"Iya Bah, kalau hujan gak berhenti sampai minggu depan, ditakutkan longsorannya akan lebih besar dari sebelumnya," terdengar suara mang Udin menimpali.
Â
Aku mengintip pembicaraan mereka dari celah daun pintu. Asap rokok yang terbakar, membumbung memenuhi bale, menggumpal menyelimuti bohlam yang nyalanya nampak berpijar. Di atas amben[8], abah tak bergeming. Duduknya terlihat tegap dengan bahu bidang yang disandarkan pada tiang. Tangan legam abah, erat mencengkram cangklong dan sesekali rongga hidungnya menyesap kepulan nikotin itu dengan penuh nikmat. Garis mukanya yang mulai keriput, tetap tenang bagaikan mata air yang mengalir dari celah bebatuan di kaki Gunung Pasir Panji. "Ambu... Ambuu, cik tolong bawain cai kopi Abah. Itu di atas sepen!" perintah abah dengan suara beratnya. Terlihat ambu bergegas memasuki bale sambil membawa segelas kopi hitam yang tinggal setengah.Â
Â
Sruut! Abah meneguk kopinya nyaris timpas, menyisakan ampas kopi yang berjelaga di dinding gelas. Mang Barna dan mang Udin masih duduk anteng di hadapan abah sambil sesekali tangan mereka mengupas kulit kedelai rebus yang tadi disuguhkan ambu.
Â
"Memangnya sawah kamu kena caah, Din?" tanya ambu sambil berjalan menutup daun jendela yang terbuka tertebas angin. Di luar hujan makin menderu, saling menimpal dengan angin yang tertiup dari atas lereng Gunung Puncak Salam, di sebelah timur kampung.
Â
"Sumuhun, Ambu... malahan beberapa petak padi yang baru minggu lalu ditandur, sebagian pada palid terbawa caah," sahut mang Udin. Ada garis kesedihan dari nada suaranya.
Â
"Astagfirullah... yang sabar ya, Din!" balas ambu, yang lalu ikut duduk di sebelah abah.