Â
Sedari pagi, hujan kembali mengguyur bumi. Membasahi tanah yang belum sepenuhnya kering. Sungai kecil yang melingkari kampung Cilimus dan kampung Pojok, airnya semakin membuncah coklat kehitaman. Angin lembah mengembuskan udara lembab dan bau busuk mengangkasa, memenuhi ruang tempat para mahluk beroleh udara. Aku menyaksikan abah kembali berembuk dengan beberapa warga termasuk mang Udin dan mang Barna.
Â
"Sepertinya kita harus lebih waspada. Dari kemarin, dari arah TPA terdengar beberapa kali ledakan. Kemungkinan itu dari karet yang terbakar. Tolong ingatkan para pemulung untuk lebih berhati-hati. Jangan memulung terlalu ke gawir. Berhenti dulu memulung kalau sedang hujan!" instruksi abah kepada warga yang dari tadi meriung di tengah bale.
Â
"Apa perlu kita mengungsi saja, Bah?" tanya salah satu warga.
Â
"Kalau sekiranya punya saudara atau keluarga yang jauh dari kampung dan mereka bersedia, menurut Abah sih lebih baik begitu," saran abah. "Tapi kalau ternyata tidak ada, ya waspada saja. Usahakan kalau malam, kita bergantian saling berjaga."
Â
"Akuur... muhun mangga, Bah!" sahut para warga serentak menyetujui usul abah.
Â