Â
"... Kita berada di sini untuk olah rasa, nyurasa dan ngajajap nu maot. Karena sejatinya, bagi kita sebagai manusia yang masih jumeneng momen ini harus selalu dijadikan olah rasa atau perenungan atas tragedi yang pernah terjadi, mengenali kembali eksistensi dan kodrat kita sebagai manusia atau nyurasa, juga ngajajap nu maot yang artinya mengenang serta mengirimkan doa bagi para korban yang raga dan jiwanya dulu terkubur di sini..." lanjut Pupuhu dengan suara bergetar.Â
Â
"... Tragedi longsor yang menimbun sanak saudara kita, bukanlah bencana alam, melainkan bencana kemanusiaan yang ditimbulkan oleh lalainya kita dalam merawat alam dan juga kurang bersyukurnya kita atas nikmat yang selama ini telah Tuhan beri. Tragedi ini juga adalah bentuk teguran dari Tuhan. Oleh karena itu, mari jadikan teguran itu sebagai rambu bagi kita dalam melangkah ke depan. Mari kita bersama-sama menjaga bumi kita!... Ingat, ceuk kolot baheula oge, jangan asal tebang, jangan asal buang!" pungkas Pupuhu. Pandangnya menatap satu persatu para warga lalu beralih ke ujung lembah yang dulu tertutup jutaan sampah. (***)
Â
Â
(Cerita ini terinspirasi dari tragedi longsor TPA Leuwigajah pada tanggal 21 Februari 2005. Sebanyak 157 jiwa telah terenggut sia-sia dan membenamkan dua kampung di balik gunungan sampah yang terbis. Sebagai pengingat duka tersebut, setiap tanggal 21 Februari, pemerintah melalui Kementrian Lingkungan Hidup menetapkannya sebagai Hari Peduli Sampah Nasional)
(Cerpen ini pernah diikutsertakan pada lomba menulis cerpen Felsi Puspresnas 2022 tk. SMA/SMK/MA)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H