"Menurut karuhun, sirah ini diyakini masih satu aliran dengan sirah yang berasal dari sumber air keramat Nyimas Ende di kaki Gunung Puncak Salam. Makanya kita harus selalu berterima kasih kepada Nyimas Ende dengan menjaga keberadaan dan kebersihannya supaya Nyimas Ende tidak bendu sama kita." jelas abah suatu waktu, saat menjawab rasa penasaranku akan setiap ritual yang selalu abah lakukan sebelum memulai bersih-bersih.
Â
Bertahun-tahun pula, tidak pernah lagi aku melihat abah melakukan ritual bersih-bersih di mata air seperti dulu. Sungai kecil yang dulu setia membawa lajunya air dari sirah, kini menjelma menjadi aliran limbah. Lereng Gunung Pasir Panji dan Gunung Leutik yang semula berdiri tegak menyangga perut bumi dengan gagah, lambat laun tertimbun tumpukan sampah. Aroma harum pucuk bunga reundeu yang berbentuk terompet kecil, kini berganti semilir busuk yang membumbung, bercampur kepulan asap dari sampah yang terbakar.
Â
Lereng gunung yang berdiri tepat di atas kampungku, nampak suram bagai menanggung lara. Seandainya batu-batu yang menopang itu mampu berteriak, tentu teriakan marah setiap hari pasti akan kita dengar. Tapi mereka hanya membisu, menatap ratusan orang-orang yang berebut bongkahan sampah, dengan pandang percuma.
Â
"Dinaaa... ayo cepetan bangun geulis, nanti kesiangan sekolahnya!" suara lembut ambu kembali menelisik, memaksaku untuk segera menghempaskan selimut. ***
Â
15 Februari 2005
Â
      "Bah... Abaaah...!"