Duaaarr! Kraaakkk! Lalu gelap menyelimuti seluruh kampung. Raga itu lampus dan ruh pun terlepas dari jasadnya. ***
Â
21 Februari 2015
Â
Di sisi tebing sebelah timur lereng Gunung Pasir Panji, sudah meriung puluhan warga yang berseragam pangsi dengan ikat kepala secarik kain batik. Semuanya duduk bersila mengelilingi dua buah nampan yang berisi sesaji. Kepulan asap dupa menyeruak, lalu lalang meninggalkan aroma harum yang menyengat. Nampak Pupuhu merapalkan doa tanpa jeda, diiringi alunan lirih karinding yang dimainkan oleh salah seorang dari mereka.
Â
Pagi itu, langit biru memancar. Halimun gunung yang biasanya masih menutupi pucuk-pucuk daun, kali ini bersembunyi entah dimana. Semesta mengibarkan panji-panji kedamaian di balik cahaya Sang Rawi. Tak sepatah katapun terucap dari jiwa-jiwa yang tengah berkumpul itu. Semuanya tersirap pada lantunan doa dan suara karinding yang mengalun syahdu. Tak lama, Pupuhu terlihat berdiri. Meraih sebilah bambu bitung yang berisikan air dari sirah Gunung Pasir Panji, lalu mencipratkannya ke sekitar tepian jurang.
Â
Wurrr... Wurrr! Kelopak bunga bercampur irisan daun pandan pun ikut ditabur.
Â
"Hari ini, kita kembali berkumpul di tempat ini, untuk mengingat peristiwa kelabu satu dasa warsa silam. Rasa duka itu mungkin masih terasa menusuk dalam sanubari kita. Terlebih bagi orang-orang yang ditinggalkan oleh suami, istri, orangtua, anak dan kerabatnya..." suara Pupuhu, memecah senyap yang sedari tadi memasung erat.