Mohon tunggu...
Maureen Assyifa Agnimaya
Maureen Assyifa Agnimaya Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Saya seorang pelajar di salah satu SMA negeri di Bandung. Sebenarnya cita-cita saya adalah menjadi seorang fashion designer karena saya suka sekali menggambar. Saya juga suka menulis cerpen, dan beberapa kali pernah menjadi juara menulis cerpen di berbagai lomba. Di media ini, saya akan menitipkan cerpen-cerpen yang pernah saya ikut sertakan dalam lomba menulis. Semoga menjadi inspirasi buat siapapun yang mencari referensi menulis cerita yang sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebongkah Asa yang Tertimbun dalam Tumpukan Sampah

24 Oktober 2023   11:28 Diperbarui: 24 Oktober 2023   11:47 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Haaah! Helaan nafas abah terdengar berat. Cangklong yang digenggamnya sedari tadi, dia lepaskan di atas asbak bonggol bambu.

 

            "Dua hari lalu, Abah sudah coba menemui kepala TPA...," tiba-tiba suara berat abah memecah hening di antara mereka, lalu terhenti. Tak berselang lama terdengar bunyi tenggerokannya yang kembali meneguk sisa-sisa kopi dalam gelas.

 

"Abah sudah meminta pihak TPA untuk menghentikan operasionalnya selama hujan belum berhenti. Apalagi di beberapa tempat, sudah banyak warga yang mengeluh sumurnya tercemar rembesan limbah. Tentunya itu sangat membahayakan kesehatan kita. Tapi sampai pagi tadi, Abah masih melihat truk-truk itu hilir mudik tak berhenti membawa sampah," lanjut abah kemudian. Suaranya terdengar menahan geram, sementara mang Udin dan mang Barna termasuk ambu, menyimak dengan kepala saling terangguk. Aku yang masih setia menguping di balik celah pintu, ikut merasakan kegeraman yang berkecamuk dalam dada abah.

 

Sudah berkali-kali warga kampungku melayangkan protes akan keberadaan TPA yang sampahnya semakin lama semakin menggunung. Bahkan sampah-sampah itu, telah menutup puncak Gunung Pasir Panji dan Gunung Leutik yang berdiri berdampingan, mengapit kampung Cilimus dan kampung Pojok, tempat tinggal keluargaku dan puluhan keluarga lainnya. Semula warga kampung Cilimus dan kampung Pojok, bermata pencaharian sebagai petani. Menggarap petak-petak sawah dan ladang yang tersusun rapi memagari lereng. Tapi sudah bertahun-tahun, sebagian besar dari petak-petak itu, tertutup tumpukan sampah. Akhirnya dengan terpaksa, banyak warga yang beralih menjadi pemulung, berebut mengais rezeki dengan lalat dan belatung.

 

Aku masih ingat, di hulu sungai yang memagari kampung, terdapat sirah air yang tidak pernah surut. Airnya bening, mengular melewati celah-celah batu yang tegak membentengi punggung Gunung Pasir Panji. Sewaktu kecil, abah selalu mengajakku membersihkan alang-alang dan akar-akar pohon reundeu yang dirasa menghalangi jalannya air dari sirah itu. Dengan parang dan pacul, penuh hati-hati, abah menebas setiap sisi pematang yang membatasi tempat lajunya air menuju ke lereng gunung tepat di mana sawah dan ladang luas terhampar. Di sisi sebelah kanan sirah, terdapat batu besar yang landai. Di sana abah meletakan beberapa sesaji yang sudah ambu siapkan di atas nampan. Lalu abah merapalkan doa-doa dengan khusyuk, meminta kanu ngageugeuh gunung agar selalu melindungi warga kampung dan melindungi sirah agar airnya jangan sampai surut. Dengan penuh seksama, aku menyaksikan setiap gerak abah, di balik alang-alang yang menutupi lembah dan batuan berserak. 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun