Mohon tunggu...
Maureen Assyifa Agnimaya
Maureen Assyifa Agnimaya Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Saya seorang pelajar di salah satu SMA negeri di Bandung. Sebenarnya cita-cita saya adalah menjadi seorang fashion designer karena saya suka sekali menggambar. Saya juga suka menulis cerpen, dan beberapa kali pernah menjadi juara menulis cerpen di berbagai lomba. Di media ini, saya akan menitipkan cerpen-cerpen yang pernah saya ikut sertakan dalam lomba menulis. Semoga menjadi inspirasi buat siapapun yang mencari referensi menulis cerita yang sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Padma

20 Juni 2023   09:21 Diperbarui: 20 Juni 2023   09:32 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

1990, Alameda County, California

            "Bukan sebuah kebetulan kalau kita terlahir sebagai perempuan. Dan juga bukan sebuah kebetulan jika kita pun terlahir sebagai bagian dari bangsa dunia ketiga," kata ibu suatu waktu. Aku berusaha mencerna apa maksud dari kata-kata ibu saat itu. Hanya saja aku tahu, suatu hal yang tak mudah bagi ibu yang harus membesarkan aku dan adikku, dengan kenyataan bahwa kami adalah bangsa minoritas di sebuah negeri adidaya. Itulah kenapa sejak kecil, kami berdua dididik untuk menjadi pribadi yang tangguh dan berani.

 "Kalau kita tidak punya keberanian untuk berdiri, membela diri sendiri, kita akan menjadi bagian dari puzzle yang berserak tak berharga," kata-kata ibu selalu terngiang manakala aku merasa dunia memperlakukanku dengan tidak adil.

Aku ingat betul, suatu waktu saat aku masih bersekolah di kindergarten, aku selalu maju paling depan jika ada salah satu temanku sesama kulit hitam yang mengalami perudungan. Kalau ingat itu, terkadang aku takjub dengan keberanian yang aku miliki. Tapi sebagai manusia terkadang aku pun ikut lelah saat pilar penopang rasa percaya diri yang selama ini selalu ibu tanamkan, luluh lantak tergerus lara.

"Ingat Padma, saat berjalan, tegakkanlah wajahmu. Tatap lurus ke depan agar semua orang di sekelilingmu melihat betapa istimewanya kamu!" pesan ibu saat aku mengeluhkan akan ketidakadilan yang kerap aku alami.

"Tapi itu sungguh sulit, Bu!" Aku mendesah. Ada sebongkah batu yang mendesak dalam dadaku.

"Tuhan tidak pernah menciptakan kata sulit jika kita tidak mengenal kata menyerah!" sanggah ibu.

"Tetap saja aku tidak bisa menjadi bagian dari dunia ini, Bu!"

"Heeyy.... Kamu adalah dunia itu, Padma! Kamulah yg menggenggam dunia itu!" Ibu menatapku dengan manik yang dipenuhi kobaran semangat. Seperti biasa, di saat petuah dan kata-kata penyemangat meluncur dari celah bibirnya, tangan ibu tak pernah lepas membelai kepalaku. Ada aliran hangat yang aku rasa, setiap kali ibu berbuat seperti itu.

Tapi entahlah... saat aku terpuruk, rasanya aku tidak begitu memerlukan kata-kata penyemangat. Aku hanya ingin menghilang. Bahkan jika bumi hendak menelanku, aku akan pasrah tanpa berontak.

"Kamu tahu kenapa ayahmu menamai kamu Padma?" tanya ibu. Sejenak tangan ibu berhenti membelaiku. Aku menggeleng.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun