Di suatu pagi, sekawanan rangkong asyik bertengger di salah satu cabang pohon kenari. Jaraknya tak jauh dari tempatku berdiri. Suara cericitnya bersahutan dengan suara bekantan yang terdengar sayup-sayup di kejauhan.
"Kalian sudah mendengar berita hari ini?" tanya seekor rangkong yang paruhnya paling panjang. Surai hitamnya mengkilat terkena pantulan matahari yang menerobos pada celah daun.
"Berita apa?" beberapa rangkong balik bertanya.
"Tadi malam, di hulu telah terjadi badai. Banyak pohon di hutan sekitar, bertumbangan. Aliran sungai tak jauh dari hutan itu juga meluap, bahkan tebing-tebing pun ikut longsor," cerita rangkong paruh panjang.
"Kasihan! Teman-teman kita yang tinggal di sana, sebagian mati tertimpa pohon, malahan ada yang hilang terseret arus banjir," lanjutnya kemudian.
"Ya Tuhan! Tak terbayang bagaimana paniknya mereka tadi malam," timpal kawanan rangkong yang lain penuh kengerian.
"Dengar-dengar, semua karena ulah manusia!" suara rangkong paruh panjang mendesis, setengah berbisik.
"Haah!" rangkong yang lainnya memekik bersamaan.
"Mereka berulah apa lagi?" tanya salah satu rangkong dengan paruh yang terangkat dan mata membelalak kesal.
"Hutan di hulu telah mereka babat. Kawanan orangutan dan binatang lainnya entahlah bagaimana nasib mereka sekarang. Tapi yang pasti, gara-gara pohon di hutan itu mereka tebangi, otomatis saat hujan tiba, bukit di atasnya menjadi longsor," jelas rangkong paruh panjang.
"Jahat sekali mereka!"