03 Februari 2005
"Din... Dina, geura gugah geulis, katanya Dina mau berangkat sekolahnya pagi-pagi!" suara ambu sayup-sayup menelisik gendang telingaku, membuyarkan kepingan mimpi yang lelah ku rajut semalam suntuk. Aku menggeliat sejenak, merentangkan kedua tangan tapi kembali asyik menarik selimut kumal yang tadi teronggok di ujung ranjang.
Â
"Eeh...ai Dina, naha malah tidur lagi?"Â
Â
Kali ini suara ambu terdengar sangat dekat. Ada sentakan lembut mengguncang bahuku yang kembali terbungkus selimut. Samar-samar suara rincik air masih terdengar berebut menimpa genting.
Â
Di luar hujan sepertinya masih enggan menghentikan curahnya, padahal semalam abah dan beberapa tetangga yang tengah meriung di bale, sempat mengeluhkan keberadaan mereka.
Â
"Lamun hujan wae, sudah pasti akan ada lagi longsor ti tonggoh, Bah!" terdengar suara mang Barna penuh kecemasan.Â
Â
"Iya Bah, kalau hujan gak berhenti sampai minggu depan, ditakutkan longsorannya akan lebih besar dari sebelumnya," terdengar suara mang Udin menimpali.
Â
Aku mengintip pembicaraan mereka dari celah daun pintu. Asap rokok yang terbakar, membumbung memenuhi bale, menggumpal menyelimuti bohlam yang nyalanya nampak berpijar. Di atas amben[8], abah tak bergeming. Duduknya terlihat tegap dengan bahu bidang yang disandarkan pada tiang. Tangan legam abah, erat mencengkram cangklong dan sesekali rongga hidungnya menyesap kepulan nikotin itu dengan penuh nikmat. Garis mukanya yang mulai keriput, tetap tenang bagaikan mata air yang mengalir dari celah bebatuan di kaki Gunung Pasir Panji. "Ambu... Ambuu, cik tolong bawain cai kopi Abah. Itu di atas sepen!" perintah abah dengan suara beratnya. Terlihat ambu bergegas memasuki bale sambil membawa segelas kopi hitam yang tinggal setengah.Â
Â
Sruut! Abah meneguk kopinya nyaris timpas, menyisakan ampas kopi yang berjelaga di dinding gelas. Mang Barna dan mang Udin masih duduk anteng di hadapan abah sambil sesekali tangan mereka mengupas kulit kedelai rebus yang tadi disuguhkan ambu.
Â
"Memangnya sawah kamu kena caah, Din?" tanya ambu sambil berjalan menutup daun jendela yang terbuka tertebas angin. Di luar hujan makin menderu, saling menimpal dengan angin yang tertiup dari atas lereng Gunung Puncak Salam, di sebelah timur kampung.
Â
"Sumuhun, Ambu... malahan beberapa petak padi yang baru minggu lalu ditandur, sebagian pada palid terbawa caah," sahut mang Udin. Ada garis kesedihan dari nada suaranya.
Â
"Astagfirullah... yang sabar ya, Din!" balas ambu, yang lalu ikut duduk di sebelah abah.
Â
Haaah! Helaan nafas abah terdengar berat. Cangklong yang digenggamnya sedari tadi, dia lepaskan di atas asbak bonggol bambu.
Â
      "Dua hari lalu, Abah sudah coba menemui kepala TPA...," tiba-tiba suara berat abah memecah hening di antara mereka, lalu terhenti. Tak berselang lama terdengar bunyi tenggerokannya yang kembali meneguk sisa-sisa kopi dalam gelas.
Â
"Abah sudah meminta pihak TPA untuk menghentikan operasionalnya selama hujan belum berhenti. Apalagi di beberapa tempat, sudah banyak warga yang mengeluh sumurnya tercemar rembesan limbah. Tentunya itu sangat membahayakan kesehatan kita. Tapi sampai pagi tadi, Abah masih melihat truk-truk itu hilir mudik tak berhenti membawa sampah," lanjut abah kemudian. Suaranya terdengar menahan geram, sementara mang Udin dan mang Barna termasuk ambu, menyimak dengan kepala saling terangguk. Aku yang masih setia menguping di balik celah pintu, ikut merasakan kegeraman yang berkecamuk dalam dada abah.
Â
Sudah berkali-kali warga kampungku melayangkan protes akan keberadaan TPA yang sampahnya semakin lama semakin menggunung. Bahkan sampah-sampah itu, telah menutup puncak Gunung Pasir Panji dan Gunung Leutik yang berdiri berdampingan, mengapit kampung Cilimus dan kampung Pojok, tempat tinggal keluargaku dan puluhan keluarga lainnya. Semula warga kampung Cilimus dan kampung Pojok, bermata pencaharian sebagai petani. Menggarap petak-petak sawah dan ladang yang tersusun rapi memagari lereng. Tapi sudah bertahun-tahun, sebagian besar dari petak-petak itu, tertutup tumpukan sampah. Akhirnya dengan terpaksa, banyak warga yang beralih menjadi pemulung, berebut mengais rezeki dengan lalat dan belatung.
Â
Aku masih ingat, di hulu sungai yang memagari kampung, terdapat sirah air yang tidak pernah surut. Airnya bening, mengular melewati celah-celah batu yang tegak membentengi punggung Gunung Pasir Panji. Sewaktu kecil, abah selalu mengajakku membersihkan alang-alang dan akar-akar pohon reundeu yang dirasa menghalangi jalannya air dari sirah itu. Dengan parang dan pacul, penuh hati-hati, abah menebas setiap sisi pematang yang membatasi tempat lajunya air menuju ke lereng gunung tepat di mana sawah dan ladang luas terhampar. Di sisi sebelah kanan sirah, terdapat batu besar yang landai. Di sana abah meletakan beberapa sesaji yang sudah ambu siapkan di atas nampan. Lalu abah merapalkan doa-doa dengan khusyuk, meminta kanu ngageugeuh gunung agar selalu melindungi warga kampung dan melindungi sirah agar airnya jangan sampai surut. Dengan penuh seksama, aku menyaksikan setiap gerak abah, di balik alang-alang yang menutupi lembah dan batuan berserak.Â
Â
"Menurut karuhun, sirah ini diyakini masih satu aliran dengan sirah yang berasal dari sumber air keramat Nyimas Ende di kaki Gunung Puncak Salam. Makanya kita harus selalu berterima kasih kepada Nyimas Ende dengan menjaga keberadaan dan kebersihannya supaya Nyimas Ende tidak bendu sama kita." jelas abah suatu waktu, saat menjawab rasa penasaranku akan setiap ritual yang selalu abah lakukan sebelum memulai bersih-bersih.
Â
Bertahun-tahun pula, tidak pernah lagi aku melihat abah melakukan ritual bersih-bersih di mata air seperti dulu. Sungai kecil yang dulu setia membawa lajunya air dari sirah, kini menjelma menjadi aliran limbah. Lereng Gunung Pasir Panji dan Gunung Leutik yang semula berdiri tegak menyangga perut bumi dengan gagah, lambat laun tertimbun tumpukan sampah. Aroma harum pucuk bunga reundeu yang berbentuk terompet kecil, kini berganti semilir busuk yang membumbung, bercampur kepulan asap dari sampah yang terbakar.
Â
Lereng gunung yang berdiri tepat di atas kampungku, nampak suram bagai menanggung lara. Seandainya batu-batu yang menopang itu mampu berteriak, tentu teriakan marah setiap hari pasti akan kita dengar. Tapi mereka hanya membisu, menatap ratusan orang-orang yang berebut bongkahan sampah, dengan pandang percuma.
Â
"Dinaaa... ayo cepetan bangun geulis, nanti kesiangan sekolahnya!" suara lembut ambu kembali menelisik, memaksaku untuk segera menghempaskan selimut. ***
Â
15 Februari 2005
Â
      "Bah... Abaaah...!"
Â
Lamat-lamat suara seorang lelaki berteriak dari arah jalan setapak yang berada tepat di depan rumah. Hujan yang turun semalam, pagi ini berhenti seolah bosan. Menyisakan kabut dan titik air yang jatuh dengan malas dari pucuk daun cengkeh yang berjejer memagari kebun. Beberapa kupu-kupu nampak berterbangan tanpa sungkan, meliuk di antara rimbunan bunga saliara yang berwarna kuning. Di kejauhan bunyi tongeret dan koreak, saling menyahut tak mau kalah.Â
Â
"Bah... Abaaah!" lagi-lagi suara itu terdengar semakin mendekat.
Â
"Eeh...Udin, aya naon?" sahut ambu tergopoh membukakan pintu. Di luar mang Udin terlihat panik kebingungan.
Â
"Abah ada, Ambu?"
Â
"Ada Din, lagi di jamban... yap, hayu sini masuk dulu!" ajak ambu.
Â
"Gak usah, Ambu... saya cuman sebentar. Lagian kaki saya kotor, penuh lumpur sawah," tolak mang Udin.
Â
"Ada apa, Din?" sedetik kemudian terdengar suara abah dari arah dapur. Tangannya terlihat membawa sebilah parang.
Â
"Abah mau ke sawah?" mang Udin balik bertanya penuh heran.
Â
"Iya, Abah mau ngebenerin talang air di saung, kemarin talangnya rungkad terkena angin!" jawab abah. "Terus kamu ada perlu apa sama abah?"
Â
"Gini Bah... tadi di sawah, saya ketemu sama Abah Emen sesepuh dari kampung Cireundeu. Kata Abah Emen, di girangeun gunung, dia ngeliat ada retakan pada batu dan gawir. Malahan katanya ada beberapa pohon ki meong dan haur yang longsor," terang mang Udin. Terlihat pandang abah terlempar ke arah bukit yang berada di sebrang rumah. Di atas sana, nampak dua buah eskavator yang tengah merayap, bergerak hilir mudik di antara gunungan sampah. Ujung tungkainya mengeruk bongkahan sampah lalu mendorongnya ke tepi jurang. ***
Â
18 Februari 2005
Â
Sedari pagi, hujan kembali mengguyur bumi. Membasahi tanah yang belum sepenuhnya kering. Sungai kecil yang melingkari kampung Cilimus dan kampung Pojok, airnya semakin membuncah coklat kehitaman. Angin lembah mengembuskan udara lembab dan bau busuk mengangkasa, memenuhi ruang tempat para mahluk beroleh udara. Aku menyaksikan abah kembali berembuk dengan beberapa warga termasuk mang Udin dan mang Barna.
Â
"Sepertinya kita harus lebih waspada. Dari kemarin, dari arah TPA terdengar beberapa kali ledakan. Kemungkinan itu dari karet yang terbakar. Tolong ingatkan para pemulung untuk lebih berhati-hati. Jangan memulung terlalu ke gawir. Berhenti dulu memulung kalau sedang hujan!" instruksi abah kepada warga yang dari tadi meriung di tengah bale.
Â
"Apa perlu kita mengungsi saja, Bah?" tanya salah satu warga.
Â
"Kalau sekiranya punya saudara atau keluarga yang jauh dari kampung dan mereka bersedia, menurut Abah sih lebih baik begitu," saran abah. "Tapi kalau ternyata tidak ada, ya waspada saja. Usahakan kalau malam, kita bergantian saling berjaga."
Â
"Akuur... muhun mangga, Bah!" sahut para warga serentak menyetujui usul abah.
Â
Di luar hujan belum berhenti. Awan kehitaman menggelayut penuh dengan titik-titik air. Sesekali kilat dan guntur bergemuruh saling bersahutan, menambah suasana semakin terasa mencekam. Hari ini hanya ada dua-tiga truk pengangkut sampah yang masuk ke area TPA. Tapak rodanya menggilas jalan, meninggalkan tetesan limbah, menyatu dengan cileuncang. Beberapa ibu berteriak memanggil anak-anak yang nampak berlarian di bawah hujan. ***
Â
20 Februari 2005
Â
Duaarr! Duaaarrr!
Â
Sore ini, kembali terdengar ledakan dari arah TPA. Kepulan asap sampah yang terbakar, mengepul berlarian ke arah langit. Meski hujan tak berhenti mengguyur, asap itu semakin pekat menginterupsi angkasa. Beberapa pemulung masih nekat berburu bongkahan sampah yang perlahan diturunkan dari truk-truk pengangkut.
Â
Di atas teras, terlihat abah terpaku menatap ke arah puncak. Manik netranya nampak penuh cemas. Sesekali dia sesap kepulan asap yang keluar dari cangklong, lalu kembali larut dalam senyap. Dari balik jendela, ku lemparkan pandangku pada bubungan rumah warga yang berdiri tak beraturan. Halimun yang terbawa angin, sebagian menyelimuti atap mereka. Suara tongeret dan koreak, masih saling menimpal terdengar di balik lereng. Entah kenapa, aku merasakan aroma ketakutan yang menjalar bersama deruan hujan.
Â
"Air itu kudu dijagi dan diriksa. Kalau tidak ada air, mahluk di muka bumi tidak akan bisa tumbuh dan berkembang. Makanya Gusti Nu Murbeng Alam memberi kita gunung dan sagara yang bebas kita pergunakan. Tapi kita harus terus mengingat falsafah Tri Tangtu, Gusti yang mengasih, alam yang mengasah, dan manusia yang mengurus. Supaya apa? Supaya semua pemberian Tuhan itu bisa terus dinikmati oleh anak cucu kita," terang abah suatu hari. Kaki kecilku saat itu, sengaja aku benamkan di riak air yang mengalir dari arah sirah. Sejuk dan geli rasanya. Telapak kakiku bagai digelitik jemari yang tak kasat.
Â
"Supaya sirah dari bebatuan itu terus mengeluarkan air, maka kita pun harus menjaga tutuwuhan[40] yang ada ada di gunung dan hutan. Kata orangtua dulu mah, kita teh tidak boleh asal tebang, tidak boleh asal buang!" pesan abah kemudian. Angin lembah yang semilir dari puncak Gunung Pasir Panji dan Gunung Leutik seolah kompak berpadu, lalu perlahan lingsir melewati dinding tebing, menyajikan lantunan suara-suara merdu. Aku menikmati semuanya dengan mata terpejam. Petuah abah yang terbalut dalam setiap cerita, terpatri indah dalam sanubariku.Â
Â
Uhukk...uhuuk! Suara batuk abah yang berat, melepaskan untai kenangan yang tadi sempat terangkai.
Â
      "Abah... ayo masuk, jangan di luar terus! Nanti batuk abah gak akan sembuh-sembuh atuh kalo kena angin terus!... coba itu rokoknya juga dikurangi!... iih, angger da si Abah mah, susah nurutnya!"  terdengar rentetan suara ambu berseru dari dalam rumah, diikuti langkah abah yang sedikit tertatih meninggalkan teras. ***
Â
21 Februari 2005
Â
      Menjelang sepertiga malam, dari atas lereng, suara ledakan itu kembali terdengar. Lebih keras dan menggelegar dari sebelumnya. Memecah senyap dan melindas suara dengkuran nafas-nafas lelah. Tak ada yang menyadari kalau malaikat maut tengah bersiap-siap menjemput.
Â
      Duaaarr! Kraaakkk! Lalu gelap menyelimuti seluruh kampung. Raga itu lampus dan ruh pun terlepas dari jasadnya. ***
Â
21 Februari 2015
Â
Di sisi tebing sebelah timur lereng Gunung Pasir Panji, sudah meriung puluhan warga yang berseragam pangsi dengan ikat kepala secarik kain batik. Semuanya duduk bersila mengelilingi dua buah nampan yang berisi sesaji. Kepulan asap dupa menyeruak, lalu lalang meninggalkan aroma harum yang menyengat. Nampak Pupuhu merapalkan doa tanpa jeda, diiringi alunan lirih karinding yang dimainkan oleh salah seorang dari mereka.
Â
Pagi itu, langit biru memancar. Halimun gunung yang biasanya masih menutupi pucuk-pucuk daun, kali ini bersembunyi entah dimana. Semesta mengibarkan panji-panji kedamaian di balik cahaya Sang Rawi. Tak sepatah katapun terucap dari jiwa-jiwa yang tengah berkumpul itu. Semuanya tersirap pada lantunan doa dan suara karinding yang mengalun syahdu. Tak lama, Pupuhu terlihat berdiri. Meraih sebilah bambu bitung yang berisikan air dari sirah Gunung Pasir Panji, lalu mencipratkannya ke sekitar tepian jurang.
Â
Wurrr... Wurrr! Kelopak bunga bercampur irisan daun pandan pun ikut ditabur.
Â
"Hari ini, kita kembali berkumpul di tempat ini, untuk mengingat peristiwa kelabu satu dasa warsa silam. Rasa duka itu mungkin masih terasa menusuk dalam sanubari kita. Terlebih bagi orang-orang yang ditinggalkan oleh suami, istri, orangtua, anak dan kerabatnya..." suara Pupuhu, memecah senyap yang sedari tadi memasung erat.
Â
"... Kita berada di sini untuk olah rasa, nyurasa dan ngajajap nu maot. Karena sejatinya, bagi kita sebagai manusia yang masih jumeneng momen ini harus selalu dijadikan olah rasa atau perenungan atas tragedi yang pernah terjadi, mengenali kembali eksistensi dan kodrat kita sebagai manusia atau nyurasa, juga ngajajap nu maot yang artinya mengenang serta mengirimkan doa bagi para korban yang raga dan jiwanya dulu terkubur di sini..." lanjut Pupuhu dengan suara bergetar.Â
Â
"... Tragedi longsor yang menimbun sanak saudara kita, bukanlah bencana alam, melainkan bencana kemanusiaan yang ditimbulkan oleh lalainya kita dalam merawat alam dan juga kurang bersyukurnya kita atas nikmat yang selama ini telah Tuhan beri. Tragedi ini juga adalah bentuk teguran dari Tuhan. Oleh karena itu, mari jadikan teguran itu sebagai rambu bagi kita dalam melangkah ke depan. Mari kita bersama-sama menjaga bumi kita!... Ingat, ceuk kolot baheula oge, jangan asal tebang, jangan asal buang!" pungkas Pupuhu. Pandangnya menatap satu persatu para warga lalu beralih ke ujung lembah yang dulu tertutup jutaan sampah. (***)
Â
Â
(Cerita ini terinspirasi dari tragedi longsor TPA Leuwigajah pada tanggal 21 Februari 2005. Sebanyak 157 jiwa telah terenggut sia-sia dan membenamkan dua kampung di balik gunungan sampah yang terbis. Sebagai pengingat duka tersebut, setiap tanggal 21 Februari, pemerintah melalui Kementrian Lingkungan Hidup menetapkannya sebagai Hari Peduli Sampah Nasional)
(Cerpen ini pernah diikutsertakan pada lomba menulis cerpen Felsi Puspresnas 2022 tk. SMA/SMK/MA)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H