"Karena Padma adalah simbol sebuah semangat. Dan Padma adalah bunga yang tumbuh dengan indah meski ia hidup di air yang sangat keruh," jelas ibu. "Kamu pun semestinya begitu. Meski kamu terlahir sebagai bagian dari bangsa berkulit gelap, Tuhan sudah menakdirkan kamu untuk terlahir dengan begitu indah."
Aku terdiam tanpa kuasa untuk menyela. Semua yang ibu ucapkan adalah benar. Dan kebenaran itu justru membuatku semakin merasa gamang.
*****
2003, San Fransisco, USA
      Sudut mataku sekilas melihat ke arah ibu yang duduk di kursi deretan paling depan. Ibu terlihat cantik dengan saree berwarna biru cerah. Ada segaris senyum yang tak lepas dari bibirnya. Tak lama, pembawa acara mempersilahkan aku untuk berdiri di depan podium. Hari itu ruangan hakim agung dipenuhi oleh para tamu undangan dan beberapa jurnalis lokal. Aku berdiri penuh percaya diri, di hadapan hakim agung. Seorang pastur membawakan sebuah Alkitab dan berdiri tepat di sebelah kananku.
"Ingat Padma, saat berjalan, tegakkanlah wajahmu. Tatap lurus ke depan agar semua orang di sekelilingmu melihat betapa istimewanya kamu!" kembali kata-kata ibu terngiang di telingaku. Dengan tegas dan lugas, di hadapan hakim agung dan para tamu undangan aku mengucapkan sumpahku sebagai jaksa untuk distrik San Fransisco.
Setelah prosesi pelantikan selesai, bergegas aku menghampiri ibu. Mata ibu terlihat berkaca-kaca. Bibirnya bergetar penuh haru.
"Terima kasih, Bu... pencapaian ini aku persembahkan untukmu!" aku berbisik pelan tepat di telinga wanita tua itu. Tangan ibu merengkuhku dengan erat. Tanpa kata-kata, ibu hanya mengelus rambutku seperti biasanya.
*****
(Cerita ini terinspirasi dari perjuangan seorang Kamala Devi Harris, wanita pertama berkulit hitam yang terpilih sebagai Wakil Presiden Amerika mendampingi Presiden Joe Biden)
(cerpen ini pernah diikut sertakan pada lomba menulis cerpen yang diselenggarakan oleh IIK Bhakti Wiyata tahun 2022)