Sejenak aku lap bulir-bulir keringat yang sedari tadi tak berhenti membasahi dahi dan wajahku. Perlahan aku mencoba mengatur nafas yang terasa tersenggal. Lalu dengan pangkal lengan, ku dorong perlahan pintu yang tertutup.
"Haii Padma... aku pikir hari ini kamu tidak bisa datang!" suara Marianne terdengar berseru menyambut kedatanganku.
"Haloo... sorry kalau aku sedikit terlambat. Tadi aku harus membantu tetanggaku yang akan melahirkan," jelasku penuh sesal. Sekilas aku melihat, ada sekitar 20 orang anggota Komunitas Perempuan Berwarna yang hari ini berkumpul. Semuanya adalah mahasiswi dari berbagai fakultas di Howard University, dengan latar belakang sama.
"It's okay... justru kami senang mendengar kalau hari ini kamu sudah melakukan hal yang begitu membanggakan!" balas Marianne dengan penuh antusias.
"Thank you, Marianne..."
Aku segera menuju ke sebuah bangku kosong tak jauh dari tempat Marianne berdiri. Di deretan meja yang berbaris di sisi ruangan, aku melihat ada sekitar seratus bungkusan berupa sandwich dan air mineral. Rencananya hari ini kami akan membagikan makanan itu kepada para homeless yang banyak tinggal di tepi batas. Penuh haru, mataku menyapu semua yang hadir. Di ruangan ini, ada dua puluh pasang mata yang penuh oleh kobaran semangat. Teramat sukar untuk aku gambarkan. Lalu mataku beralih pada sebuah bingkai yang tergantung tak jauh dari meja sekretariat. Pelan aku membaca sebuah kutipan yang tertulis pada bingkai itu.
"We are just women... Even though we're born with a small step but we have a wide heart"
Ya, meski komunitas ini beranggotakan para perempuan, banyak hal yang telah kami lakukan. Sejauh ini selain menjadi relawan yang rutin memberikan makanan dan minuman gratis bagi para homeless, kami juga membuka layanan untuk membantu para mahasiswi yang mengalami perudungan dan pelecehan. Kami semua bergandengan tangan dan saling menguatkan satu sama lain
"Di tempat ini, kita semua adalah perempuan-perempuan hebat. Di sini kita bisa belajar untuk menggali apa potensi kita. Dan suatu saat, diharapkan potensi itu akan menjadikan kita sebagai pemimpin buat negeri ini dan juga buat dunia," pesan Marianne senantiasa terngiang.
Pesan itu begitu terpatri dan kerap menjadi suluh yang menerangi setiap kali aku merasa duniaku menjadi gelap.
****