John Stuart Mill pada kesenangan ini intelektual sebagai kontribusi paling bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Jalan lain telah dilukis oleh Aristoteles, berdasarkan pada upaya untuk membuat daftar kondisi yang lebih universal yang diperlakukan untuk Kemakmuran manusia. Sebaliknya, jalan lain berfokus pada evaluasi subyektif dari kebahagiaan dan kepuasan dalam kehidupan manusia.
Kesimpulan dari teori Kalkulus hedonistik Jeremy Bentham dapat dirangkum sebagai berikut:
1) Prinsip Kepuasan dan Penderitaan;
2) Kalkulus Hedonistik Sebagai Alat Pengukuran;
3) Pentingnya Keseimbangan dan Keadilan;
4) Kritik Terhadap Pemikiran Dentologis;
5) Penerusan Pemikiran Utilitarianisme;
6) Kritik Terhadap Keterbatasan Manusia dalam Mengukur Kepuasan.
Kesimpulan ini mencerminkan kontribusi Bentham dalam mengembangkan teori etika utilitarian dan kalkulus hedonistik sebagai suatu metode untuk mengevaluasi tindakan moral. Meskipun kontroversial, pemikiran ini tetap menjadi landasan penting dalam diskusi etika normatif dan filosofi moral.
Kesimpulan mengenai tindak pidana kejahatan korupsi di Indonesia melibatkan pemahaman bahwa korupsi merupakan masalah serius yang mempengaruhi berbagai lapisan masyarakat dan sektor. Beberapa poin utama dalam kesimpulan ini mungkin melibatkan:
1) Tingkat keadilan yang signifikan;
2) Dampak Terhadap Pembangunan;
3) Peran Lembaga Anti-Korupsi;
4) Perlunya Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat;
5) Perluas Upaya Pencegahan;
6) Kerjasama Internasional;
Dengan memahami kompleksitas masalah korupsi di Indonesia, langkah langkah untuk pencegahan dan penindakan yang lebih efektif dapat di rumuskan. Pemberantasan korupsi memerlukan komitmen bersama dari pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan berintegritas.
Daftar Pustaka
Bidari, A. S. (2014). FENOMENA KORUPSI SEBAGAI PATOLOGI SOSIAL DI INDONESIA. media neliti, 1-3.
Evi, H. (2005). Tindak Pidana Korupsi. sinar grafika, 39.
Fariduddin, A. M. (2022). Penjatuhan pidana mati bagi koruptor di Indonesia dalam. Jurnal Anti Korupsi, 1-12.
Hermayanti, F. (2022). Tindak Pidana Korupsi yang di lakukan Oleh Pejabat Negara untuk menyelamatkan Kepentingan Masyarakat dalam perspektif Teori Utilitaliarisme. jurnal ugm, 50-51.
www.indrasenjaya.blogspot.com. (n.d.). Relevansi kewenangan kejaksaan dengan KPK dalam penanggulangan korupsi. e-journal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H