Mohon tunggu...
Maureen Assyifa Agnimaya
Maureen Assyifa Agnimaya Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Saya seorang pelajar di salah satu SMA negeri di Bandung. Sebenarnya cita-cita saya adalah menjadi seorang fashion designer karena saya suka sekali menggambar. Saya juga suka menulis cerpen, dan beberapa kali pernah menjadi juara menulis cerpen di berbagai lomba. Di media ini, saya akan menitipkan cerpen-cerpen yang pernah saya ikut sertakan dalam lomba menulis. Semoga menjadi inspirasi buat siapapun yang mencari referensi menulis cerita yang sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebongkah Asa yang Tertimbun dalam Tumpukan Sampah

24 Oktober 2023   11:28 Diperbarui: 24 Oktober 2023   11:47 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Iya Bah, kalau hujan gak berhenti sampai minggu depan, ditakutkan longsorannya akan lebih besar dari sebelumnya," terdengar suara mang Udin menimpali.

 

Aku mengintip pembicaraan mereka dari celah daun pintu. Asap rokok yang terbakar, membumbung memenuhi bale, menggumpal menyelimuti bohlam yang nyalanya nampak berpijar. Di atas amben[8], abah tak bergeming. Duduknya terlihat tegap dengan bahu bidang yang disandarkan pada tiang. Tangan legam abah, erat mencengkram cangklong dan sesekali rongga hidungnya menyesap kepulan nikotin itu dengan penuh nikmat. Garis mukanya yang mulai keriput, tetap tenang bagaikan mata air yang mengalir dari celah bebatuan di kaki Gunung Pasir Panji. "Ambu... Ambuu, cik tolong bawain cai kopi Abah. Itu di atas sepen!" perintah abah dengan suara beratnya. Terlihat ambu bergegas memasuki bale sambil membawa segelas kopi hitam yang tinggal setengah. 

 

Sruut! Abah meneguk kopinya nyaris timpas, menyisakan ampas kopi yang berjelaga di dinding gelas. Mang Barna dan mang Udin masih duduk anteng di hadapan abah sambil sesekali tangan mereka mengupas kulit kedelai rebus yang tadi disuguhkan ambu.

 

"Memangnya sawah kamu kena caah, Din?" tanya ambu sambil berjalan menutup daun jendela yang terbuka tertebas angin. Di luar hujan makin menderu, saling menimpal dengan angin yang tertiup dari atas lereng Gunung Puncak Salam, di sebelah timur kampung.

 

"Sumuhun, Ambu... malahan beberapa petak padi yang baru minggu lalu ditandur, sebagian pada palid terbawa caah," sahut mang Udin. Ada garis kesedihan dari nada suaranya.

 

"Astagfirullah... yang sabar ya, Din!" balas ambu, yang lalu ikut duduk di sebelah abah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun