Di suatu pagi, sekawanan rangkong asyik bertengger di salah satu cabang pohon kenari. Jaraknya tak jauh dari tempatku berdiri. Suara cericitnya bersahutan dengan suara bekantan yang terdengar sayup-sayup di kejauhan.
"Kalian sudah mendengar berita hari ini?" tanya seekor rangkong yang paruhnya paling panjang. Surai hitamnya mengkilat terkena pantulan matahari yang menerobos pada celah daun.
"Berita apa?" beberapa rangkong balik bertanya.
"Tadi malam, di hulu telah terjadi badai. Banyak pohon di hutan sekitar, bertumbangan. Aliran sungai tak jauh dari hutan itu juga meluap, bahkan tebing-tebing pun ikut longsor," cerita rangkong paruh panjang.
"Kasihan! Teman-teman kita yang tinggal di sana, sebagian mati tertimpa pohon, malahan ada yang hilang terseret arus banjir," lanjutnya kemudian.
"Ya Tuhan! Tak terbayang bagaimana paniknya mereka tadi malam," timpal kawanan rangkong yang lain penuh kengerian.
"Dengar-dengar, semua karena ulah manusia!" suara rangkong paruh panjang mendesis, setengah berbisik.
"Haah!" rangkong yang lainnya memekik bersamaan.
"Mereka berulah apa lagi?" tanya salah satu rangkong dengan paruh yang terangkat dan mata membelalak kesal.
"Hutan di hulu telah mereka babat. Kawanan orangutan dan binatang lainnya entahlah bagaimana nasib mereka sekarang. Tapi yang pasti, gara-gara pohon di hutan itu mereka tebangi, otomatis saat hujan tiba, bukit di atasnya menjadi longsor," jelas rangkong paruh panjang.
"Jahat sekali mereka!"
"Iya, benar!"
"Duuh, apa yang ada dalam pikiran manusia sampai mereka bisa berbuat sejahat itu?"
"Mereka membawa petaka bagi mahluk-mahluk seperti kita!"
"Dunia sekarang sudah tak lagi sama!"
Suara rangkong-rongkong itu semakin bercericit saling menimpal penuh marah. Aku yang menguping dari tadi, ikut tersulut emosi. Kabar ini bukan sekali dua kali aku dengar. Pernah beberapa waktu lalu, sekawanan musang akar yang tengah beristirahat tak jauh dari tempatku, juga mengeluhkan hal yang sama.
Kata mereka, hutan di hulu sekarang sudah gundul. Banyak pohon-pohon yang ditebang dan dibakar. Mulanya aku tak mengerti maksud mereka. Namun saat aku mendongak, dari jauh pucuk gunung Balayang terlihat semakin kering kecoklatan. Aku berusaha memicingkan pandang di antara rimbunan daun dan gumpalan awan. Benar, semua sudah tak lagi sama! Tak seperti ratusan tahun yang lalu, saat pertama kali aku berdiri di tempat ini.
******
Sepertinya aku lupa, sejak kapan aku berada di sini. Tapi aku menyukai tempat baruku. Suasananya hangat. Kata ibu, tanah di sekitarku sangat subur. Terlihat dari banyaknya tanaman perdu dan pakis yang menjalar saling berebut dengan semak yang rimbun. Anggrek hutan dengan kelopak bunganya yang kecil-kecil sesekali terlihat menyembul di balik belukar. Batang-batang rotan melilit pada pokok pohon. Duri tajamnya tanpa sungkan menempel dengan santai di permukaan dahan. Â Saat hujan turun, aroma mawar hutan, menyeruak bersama harumnya akar-akar rumput.
"Aaah....!"
Aku menghela nafas panjang. Membiarkan udara menyesaki dada. Tangan-tanganku, sengaja aku biarkan terentang. Segar sekali rasanya!
"Heii... kamu baru ya tinggal di sini?" tiba-tiba ada suara lirih bertanya ke arahku. Aku melirik ke arah sumber suara. Tak jauh dari tempatku berdiri, sebatang pohon kenari menatapku dengan ramah. Tingginya tak lebih dari sepantaranku. Hanya saja daunnya yang berwarna hijau muda, nampak rimbun tersusun pada ranting yang menjulur di ujung batangnya.
"Ehh... iya!" aku tergagap. Pohon kenari itu terlihat cantik. Sepertinya tadi, tanpa sengaja jemariku menyentuh ujung rantingnya saat tanganku terentang.
"Maaf, pasti kamu kaget karena tadi tak sengaja aku sentuh," sesalku.
"Tak apa... aku juga suka merentangkan tangan seperti kamu!" balasnya sambil ikut merentangkan tangan-tangannya sejauh mungkin. Pohon itu tertawa. Aku pun begitu. Akhirnya kami berdua saling merentangkan tangan diikuti tawa kami yang berderai.
Sejak saat itu, aku dan pohon kenari menjadi dua sahabat. Berbagai cerita kami lalui bersama-sama. Hingga akhirnya kamu tumbuh menjulang dengan pucuk dedaunan yang menembus gumpalan awan. Sesekali kami saling berteriak, manakala kami menyaksikan hal-hal seru dari atas sana. Setiap sore kami melihat sekawanan burung jalak yang terbang rendah. Terkadang kami juga melihat kawanan burung gajahan yang tengah bermigrasi dari arah utara. Di kejauhan, samar-samar terlihat puncak gunung Balayang yang berselimut kabut. Kadang kami berceloteh, bagaimana rasanya menjadi gunung.
"Pasti dingin!" kata pohon kenari.
"Hmm... kalau kataku sih, pasti bosan!" timpalku.
"Kok bosan? Bukannya jadi gunung itu mengasyikan?" tanya pohon kenari heran.
"Bosan lah... lihat saja, dia berdiri di sana setiap hari tanpa ada teman!" selorohku, lalu pohon kenari terbahak mendengarnya.
"Iya benar katamu! Kalau kita kan seru, di sini banyak teman. Ada kamu, ada pohon tengkawang, banyak sekali teman-teman kita!" pohon kenari berseru di antara tawanya.
"Sstt... jangan lupa sama pohon ulin tua yang sekarang tengah manggut-manggut di pojok sana!" aku berbisik sambil menunjuk ke arah pohon ulin yang terkantuk tak jauh dari tempat kami berdiri. Pohon kenari menoleh ke arah yang aku tunjuk, lalu kami terbahak. Beberapa tawau yang tengah asyik mencacah biji kenari, sontak terbang karena terkejut mendengar tawa kami.
Begitulah, setiap hari selalu ada saja cerita yang membingkai memori kami. Hingga pada suatu hari, kami melihat ada sebuah burung besar yang terbang rendah di balik awan. Suaranya terdengar aneh. Menderu bagai nafas binatang yang tengah berlari. Burung itu sendirian. Mungkin itu sejenis burung elang. Atau rangkong raksasa, pikirku.
"Burung apa itu?" tanyaku pada pohon kenari yang sama-sama terheran menyaksikan burung itu terbang. Sepertinya ini pertama kali kami melihat burung itu.
"Burung garuda mungkin..." jawab pohon kenari setengah berbisik. Suaranya tenggelam oleh deruan burung raksasa itu. Burung itu terbang begitu cepat. Meninggalkan rasa takjub dan aneh yang bergelayut dalam asa kami. Pandang kami masih terpaku, hingga burung itu berubah menjadi titik dan menghilang.
"Aku rasa, sebentar lagi kita akan kiamat!" seloroh pohon kenari kemudian. Suaranya pelan.
"Ah... kamu ada-ada saja!" aku terkikik mendengarnya.
"Kata ibu, dunia akan kiamat kalau mulai banyak mahluk-mahluk asing yang tiba-tiba muncul," jelas pohon kenari. Suaranya terdengar serius tak seperti biasanya.
"Tidak mungkin lah ada kiamat. Lihat saja gunung Balayang! Dia masih gagah berdiri mengawasi kita," elakku sambil menunjuk ke arah gunung balayang di kejauhan. Pohon kenari tak bereaksi. Dia terdiam penuh kecemasan.
******
Beberapa minggu yang lalu, kami berdua dikejutkan oleh kedatangan segerombolan bekantan. Mereka berlarian dari satu ranting ke ranting berikutnya. Tak lama mereka berhenti tepat di sebuah batang pohon tengkawang, tak jauh dari kami. Lalu mereka berteriak. Lengkingannya memekakan telinga. Memenuhi sudut-sudut hutan yang pekat tertutup kabut.
"Gawaaat... ini sungguh mengerikan!" seekor bekantan betina berteriak ribut, sambil sesekali dia terisak. Tangan kanannya mendekap anaknya dengan erat, sementara tangan kirinya kuat mencengkram ranting pohon tengkawang. Beberapa bekantan betina lainnya mencoba menenangkan.Â
Tak jauh dari mereka, bekantan jantan nampak berjaga mengelilingi anggota kelompoknya. Ada sekitar 20 bekantan yang hari itu kami lihat. Sepertinya mereka tengah mengalami masa-masa sulit. Entahlah, aku sendiri tak berani bertanya ada apa gerangan dengan mereka. Pohon kenari yang berdiri tepat di depanku, menatapku penuh tanya. Aku mengedikan bahu tanda tak tahu. Lalu kami berdua kembali terdiam, mencoba mencuri dengar pembicaraan para bekantan itu.
"Kamu tadi lihat kan, bagaimana tetua mati?" tanya seekor bekantan jantan kepada salah satu temannya.
"Iya!"
"Aku juga melihat, tetua mati sesaat setelah bunyi "dorr!" menggelegar," sahut seekor bekantan lain.
"Bunyi apa itu?" tanya bekantan betina yang tadi terisak.
"Aku tak tahu, tapi suaranya begitu cepat melesat ke arah tetua. Dan tak lama tetua berteriak, lalu terjatuh dengan darah berlumuran," jelas salah seekor bakantan jantan menjelaskan.
"Makanya tadi aku bergegas mengajak kalian melarikan diri ka arah sini," lanjut bekantan itu kemudian.
"Ya Tuhan, sepertinya kita mau kiamat! Sudah mulai banyak mahluk-mahluk jahat yang muncul di muka bumi ini," pekik bekantan betina dengan gusar. Kembali dia terisak diikuti oleh bekantan betina lainnya. Suara ribut kembali memenuhi hutan. Aku dan pohon kenari saling menatap. Antara takut dan bingung, kami berdua tergugu tanpa kutik.
******
"Tuh kan, apa aku bilang. Dunia sepertinya mau kiamat!" seru pohon kenari, sesaat setelah gerombolan bekantan itu meninggalkan kami. Aku membisu. Rasanya sulit menjabarkan apa yang tengah berkecamuk dalam pikirku. Aku berusaha mengingat-ingat hal apa saja yang pernah diceritakan ibu kepadaku. Seingatku, ibu dulu tak pernah bercerita tentang kiamat.
"Di dunia ini, kita tidak tinggal sendiri. Banyak makhluk lain yang Tuhan ciptakan untuk hidup bersama kita. Mereka beragam. Ada yang baik dan banyak juga yang jahat," begitu kata ibu.
"Yang jahat itu, yang nakal suka berteriak-teriak ya Bu?" tanyaku. Ibu terkekeh.
"Macam-macam, Nak! Ada yang suka berteriak-teriak, dan ada juga yang suka merusak dan mencuri," jelas ibu.
Aku tak mengerti maksud ibu. Menurutku, teman-teman di sekitarku baik semua. Mereka suka bercerita dan bernyanyi. Bahkan sekelompok burung tiong-batu pernah berjanji akan membawaku menuju tempat baru. Tempat yang hangat dan nyaman, begitu katanya. Aku tak sabar untuk segera pergi ke tempat itu.
Sampai akhirnya, saat aku telah siap untuk pergi meninggalkan ibu, beberapa tiong-batu datang menjemputku.
"Hati-hati ya Nak! Jaga diri baik-baik di tempat barumu. Ingat kata ibu, di mana pun kamu tinggal, kamu akan bertemu dengan makhluk yang beragam. Jadilah pohon meranti yang kuat dan bermanfaat bagi sekitar," nasihat ibu mengiringi kepergianku. Dan nasihat itu selalu terngiang hingga kini. Tapi rasanya, ibu tak pernah sekalipun bercerita tentang kiamat!
"Kalau ternyata benar dunia ini kiamat, apa yang harus kita lakukan?" sekonyong-konyong pohon kenari bertanya, membuyarkan lamunanku akan nasihat ibu untuk terakhir kalinya.
Aaah.... Entahlah!
Aku mengedikan bahu. Belum terpikirkan dalam benakku apa yang akan aku lakukan jika benar dunia akan kiamat. Namun sesungguhnya bagi makhluk seperti kami, kedatangan makhluk lain yang merusak sudah merupakan sebuah kiamat.
Sepertinya aku akan tetap berusaha untuk menjadi pohon meranti yang kuat dan bermanfaat - seperti kata ibu - sampai kiamat benar-benar datang memporak porandakan tempat tinggalku. Hanya itu!
******
Keterangan :
Rangkong = sebutan lain dari burung enggang (Bucerotidae/buceros -- nama latin), burung khas pulau Kalimantan. Burung ini memiliki paruh yang menyambung dengan tanduk yang menutupi dahinya.
Pohon Ulin = sebutan lain dari pohon kayu besi (Eusideroxylon zwageri -- nama latin), pohon khas pulau Kalimantan yang berserat kayu sangat kuat.Â
Tawau (Chlamydochaera jefferyi -- nama latin) = salah satu burung khas pulau Kalimantan. Burung ini berwarna abu gelap dengan bercak hitam pada dadanya. Banyak terdapat di sekitar gunung Kinabalu dan Taman Nasional Baka-Bukit Raya.
Bekantan = monyet hidung panjang (Nasalis larvatus -- nama latin), binatang khas pulau Kalimantan.
Tetua = ketua/sebutan untuk ketua kelompok.Â
Tiong-batu (Pityriasis gymnocephala -- nama latin) = salah satu burung khas dari pulau Kalimantan. Burung ini hidup di hutan-hutan dataran rendah sekitar pulau Kalimantan.
(cerpen ini pernah diikut sertakan dalam lomba menulis cerpen MAPK Solo 2023 tk. SMA/MA se-Indonesia dan keluar menjadi juara kedua)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H