1979 Rue de Bleury, Montreal
Aku dan beberapa temanku berdiri tanpa gentar di pintu masuk kantor pengelola apartemen La Bleue, tempat kami tinggal selama ini. Aku memegang erat sebuah karton bertuliskan "Freedom, let us be free!". Begitupun dengan temanku Jhon. Dia terlihat memegang sebuah karton dengan tulisan "Child is a human too". Ada sekitar 15 orang anak yang sebaya denganku berdiri di halaman gedung. Kami serentak berseru dengan lantang mengucapkan kata-kata penolakan atas kebijakan yang diterapkan oleh pengelola apartemen.
Beberapa minggu terakhir, pihak apartemen membuat peraturan agar semua anak yang tinggal di wilayahnya dilarang untuk bermain di halaman apartemen. Playground dan sebuah taman kecil di sebrang apartemen tiba-tiba ditutup oleh pihak pengelola. Peraturan itu diambil untuk menjaga keamanan anak-anak karena maraknya kasus penculikan anak kecil yang akhir-akhir ini sering terjadi di Montreal. Tapi bagi kami, pelarangan tersebut adalah sebuah bentuk kesewenang-wenangan dari orang dewasa terhadap anak-anak.
"Kembalikan kebebasan kami.... Biarkan kami bermain di luar!" Aku berteriak kencang disambut sorak sorai dari teman-temanku yang lain.
"Aku ingin main perosotan di taman!"
Emily, salah satu anak yang paling kecil ikut berteriak sambil tangannya mengacungkan sebuah boneka puddle. Tak lama, Mrs. Eva salah satu pengelola apartemen keluar menemui kami.
"Woww... seru sekali kalian hari ini!" Serunya sambil berjalan ke arah kami. Raut mukanya nampak terpukau dengan keberanian kami. Sebaris gigi tersungging di celah bibirnya yang tersenyum lebar. Mrs. Eva mendekati Emily lalu menggendong bocah itu dengan ramah.
"Aku ingin bermain lagi di taman, Miss!" Suara emily terdengar nyaring dan lucu.
"Yes Miss... lets us be free!" Seruku menimpali.
"Yeaah Miss.... Biarkan kami bebas kembali!" Sambut Jhon dengan suara lantang.
Mrs. Eva menatap kami satu persatu. Bening matanya mengguratkan rasa simpati.
"Tapi kalian mengerti kan kenapa peraturan untuk tidak bermain di halaman itu kami buat?" Tanya Mrs. Eva. Suaranya terdengar tenang dan lembut.
"Iya kami mengerti Miss... Tapi kalau kami dipaksa untuk bermain sendiri di rumah kami masing-masing, justru itu salah satu bentuk penculikan yang telah kalian lakukan terhadap kami. Sedangkan di usia kami, bermain adalah sebuah hak yang tidak boleh dikekang oleh siapapun termasuk kalian para orang dewasa!" Aku kembali berseru, berusaha mengutarakan isi dalam kepala dengan selugas mungkin. Sebaris senyum kembali tersungging di bibir Mrs. Eva setelah mendengar keberatanku.
"Baiklah... Kalau begitu, keberatan kalian akan saya sampaikan kepada owner. Semoga kalian bisa bermain lagi bersama-sama secepatnya!"
"Horeeee!!!"
"Hiduup Miss Eva....!!"
"Hipp... hippp... horeee!"
Serentak aku dan teman-temanku berseru kegirangan. Emily dan beberapa anak yang masih kecil meloncat-loncat dan berteriak dengan riang.
"Thank you Miss Eva for your appreciation!" Ucapku penuh haru di balik rengkuhan tangan Mrs. Eva yang mendekapku dengan hangat.
Sejak saat itu, akhirnya kami diperbolehkan bermain kembali di playground dan taman. Untuk menjamin keamanan anak-anak selama bermain, pihak pengelola memasang pagar dengan pos penjagaan di sekelilingnya.
Dan itulah pertama kalinya aku berani menyuarakan pendapat di depan orang lain.
*****
1980 Westmount High School, Quebec
"Aku tidak akan pulang, Padma... Aku takut!" Suara Wendy terdengar bergetar di antara isaknya.
Aku tertegun. Mataku beralih ke arah Wendy yang duduk terpekur di ujung meja. Dia berusaha menahan tangisnya, namun tetap saja sedu sedannya memecah hening yang sedari tadi menyelimuti ruang perpustakaan.
"Sstt....what happened, Wendy?" Aku berbisik pelan, sementara jemariku menepuk punggung tangannya berusaha membuat dia sedikit tenang.
"Aku sudah tidak kuat!" Suara Wendy tercekat.
"Tidak kuat kenapa?"
"Ramos.... Suami mamaku! Dia kerap memukulku setiap kali bertengkar dengan mama," terang Wendy. Jemarinya bergetar saat menyibakan ujung lengan baju, memperlihatkan garis-garis memar dan lebam di kedua belah tangannya.
Refleks aku terpekik.
"Ya Tuhaan... Ini tidak bisa dibiarkan Wendy! Kamu bisa mati kalau kamu terus-terusan hidup dengan orang tua macam itu!"
"Tapi aku tak tahu lagi harus bagaimana..." Wendy kembali terisak
"Sudah... sudah... mulai saat ini, kamu tinggal di rumahku. Ibuku pasti senang kalau kamu bisa tinggal bersama kami!"
"Bagaimana dengan mama?"
"It's okay...biar nanti aku yang bicara dengan mama mu!" Aku genggam tangan Wendy, mencoba mentransfer sebagian rasa hangat pada jemarinya yang membeku.
Secara tidak langsung, peristiwa penyiksaan yang dialami Wendy menjadi sebuah komitmen yang tersirat dalam benakku bahwa suatu saat aku harus melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak di lingkungan terdekatku.
*****
1984, Howard University
Langkahku sedikit tergesa saat menyusuri ruas jalan Georgia Ave yang hari itu nampak lengang. Di persimpangan, aku berbelok menyusuri trotoar yang sedikit menanjak. Tinggal beberapa langkah lagi, bisikku pelan. Mataku tertuju pada gerbang batu bata merah, Howard University yang sudah terlihat di ujung jalan. Sedikit berlari, aku menyebrangi 61th street yang penuh dengan mobil yang terparkir.
Pfiuuh!Â
Aku mendengus saat butir peluh berebut membasahi dahi dan ujung hidung. Cuaca bulan Juni di Washington sungguh amat cerah. Saking cerahnya aku merasa matahari adalah amoeba yang telah membelah menjadi beberapa buah.
Hari ini adalah jadwal pertemuan rutin anggota Komunitas Perempuan Berwarna. Aku begitu bersemangat setiap kali aku bergabung dan bertukar pikiran dengan mereka. Aku seperti bertemu dengan saudara kandung yang selama ini selalu tersisih oleh lingkungan sekitar. Banyak hal yang kami bicarakan, terutama tentang kehidupan kami sebagai perempuan dengan kulit berwarna.
Tak lama, langkahku terhenti di depan sebuah ruangan yang tak jauh dari kantor Unit Kegiatan Mahasiswa. Tak begitu banyak mahasiswa yang hari ini datang ke kampus. Sebagian dari mereka sudah mulai memasuki masa liburan semester musim panas.
Huffhh...Â
Sejenak aku lap bulir-bulir keringat yang sedari tadi tak berhenti membasahi dahi dan wajahku. Perlahan aku mencoba mengatur nafas yang terasa tersenggal. Lalu dengan pangkal lengan, ku dorong perlahan pintu yang tertutup.
"Haii Padma... aku pikir hari ini kamu tidak bisa datang!" suara Marianne terdengar berseru menyambut kedatanganku.
"Haloo... sorry kalau aku sedikit terlambat. Tadi aku harus membantu tetanggaku yang akan melahirkan," jelasku penuh sesal. Sekilas aku melihat, ada sekitar 20 orang anggota Komunitas Perempuan Berwarna yang hari ini berkumpul. Semuanya adalah mahasiswi dari berbagai fakultas di Howard University, dengan latar belakang sama.
"It's okay... justru kami senang mendengar kalau hari ini kamu sudah melakukan hal yang begitu membanggakan!" balas Marianne dengan penuh antusias.
"Thank you, Marianne..."
Aku segera menuju ke sebuah bangku kosong tak jauh dari tempat Marianne berdiri. Di deretan meja yang berbaris di sisi ruangan, aku melihat ada sekitar seratus bungkusan berupa sandwich dan air mineral. Rencananya hari ini kami akan membagikan makanan itu kepada para homeless yang banyak tinggal di tepi batas. Penuh haru, mataku menyapu semua yang hadir. Di ruangan ini, ada dua puluh pasang mata yang penuh oleh kobaran semangat. Teramat sukar untuk aku gambarkan. Lalu mataku beralih pada sebuah bingkai yang tergantung tak jauh dari meja sekretariat. Pelan aku membaca sebuah kutipan yang tertulis pada bingkai itu.
"We are just women... Even though we're born with a small step but we have a wide heart"
Ya, meski komunitas ini beranggotakan para perempuan, banyak hal yang telah kami lakukan. Sejauh ini selain menjadi relawan yang rutin memberikan makanan dan minuman gratis bagi para homeless, kami juga membuka layanan untuk membantu para mahasiswi yang mengalami perudungan dan pelecehan. Kami semua bergandengan tangan dan saling menguatkan satu sama lain
"Di tempat ini, kita semua adalah perempuan-perempuan hebat. Di sini kita bisa belajar untuk menggali apa potensi kita. Dan suatu saat, diharapkan potensi itu akan menjadikan kita sebagai pemimpin buat negeri ini dan juga buat dunia," pesan Marianne senantiasa terngiang.
Pesan itu begitu terpatri dan kerap menjadi suluh yang menerangi setiap kali aku merasa duniaku menjadi gelap.
****
1990, Alameda County, California
      "Bukan sebuah kebetulan kalau kita terlahir sebagai perempuan. Dan juga bukan sebuah kebetulan jika kita pun terlahir sebagai bagian dari bangsa dunia ketiga," kata ibu suatu waktu. Aku berusaha mencerna apa maksud dari kata-kata ibu saat itu. Hanya saja aku tahu, suatu hal yang tak mudah bagi ibu yang harus membesarkan aku dan adikku, dengan kenyataan bahwa kami adalah bangsa minoritas di sebuah negeri adidaya. Itulah kenapa sejak kecil, kami berdua dididik untuk menjadi pribadi yang tangguh dan berani.
 "Kalau kita tidak punya keberanian untuk berdiri, membela diri sendiri, kita akan menjadi bagian dari puzzle yang berserak tak berharga," kata-kata ibu selalu terngiang manakala aku merasa dunia memperlakukanku dengan tidak adil.
Aku ingat betul, suatu waktu saat aku masih bersekolah di kindergarten, aku selalu maju paling depan jika ada salah satu temanku sesama kulit hitam yang mengalami perudungan. Kalau ingat itu, terkadang aku takjub dengan keberanian yang aku miliki. Tapi sebagai manusia terkadang aku pun ikut lelah saat pilar penopang rasa percaya diri yang selama ini selalu ibu tanamkan, luluh lantak tergerus lara.
"Ingat Padma, saat berjalan, tegakkanlah wajahmu. Tatap lurus ke depan agar semua orang di sekelilingmu melihat betapa istimewanya kamu!" pesan ibu saat aku mengeluhkan akan ketidakadilan yang kerap aku alami.
"Tapi itu sungguh sulit, Bu!" Aku mendesah. Ada sebongkah batu yang mendesak dalam dadaku.
"Tuhan tidak pernah menciptakan kata sulit jika kita tidak mengenal kata menyerah!" sanggah ibu.
"Tetap saja aku tidak bisa menjadi bagian dari dunia ini, Bu!"
"Heeyy.... Kamu adalah dunia itu, Padma! Kamulah yg menggenggam dunia itu!" Ibu menatapku dengan manik yang dipenuhi kobaran semangat. Seperti biasa, di saat petuah dan kata-kata penyemangat meluncur dari celah bibirnya, tangan ibu tak pernah lepas membelai kepalaku. Ada aliran hangat yang aku rasa, setiap kali ibu berbuat seperti itu.
Tapi entahlah... saat aku terpuruk, rasanya aku tidak begitu memerlukan kata-kata penyemangat. Aku hanya ingin menghilang. Bahkan jika bumi hendak menelanku, aku akan pasrah tanpa berontak.
"Kamu tahu kenapa ayahmu menamai kamu Padma?" tanya ibu. Sejenak tangan ibu berhenti membelaiku. Aku menggeleng.
"Karena Padma adalah simbol sebuah semangat. Dan Padma adalah bunga yang tumbuh dengan indah meski ia hidup di air yang sangat keruh," jelas ibu. "Kamu pun semestinya begitu. Meski kamu terlahir sebagai bagian dari bangsa berkulit gelap, Tuhan sudah menakdirkan kamu untuk terlahir dengan begitu indah."
Aku terdiam tanpa kuasa untuk menyela. Semua yang ibu ucapkan adalah benar. Dan kebenaran itu justru membuatku semakin merasa gamang.
*****
2003, San Fransisco, USA
      Sudut mataku sekilas melihat ke arah ibu yang duduk di kursi deretan paling depan. Ibu terlihat cantik dengan saree berwarna biru cerah. Ada segaris senyum yang tak lepas dari bibirnya. Tak lama, pembawa acara mempersilahkan aku untuk berdiri di depan podium. Hari itu ruangan hakim agung dipenuhi oleh para tamu undangan dan beberapa jurnalis lokal. Aku berdiri penuh percaya diri, di hadapan hakim agung. Seorang pastur membawakan sebuah Alkitab dan berdiri tepat di sebelah kananku.
"Ingat Padma, saat berjalan, tegakkanlah wajahmu. Tatap lurus ke depan agar semua orang di sekelilingmu melihat betapa istimewanya kamu!" kembali kata-kata ibu terngiang di telingaku. Dengan tegas dan lugas, di hadapan hakim agung dan para tamu undangan aku mengucapkan sumpahku sebagai jaksa untuk distrik San Fransisco.
Setelah prosesi pelantikan selesai, bergegas aku menghampiri ibu. Mata ibu terlihat berkaca-kaca. Bibirnya bergetar penuh haru.
"Terima kasih, Bu... pencapaian ini aku persembahkan untukmu!" aku berbisik pelan tepat di telinga wanita tua itu. Tangan ibu merengkuhku dengan erat. Tanpa kata-kata, ibu hanya mengelus rambutku seperti biasanya.
*****
(Cerita ini terinspirasi dari perjuangan seorang Kamala Devi Harris, wanita pertama berkulit hitam yang terpilih sebagai Wakil Presiden Amerika mendampingi Presiden Joe Biden)
(cerpen ini pernah diikut sertakan pada lomba menulis cerpen yang diselenggarakan oleh IIK Bhakti Wiyata tahun 2022)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H