"Iya, benar!"
"Duuh, apa yang ada dalam pikiran manusia sampai mereka bisa berbuat sejahat itu?"
"Mereka membawa petaka bagi mahluk-mahluk seperti kita!"
"Dunia sekarang sudah tak lagi sama!"
Suara rangkong-rongkong itu semakin bercericit saling menimpal penuh marah. Aku yang menguping dari tadi, ikut tersulut emosi. Kabar ini bukan sekali dua kali aku dengar. Pernah beberapa waktu lalu, sekawanan musang akar yang tengah beristirahat tak jauh dari tempatku, juga mengeluhkan hal yang sama.
Kata mereka, hutan di hulu sekarang sudah gundul. Banyak pohon-pohon yang ditebang dan dibakar. Mulanya aku tak mengerti maksud mereka. Namun saat aku mendongak, dari jauh pucuk gunung Balayang terlihat semakin kering kecoklatan. Aku berusaha memicingkan pandang di antara rimbunan daun dan gumpalan awan. Benar, semua sudah tak lagi sama! Tak seperti ratusan tahun yang lalu, saat pertama kali aku berdiri di tempat ini.
******
Sepertinya aku lupa, sejak kapan aku berada di sini. Tapi aku menyukai tempat baruku. Suasananya hangat. Kata ibu, tanah di sekitarku sangat subur. Terlihat dari banyaknya tanaman perdu dan pakis yang menjalar saling berebut dengan semak yang rimbun. Anggrek hutan dengan kelopak bunganya yang kecil-kecil sesekali terlihat menyembul di balik belukar. Batang-batang rotan melilit pada pokok pohon. Duri tajamnya tanpa sungkan menempel dengan santai di permukaan dahan. Â Saat hujan turun, aroma mawar hutan, menyeruak bersama harumnya akar-akar rumput.
"Aaah....!"
Aku menghela nafas panjang. Membiarkan udara menyesaki dada. Tangan-tanganku, sengaja aku biarkan terentang. Segar sekali rasanya!
"Heii... kamu baru ya tinggal di sini?" tiba-tiba ada suara lirih bertanya ke arahku. Aku melirik ke arah sumber suara. Tak jauh dari tempatku berdiri, sebatang pohon kenari menatapku dengan ramah. Tingginya tak lebih dari sepantaranku. Hanya saja daunnya yang berwarna hijau muda, nampak rimbun tersusun pada ranting yang menjulur di ujung batangnya.