Mohon tunggu...
Maureen Assyifa Agnimaya
Maureen Assyifa Agnimaya Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Saya seorang pelajar di salah satu SMA negeri di Bandung. Sebenarnya cita-cita saya adalah menjadi seorang fashion designer karena saya suka sekali menggambar. Saya juga suka menulis cerpen, dan beberapa kali pernah menjadi juara menulis cerpen di berbagai lomba. Di media ini, saya akan menitipkan cerpen-cerpen yang pernah saya ikut sertakan dalam lomba menulis. Semoga menjadi inspirasi buat siapapun yang mencari referensi menulis cerita yang sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebongkah Asa yang Tertimbun dalam Tumpukan Sampah

24 Oktober 2023   11:28 Diperbarui: 24 Oktober 2023   11:47 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di luar hujan belum berhenti. Awan kehitaman menggelayut penuh dengan titik-titik air. Sesekali kilat dan guntur bergemuruh saling bersahutan, menambah suasana semakin terasa mencekam. Hari ini hanya ada dua-tiga truk pengangkut sampah yang masuk ke area TPA. Tapak rodanya menggilas jalan, meninggalkan tetesan limbah, menyatu dengan cileuncang. Beberapa ibu berteriak memanggil anak-anak yang nampak berlarian di bawah hujan. ***

 

20 Februari 2005

 

Duaarr! Duaaarrr!

 

Sore ini, kembali terdengar ledakan dari arah TPA. Kepulan asap sampah yang terbakar, mengepul berlarian ke arah langit. Meski hujan tak berhenti mengguyur, asap itu semakin pekat menginterupsi angkasa. Beberapa pemulung masih nekat berburu bongkahan sampah yang perlahan diturunkan dari truk-truk pengangkut.

 

Di atas teras, terlihat abah terpaku menatap ke arah puncak. Manik netranya nampak penuh cemas. Sesekali dia sesap kepulan asap yang keluar dari cangklong, lalu kembali larut dalam senyap. Dari balik jendela, ku lemparkan pandangku pada bubungan rumah warga yang berdiri tak beraturan. Halimun yang terbawa angin, sebagian menyelimuti atap mereka. Suara tongeret dan koreak, masih saling menimpal terdengar di balik lereng. Entah kenapa, aku merasakan aroma ketakutan yang menjalar bersama deruan hujan.

 

"Air itu kudu dijagi dan diriksa. Kalau tidak ada air, mahluk di muka bumi tidak akan bisa tumbuh dan berkembang. Makanya Gusti Nu Murbeng Alam memberi kita gunung dan sagara yang bebas kita pergunakan. Tapi kita harus terus mengingat falsafah Tri Tangtu, Gusti yang mengasih, alam yang mengasah, dan manusia yang mengurus. Supaya apa? Supaya semua pemberian Tuhan itu bisa terus dinikmati oleh anak cucu kita," terang abah suatu hari. Kaki kecilku saat itu, sengaja aku benamkan di riak air yang mengalir dari arah sirah. Sejuk dan geli rasanya. Telapak kakiku bagai digelitik jemari yang tak kasat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun