Di luar hujan belum berhenti. Awan kehitaman menggelayut penuh dengan titik-titik air. Sesekali kilat dan guntur bergemuruh saling bersahutan, menambah suasana semakin terasa mencekam. Hari ini hanya ada dua-tiga truk pengangkut sampah yang masuk ke area TPA. Tapak rodanya menggilas jalan, meninggalkan tetesan limbah, menyatu dengan cileuncang. Beberapa ibu berteriak memanggil anak-anak yang nampak berlarian di bawah hujan. ***
Â
20 Februari 2005
Â
Duaarr! Duaaarrr!
Â
Sore ini, kembali terdengar ledakan dari arah TPA. Kepulan asap sampah yang terbakar, mengepul berlarian ke arah langit. Meski hujan tak berhenti mengguyur, asap itu semakin pekat menginterupsi angkasa. Beberapa pemulung masih nekat berburu bongkahan sampah yang perlahan diturunkan dari truk-truk pengangkut.
Â
Di atas teras, terlihat abah terpaku menatap ke arah puncak. Manik netranya nampak penuh cemas. Sesekali dia sesap kepulan asap yang keluar dari cangklong, lalu kembali larut dalam senyap. Dari balik jendela, ku lemparkan pandangku pada bubungan rumah warga yang berdiri tak beraturan. Halimun yang terbawa angin, sebagian menyelimuti atap mereka. Suara tongeret dan koreak, masih saling menimpal terdengar di balik lereng. Entah kenapa, aku merasakan aroma ketakutan yang menjalar bersama deruan hujan.
Â
"Air itu kudu dijagi dan diriksa. Kalau tidak ada air, mahluk di muka bumi tidak akan bisa tumbuh dan berkembang. Makanya Gusti Nu Murbeng Alam memberi kita gunung dan sagara yang bebas kita pergunakan. Tapi kita harus terus mengingat falsafah Tri Tangtu, Gusti yang mengasih, alam yang mengasah, dan manusia yang mengurus. Supaya apa? Supaya semua pemberian Tuhan itu bisa terus dinikmati oleh anak cucu kita," terang abah suatu hari. Kaki kecilku saat itu, sengaja aku benamkan di riak air yang mengalir dari arah sirah. Sejuk dan geli rasanya. Telapak kakiku bagai digelitik jemari yang tak kasat.