Bentham selalu menginginkan suatu hukum dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu individu, bukan langsung kepada masyarakat secara keseluruhan (jika dianalogikan kata keseluruhan itu seperti seluruh Indonesia). Utilitarianisme individu wall dikembangkan oleh band Tam. Hal yang menarik dari band Tam yaitu, iya menyingkir kan peranan akal dalam hukum. Tidak peduli seberapa kacau isi dari suatu peraturan perundang-undangan, tetapi selama dia memberikan kemanfaatan sebanyak mungkin, maka perbuatan itu akan menjadi benar. Dianggap sebagai pengamat utilitarian yang paling klasik dan memperoleh banyak kritik dari penganut lainnya (Zainal Arifin Mochtar, 2021).
Basis filsafat Bentham yaitu ada rasa senang dan ada rasa sakit dalam diri manusia kedua rasa tersebut akan sangat menentukan kualitas manusia. Maka benar atau salahnya yang diukur adalah rasa senang atau sakitnya, bukan rasa keadilan. Bagi Bentham benar atau salahnya hukum adalah ketika hukum itu memberikan kegunaan untuk manusia berarti iya benar, tetapi apabila manusia disakiti dengan hukum itu berarti hukum itu salah, itulah yang membuat Bentham menggeser makna keadilan. Ketika jaksa menyoroti hak-hak seluruh masyarakat Indonesia yang dianggap telah di rusak oleh Moch Otjo maka hal tersebut dapat pula dikesampingkan, karena yang menjadi ukuran bukanlah keadilan melainkan rasa senang yang diberikan oleh Moch Otjo kepada individu-individu.
Bentham menyampaikan bahwa kebahagian nya penguasa harus sama dengan kebahagian nya masyarakat, maka kebahagiaan penguasa harus juga dirasakan oleh individu lainnya, sehingga tidak ada kesenjangan kesenjangan sosial. Maka penulis menganalisa bahwa perbuatan pejabat Moch Otjo memberikan sesuatu yang seharusnya dikembalikan kepada negara namun diberikan kepada masyarakatnya dengan alasan untuk memberikan kebahagiaan yang bermuara kesejahteraan masyarakatnya. Secara tidak langsung Moch Otjo sudah mempraktikkan apa yang dimaksud oleh Bentham, yaitu kebahagiaan yang dirasakan oleh Moch Otjo iya coba untuk berikan kepada individu lain, meskipun dengan melakukan perbuatan melawan hukum, yakni dengan uang yang seharusnya dikembalikan kepada negara sisa dari reboisasi.
Terobosan hukum luar biasa dari Bentham Yaitu menggeser kebenaran suatu peraturan itu menjadi berdasar pada kebahagiaan yang dinikmati oleh individu. Bentham Memandang bahwa hukum itu menjadi suatu hukum hanya karena sifat perintah yang berdaulat ("that law become law only by virtue of the command soverign (Hari Chand, 2018). Sehingga keputusan Kasasi menggambarkan bahwa hakim mengenai teori utilitarian karena iya mencoba menggeser kebenaran suatu peraturan dan menyatakan benar bahwa peraturan tersebut telah dilanggar, namun tidak bisa untuk Dieksekusi karena perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tersebut adalah perbuatan yang memperjuangkan kepentingan individu lainnya.
Terlepas dari pandangan utilitarianisme yang dianut oleh hakim. Jaksa tidak dapat membuktikan adanya niat (mens rea) Merugikan keuangan negara untuk memperkaya diri sendiri ataupun orang lain. Lalu terkait dengan perbuatan melawan hukum (actus reus) dengan tegas dapat dibuktikan oleh jaksa, hal tersebut dibuktikan dengan adanya pemufakatan antara Moch Otjo dengan rekan kerjanya untuk menggelapkan dana yang seolah olah digunakan untuk melakukan reboisasi namun digunakan untuk kepentingan masyarakat.
Selanjutnya kita akan membahas mengenai fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia.
Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi persoalan yang hangat untuk dibicarakan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan dengan proses penegakan hukum tersebut antar lain adalah mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. Menyikapi fenomena ini, pemerintah yang silih berganti selalu menjadikan kalimat pemberantasan korupsi sebagai agenda utama kegiatan nya. Berbagai perangkat undang-undang beserta segala peraturan pelaksanaannya yang berkaitan dengan korupsi telah dibuat sebagai bukti keseriusan dari para penguasa dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia.usaha pemberantasan korupsi jelas tidak mudah, kesulitan itu terlihat semakin rumit, karena korupsi kelihatan benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga pemerintah menetapkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Meski demikian, berbagai upaya tetap dilakukan, agar korupsi dapat dilenyapkan, atau setidak-tidaknya bisa dikurangi. Konsekuensi negara menetapkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) Harus dibarengi dengan adanya langkah-langkah ekstra untuk memberantas korupsi dalam membentuk sistem yang luar biasa dan juga setiap elemen negara harus bergerak bersama di dalam usaha pemberantasan korupsi.
Korupsi di Indonesia sudah berada pada kondisi yang mengkhawatirkan, karena sudah menjadikan orang tidak normal lagi dalam sikap, perilaku dan nalar berpikirnya. Korupsi tidak lagi terbatas pada mencuri uang, tetapi lambatlaun juga merasuk ke dalam mental, moral, tata nilai dan cara berfikir. Salah satu akibatnya dalam praktik penyelenggaraan negara adalah hilangnya integritas dan moral oleh materialisme, dan ego Sektoral/ departemen tal yang sangat besar. Ketidak memaksimalkan upaya pemberantasan korupsi selama ini juga tidak lepas dari kurangnya dukungan yang kuat serta kesungguhan segenap aparat penyelenggara negara umumnya dan aparat penegak hukum khususnya serta peran aktif masyarakat dalam melakukan pengawasan sehingga upaya pemberantasan korupsi akan sulit dilakukan. Berdasarkan kondisi tersebut upaya upaya untuk melakukan berbagai pembenahan dan perbaikan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia memerlukan kemauan dan tekat yang besar dari semua pelaku pembangunan.
Lahirnya undang undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan undang undang nomor 31 tahun 1999 Tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi korupsi yang menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut Efisiensi yang tinggi, dan dalam pelaksanaan teknis pemberantasan tindak pidana korupsi, presiden menetapkan peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK). Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diharapkan dapat mewadahi koordinasi antara kepolisian, kejaksaan, Instansi terkait, dan unsur masyarakat dalam upaya pembangunan kasus kasus korupsi secara lebih efektif.
Kerangka Teori : Utilitarianisme