Mohon tunggu...
masrierie
masrierie Mohon Tunggu... Freelancer - sekedar berbagi cerita

menulis dalam ruang dan waktu, - IG@sriita1997 - https://berbagigagasan.blogspot.com, - YouTube @massrieNostalgiaDanLainnya (mas srie)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mahadewi

17 Juni 2022   15:21 Diperbarui: 30 Juni 2022   12:14 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelarian Mahadewi

Mahadewi  menyelinap di antara rimbun dedaunan . Samar sayup gemericik air mengucur dari pancuran bambu, mengalir bening dalam liukan sungai. Rumpun bunga  semarak warna putih membingkai tepian sungai. Bebatuan hitam kemilau  tertimpa sinar rembulan.

Rimbun dedaunan menebar aroma  sejagad malam. Semesta  pegunungan dan kabut berarak  perlahan. Langit hitam kemerahan  sebab purnama tengah berpendar.

Mahadewi merasakan dingin menusuk belulangnya. Kadang tubuhnya sempoyongan dalam gulungan angin dan kabut.

Warna indah dari langit tidak mengurangi gemuruh  angin yang membuat  perasaannya tercekam,  serta jemarinya mengepal. Bibirnya bergetar dan menggigil.

 

Langkahnya menerobos ilalang  di bawah pepohonan besar. Sebuah pondok  dengan lentera  tua  yang menggantung di depannya. Ia butuh  kehangatan dari sebuah pondok , mencari kehangatan di larut malam.

Kadang bulan dan bintang  terhalangi oleh  gumpalan kabut. Kengerian di malam itu  membuatnya  semakin cepat mendekat  ke arah pintu pondok. Berharap seseorang  membukakan pintu.Dengan mata membasah berurai air mata , ia berteriak berharap seseorang membukakan pintu.

Angin mulai tidak ramah. Desis dedaunan yang bergerak kian kencang, menciptakan ketakutan. Saat seseorang berwajah teduh membukakan pintu. Mahadewi  berlari ke arah pintu, mencari seberkas cahaya dan kehangatan.

"Darimana saja kau Dewi....., angin terlalu keras di luar sana..... ,ayo masuk," wanita berwajah teduh itu mengembangkan senyumnya.

"Ibu....., terimakasih sudah membukakan pintu ini......," seketika ruangan dengan lentera tua itu menjadi benderang.

Lalu ruang kelam itu menjadi cerah. Kokok ayam jantan dan cicit unggas di pepohonan. Wanita itu menyeka airmata yang membasahi wajahnya.

Segelas air nira hangat , tersaji di sebuah batok kelapa. Mahadewi membenahi selendang ungu yang terjuntai di bahu dan menutupi sebagian rambutnya.

"Di luar sana , amat mengerikan. Wanita itu , dia mengejar-ngejarku...., memukuli tubuhku, berteriak memaki. Di luar sana, aku berlari menjauhinya..... Ia menjadi gila oleh amarah.... Aku takut melihat matanya, jeritannya, dan kukunya yang mencengkeram tubuhku.... ," Mahadewi terengah-engah  menuturkan ketakutannya.

"Sabar Nak....., tak akan seorangpun percaya ceritamu..... Jangan ceritakan kepada siapapun,karena bisa jadi kau yang dianggap  gila dan jahat.... Itulah dunia, seorang ibu tak pernah salah, dan seorang anak selalu salah.....," wanita itu menyeka airmata Mahadewi.... lalu mendekapnya hangat, layaknya seorang ibu.

Seketika pondok di belantara itu berubah menjadi sebuah bangunan yang dikitari pepohonan dan taman. Bergidik  , Mahadewi mengamati ruangan sekitarnya.

"Ibu....,ibuuuu....," ia memanggil  wanita tengah baya tadi. Wanita yang selalu ia rindukan dalam kehidupannya. Ia melewati ruang-ruang  sepi di rumah itu.

"Ibu? Kakak, siapa kamu?. Kamu mencari ibuku....... Ibu sedang di dapur......," bocah lelaki  itu menyapa dengan ramah.

"Saya Mahadewi....., maaf sudah merepotkan.... Saya hanya menumpang  berteduh semalam. Namamu siapa Dik? Usiamu berapa? Umur kakak sudah 16 tahun lho."

"Saya Aldar, sekarang 11 tahun Kak," bocah itu tersenyum ramah.

Tak lama terdengar seorang  wanita belia memanggil bocah itu. "Aldar, sarapan dulu Dik," wanita belia itu menghampirinya.

"Lhoooo, ada tamu rupanya. ?"

"Tamu ibuuu, namanya Kakak Mahadewi , Kak Mahadewi, ini Mbak Anjani... Mbakyuku..." Aldar memperkenalkan  Mahadewi kepada wanita itu.

"Kapan datangnya? Mbak tidak tahu menahu ada tamu dari tadi malam ya? Ayo, ibu sudah menyiapkan rendang .Mari , siapa tadi? Mahadewi ? Ayo kita sarapan bareng "

Mahadewi menyusuri lorong di antara kamar-kamar, menuju sebuah ruangan besar. Dimana tersaji hidangan hangat. Ada sebuah vas bunga berisi bunga gladiol, anyelir warna pink, dan bunga sedap malam putih.  Serta daun-daun asparagus.

"Aku suka bunga.... Bunga-bunga.... ," bisik Mahadewi.

Mahadewi mulai duduk di sebuah kursi , ketika semuanya mendadak gelap. Terdengar sebuah jeritan yang membuat telinganya mendenging linu.

Gelap..... Ia terhenyak dan duduk dalam kegelapan. Menyalakan lampu dengan penuh ketakutan. Jam menunjukkan pukul 24.00 tengah malam. Jeritan itu.....

Kemana Aldar dan ibunya, kemana Mbakyunya Aldar Mbak Anjani. Di mana ruang makan yang hangat itu?

Mahadewi terduduk dalam cemas. Ya Tuhan, itu tadi mimpi indah. Mimpi yang seperti kenyataan, dan  sepertinya bukan mimpi. Mahadewi ingat setiap jengkal rumah dalam mimpi itu, dan setiap kata yang indah.

 Bukan sekedar mimpi.

Tiba-tiba, terdengar teriakan kasar ibunya yang memaki-maki ayahnya. Entah bahasa kebun binatang mana lagi yang belum pernah terlontar. Semua serapah meluncur  keras.

 

"Ya Tuhan, tidak, jangan lagi..... ," ia merapatkan selimut ke sekujur tubuhnya.

Dan terjadi kembali. Ibunya menendang-nendang daun pintu, membukanya dengan bantingan keras. Histeris wanita  itu memukulinya. Ayahnya berusaha mencegah, tapi kesulitan. Mahadewi berlari ke arah kebun belakang rumahnya seraya menangis.

Di sudut kebun pepohonan, dua kakak perempuannya sudah bersembunyi sambil sesunggukan. Mereka bertiga ketakutan, memilih  bersembunyi dalam kelam.

"Aku sengsara gara-gara kamu semua ...Aku tidak pernah bahagia  karena menjadi  babu bagi kalian semuaaaa.!!!  Penderitaanku  gara-gara bapak kalian ..... Jangan sembunyiiiii, keluar sini...." Wanita bertubuh kekar itu membawa sapu lidi. Sapu lidi yang biasa ia gunakan  jika memarahi anak-anaknya. Sapu lidi yang biasa menyiksa tubuh Mahadewi, jika ibunya baru saja bertengkar dengan ayahnya. Entah apa tema pertengkaran malam itu.

Lantas kemana ayahnya?

Ayahnya jika sudah bertengkar ,  kurang melindungi Mahadewi. Dan juga kakak-kakaknya.

Tidak lama kemudian terdengar suara deru mobil.

"Oooh....tidaaaak, ayah kita pergi .... Membiarkan kita di sini," tiga gadis itu menangis sesunggukan penuh ketakutan.

Ibunya kurang menyukai anak perempuan. Entah kenapa ia begitu kasar . Ayahnya  seperti biasa, jika sudah bertengkar dengan ibunya, cari aman saja. Sang ayah akan meninggalkan ibunya yang marah-marah dan histeris tanpa penyelesaian apapun.

"Ayah pengecut, pasti dia ke rumah nenek," kakak perempuan Mahadewi berbisik. Ibunya masih menjerit-jerit sambil membanting- banting barang. Kursi dan meja dijungkir balikkan. Dan esok di pagi hari, mereka bertiga sudah harus siap di setrap.

Berdiri diam  , siap dipukuli. Kemudian diharuskan membereskan rumah, menyapu, mengepel, sebelum  berangkat sekolah.

Dengan tubuh letih kesakitan, Mahadewi berjalan kaki menuju sekolah. Matanya sembab, bajunya kusut,  dan ia kerap  merasa rendah diri tiada kepalang di sekolah. Mencoba untuk bisa kembali menjadi anak cerdas , tapi pikirannya seperti terbelenggu oleh luka batin yang berulang  pada masa-masa kecil dan remajanya. 

Sepanjang jalan ia menggerutu tentang ayahnya. Lelaki yang terlalu mendewa-dewakan neneknya, dan membiarkan istrinya bekerja terlalu lelah dan keras.  Ayahnya tak pernah berdaya melindungi dirinya yang kerap jadi pesakitan. Padahal amukan ibunya  kerap disebabkan oleh  pertengkaran dengan ayahnya, bukan karena Mahadewi berbuat kesalahan. Lagipula , sesuatu yang  baik dalam sistem nilai norma pada umumnya, malah sebaliknya dianggap  kesalahan di mata ibunya.

 Mungkin ibunya menjadi pelaku kekerasan, karena ia juga menderita kekerasan. Contoh soal, ibunya dilarang keras memiliki asisten rumah tangga oleh  sang mertua. Sungguh peraturan aneh, entah apa tujuannya.

Sesekali Mahadewi kasihan juga kepada ibunya. Sesekali naluri sebagai anak muncul, ketika masih kecil  melihat ibunya kepayahan mengerjakan semua urusan rumah tangga sendiri. Dan ayahnya dilarang membantu , kata neneknya, itu kerjaan perempuan. Lelaki  sudah lelah keluar rumah, banting tulang mencari nafkah , jauh lebih berat dari tugas seorang istri /ibu.

Tugas perempuan ya mengurus  semua urusan rumah, mengasuh dan mendidik anak, dari A sampai Z. Tidak boleh ada asisten rumah tangga, karena sama saja dengan menyusahkan suami.

Adakalanya Mahadewi berdebat dengan bibinya, adik kandung ayahnya yang tak prnah bosan untuk  nyinyir terhadap ibunya. Tekanan batin kanan kiri depan belakang , yang berkepanjangan membuat ibunda Mahadewi nyaris kehilangan dua per tiga dari kewarasannya.

 Ibunya telah berubah menjadi monster akibat menjadi terlalu lama menjadi  pesakitan bertubi-tubi.

Berdasarkan banyak kesaksian, dulu ibunda Mahadewi seorang wanita lemah lembut yang dinamis. Kreatif, aktif dan menyukai tantangan di organisasi dan perusahaan tempatya bekerja.

Mahadewi tidak percaya ibundanya semasa gadis sangat catik dan lemah lembut. Di hadapannya, hanya ada seorang wanita monster yang siap membantai  anak kandung sendiri.

Tujuh Tahun Kemudian

Mahadewi memilih tinggal di sebuah  wisma  milik perusahan, tempat yang sejuk .  Usianya 23 tahun, pekerjaannya membantu  owner , mengelola sebuah  area rekreasi  besar, lengkap dengan villa, bungalow, dan restoran. Tempat yang penuh dengan rimbun bunga, gemericik air sungai, dan empang-empang teratai.

Kamarnya menghadap ke arah empang dan barisan bambu.

Saat masih kuliah, berkali-kali Mahadewi berkonsultasi kepada seorang psikolog. Meski berat rasanya harus mengeluarkan uang untuk membayar konsultasi yang cukup mahal.

Ia bekerja paruh waktu  sebagai tenaga EO.Atau  sebagai MC di acara-acara  besar.

Kendati Mahadewi  tampil prima di atas panggung, tapi diam-diam , di balik itu ada seonggok  jiwa rapuh remuk redam.

Psikolog itu, Dani,  datang di akhir pekan menemuinya di sebuah wisma yang indah dan sejuk. Lelaki itu sangat dewasa, psikolog klinis muda, yang cukup punya nama.

Meski Dani menaruh hati kepada Mahadewi, namun Dewi tidak menggubrisnya.

Penuturan  Mahadewi tentang Aldra, ibunda Aldra yang penuh kasih sayang. Seakan ibunda Aldra mengobati luka dan menambal ruang sepi di benak Mahadewi. Masa kecil Mahadewiyang merindukan sosok ibu. Semestinya ada ibu yang hadir mengisi masa kecilnya  dengan limpahan kasih sayang. Dahaga akan belaian lembut sang ibu.

Mahadewi bercerita tentang mimpi-mimpi aneh itu, dan persahabatan manisnya dengan Aldra.

"Mereka sudah menyelamatkan hatiku, memadamkan kepedihanku."

"Mereka tidak nyata Dewi....... , itu hanya bayangan yang terbentuk oleh pikiran yang kau ciptakan sendiri.  Sebagai pelarianmu dari Child Abuse yang dilakukan ibumu.....," Dani menjelaskan dengan hati-hati.

Obrolan panjang hari itu , menutup sesie konsultasi Mahadewi. Dani selanjutnya ssecara persuasif, menuturkan harapannya, untuk  mempersunting Mahadewi. Sudah ke berapa kalinya, namun Mahadewi menggelengkan kepala.

"Ada seseorang yang  menunggu janjiku," Mahadewi   menuturkan.

"Aldra lagi .....Dia lagi......Itu hanya halusinasimu saja.  Mungkin aku harus mengarahkanmu ke seorang psikiater,dia sepupuku sendiri...... ada beberapa obat yang harus dikonsumsi," Dani menjelaskan.

"Tidak, Aldra itu nyata... Dia ada, jiwaku memang sakit, tapi pikiranku seht " Mahadewi meyakinkan Dani.

Betul, mimpi tentang Aldra, Mbak Anjani , juga ibunda Aldra.....  terus berulang dalam kehidupan  Mahadewi. Bahkan mimpi itu seperti nyata terjadi. Mahadewi seperti  merasakan dalam sebuah kehidupan yang indah, sebuah keluarga yang damai. Seperti ada dunia dan kehidupan lain, yang hanya ia sendiri merasakannya.

"Aldra itu, pertama kali kukenal,  usianya masih 11 tahun.  Heran...... tapi ia cepat sekali tumbuh dewasa, jadi pemuda matang. Belum lama ini  aku jumpa..... Usianya sudah 32 tahun. Ibunya juga menua , ..... ibu yang baik dan sayang padaku..... seketika menjadi renta.....dan wafat. Mungkin aku jatuh cinta pada Aldra, karena ia kerap menyanjungku...Memanjakanku..... ..Perempuan memang mudah  runtuh karena disanjung, disayang, apalagi dimanjakan......Dia pasti ada di muka bumi ini..... Entah dimana.... Tapi aku sudah  berjanji akan mencarinya, dia menunggu..... " Mahadewi menuturkan  isi hatinya di hadapan Dani.

Dani menggeleng-gelengkan kepala.

"Itu hanya mimpi...," Dani kembali menjelaskan.

"Tadinya memang mimpi, tapi lama kelamaan tidak lagi. Selanjutnya aku tidak mimpi. Aku meninggalkan ragaku, sukmaku yang bertamu ke rumah mereka. Aku disambut dengan kasih sayang.

Aku suka Aldra, ia dekat dan amat sayang pada ibunya, tapi tidak kebangetan mendewakan ibunya, seperti ayahku itu. Ia teramat sayang pada ibunya, tapi juga tidak ada rasa bersalah untuk menyayangi aku. Malah  ibunya  selalu mendukungnya untuk membahagiakanku.

Jauh berbeda dengan  nenekku,  yang sedemikian rupa menyayangi anaknya dengan caranya yang aneh. Ada rasa cemas dan  bersalah pada ayahku jika  sayang berlebihan kepada istrinya. Keanehannya, ayahku merasa berdosa  meninggalkan ibunya gegara punya istri. Bagi ayahku, memilikiistri seperti sedang mengabaikan ibunya.

Jadi ibuku itu seperti perempuan sunyi yang  tak punya tempat bersandar. Ibuku jadi beringas, karena ia tak pernah punya bahu seseorang untukbersandar.  Sepanjang hidup, ibu merindukan pelukan suamminya dan  menyeka  airmatanya. Tak ada pelukan, tak ada belaian atau kata-kata manis dari ayahku. Saat ibuku menangis. Aku terlalu sering menyaksikan ibuku  menangis, siang mlam, di kebun, di taman, di dapur. Saat ia sedang mencuci pakaian. Sepertinya aku terbiasa melihat sembab matanya.

Seperti ada dua kepribadian dalam diri ibuku,  ada sosok rapuh penuh kesedihan , kesepian dan keputus asaan pada ibuku. Wanita tanpa semangat tak punya optimisme atau cita-cita. Tapi lain ketika ia menjadi angkara murka yang kerap mengamuk  dan sepertinya ia ingin membantai anak-anaknya sendiri..... ", Mahadewi sesunggukan , sambil menyeka airmata yang membanjir di pipinya.

"Kamu membenci ayahmu Dewi?" tukas Dani.

"Mungkin iya..... Tapi seorang anak tabu untuk membenci orang tua. Bagaimanapun..... Begitu bukan?" Mahadewi menghela nafas sambil matanya menyapu ke arah jendela. Menatap angin yang tengah  berhembus lembut.

"Ayahku ,.....jauh berbeda dengan Aldra..... Aldra  suka memuji aku, rajin mengucapkan terimakasih, ........ Entahlah, aku senang dirayu....Meski mungkin itu rayuan gombal sekalipun.....Karena membuat aku bersemangat.......Bahkan ia jadikan aku sebagai sosok inspirasi bagi  semua karya seninya..... Kataya ia menulis puisi, skenario , dan  cerita..... Semua karyanya terinspirasi diriku.... Ia memujaku, menjadikan aku  sebagai inspirasi karya-karya seninya...... Dia bilang begitu.... Kelak ia akan mencantumkan nama Mahadewi dalam karya terakhirnya.......Itu janjinya," Mahadewi  penuh keyakinan , seakan memang sosok khayalannya itu ada.

Dani terkesiap. Tekadnya semakin kuat untuk mencari jalan kesembuhan  gangguan jiwa bagi gadis yang ia cintai  ini.

 "Dewi,  aku akan coba menelusuri kebenaran itu .... Untuk memastikan , kalau kamu tak perlu berkonsultasi dengan psikiater, " Dani mohon pamit. Antara kecewa dan gusar. Juga ada rasa aneh.

Rasa aneh, karena  belum lama ini  baru saja pemutaran perdana sebuah cinema Indonesia dengan judul Mahadewi.

Gangguan jiwa Mahadewi, kemungkinan ditambah dengan film yang baru saja tayang perdana itu.

"Betul Mas Dani, mungkin aku ke Ge-eran ya..... , aku belum sempat nonton film itu, tapi sekilas dengar ceritanya, mungkin penulis skenarionya Algra.....terinspirasi  persahabatan kami.... ",Mahadewi dengan gaya yakin dan pasti.

Kediaman Chandra, Pencetus Cerita Cinema Mahadewi

Rumah keluarga Chandra , amat asri dengan pepohonan besar. Dani hadir bersama teman kuliahnya yang juga berkecimpung di dunia seni.

Chandra seorang seniman dan juga pengusaha. Lelaki itu cukup mapan, ia sebagai  produser  dan  penulis cerita Mahadewi. Hanya detail skenario diserahkan kepada penulis yang memang sudah  mumpuni.

Mahadewi , sebuah film misteri tentang hantu perempuan cantik  yang  bersahabat dengan sebuah keluarga. Dalam film tersebut, diceritakan, Mahadewi berterimakasih  atas semua kebaikan keluarga itu. Dikisahkan sosok pemuda dalam keluarga tersebut , Aditya   kadung jatuh hati pada Mahadewi. Dan Mahadewi berjanji ,  ia akan datang bukan sebagai hantu. Melainkan sebagai manusia.

Dalam kenyataannya, Aditya  memang akhirnya berkenalan dengan seseorang secara tak sengaja di sebuah perhelatan. Yang sangat menyerupai Mahadewi, dan ia memang Mahadewi. Lalu kisah filmpun menjadi happy end seperti dongeng saja. Tak ada penjelasan logika , bagaimana hantu bisa menjadi manusia.....  

Cara penyajian apik  film tersebut membuat kawula muda keranjingan menonton cinema tersebut. Belum lagi illlustrasi musik dan para pesohor, pemain watak yang berperan bagus. Cinema itu jadi sangat populer.

Saat Dani tengah duduk dalam semilir angin, tiba-tiba lelaki bernama Chandra itu  menghampiri.

"Ada yang bisa saya bantu?" Chandra menyambut baik ke duanya. Rekan Dani  memang sudah kenal dan  pernah menjalin beberapa kerjasama  even  seni dengan Pak Chandra.

"Ini , kenalkan teman saya Dani.... Seorang psikolog.... Mohon maaf sebelumnya. Mungkin akan mengusik  bapak sebagai pencetus ide cerita film Mahadewi. .... Apakah ini hanya kebetulan saja, teman saya ini punya pasien gangguan jiwa bernama Mahadewi, dan sering bercerita tentang  halusinasinya. Ia  menceritakann sosok khayalannya, bernama Aldra , yang katanya mengabadikan namanya dalam film Mahadewi....," rekan Dani  yang sudah kenal baik dengan Chandra  memberi penjelasan.

"Betul, pasien saya itu berulang kali menyebut janjinya kepada Aldra.... Kesehariannya ia waras, sehat, bahkan bekerja sebagai menejer muda pengelola objek wisata di Puncak Bogor. Mohon maaf, ia menyebut  film Mahadewi adalah tentang dirinya....," sambung Dani

Chandra tampak kebingungan. Ia tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Lalu tertawa terbahak-bahak.  Seorang wanita tiba-tiba muncul dari bagian depan rumah. Mengubah ekspresi wajah Chandra. Tampak ia berpikir keras.

"Sebetulnya itu cerita murni khayalan...... Ide cerita itu murni dari imajinasi saya  pribadi sebagai seniman. Tokoh khayalan saja, tidak ada  sangkut pautnya dengan kenyataan.  Entah kenapa bisa kebetulan semua ini. ... Kebetulan, nama pasien Pak Dani ini  rupanya sama ya, Mahadewi.....  ," Chandra  menuturkan.

Wanita cantik itu mendekati mereka. Tampilan modis kekinian, dengan busana branded, dan keseluruhan,  menunjukkan status kelasnya. Sosialita level atas. Dengan manja ia duduk di samping Chandra.

"Perkenalkan , ini calon istri saya...," Chandra meminta  kekasihnya untuk menghormati para tamunya.

"Oh ya, kalau boleh , saya minta nomor WA Mas Doni ini ya. Silahkan save nomor saya juga. Saya ikut bersimpati kepada pasien yang kebetulan namanya sama dengan  nama dalam layar lebar kami,"Chandra menjelaskan.

Doni  mohon pamit ,  dan sepanjang jalan perasaannya tak keruan. Ia bersyukur bahwa sosok Aldra memang khayalan, tak pernah ada. Bahwa film layar lebar itu hanya kebetulan saja memiliki nama yang sama dengan Mahadewi.

Namun ia juga bersedih, pertanda tingkat keparahan gangguan jiwa Mahadewi semakin  memburuk. Ia tidak mungkin menyunting seorang dengan gangguan halusinasi seperti itu. Kecuali  harus berjuang untuk mendorong Mahadewi menuju kesembuhan.

Halusinasi Mahadewi adalah dunia khayal untuk melarikan diri dari siksaan fisik dan emosi yang dilakukan  oleh ibu kandung Mahadewi.

Setahun sesudahnya , Sebuah Purnama, Sebentuk Janji

  

Mahadewi  menuangkan segelas teh hangat. Ibunya meneguk minuan hangat itu dengan cepat. Wanita tengah baya yang wajahnya tampak kusut itu matanya berkaca-kaca.

"Terimakasih nak,  maafkan , ibu dulu sering menyiksamu,  menyakitimu..... Tempat ini indah sekali.... Dokter  dan susternya baik semua...., ibu sayang kamu Nak....," ia membelai rambut Mahadewi. Mengecup keningnya.

"Ibu sayang, Dewi memaafkan ibu, selalu. Ibu seperti itu karena ayah bukan? Ibu juga sering disakiti oleh saudara-saudara ayah. Dan ayah tak berdaya. Sekarang ayah tega meninggalkan ibu, padahal ayah juga yang membuat ibu jadi beringas . Teman-teman ibu bilang, dulu ibu orangnya  lemah lembut, ibu itu banyak lelaki jatuh hati karena kebaikan ibu.   

Bersyukur  Kak Dita  bisa membiayai ibu  dan tinggal di sini....Rejeki Kak Dita yang berhasil diterima di perusahaan minyak asing, tapi dia jarang bisa pulang ke tanah air.  Ibu sekarang tidak usah menangis lagi. Tak ada  lagi yang menyakiti ibu, tak ada  lagi yang akan  membiarkan ibu kelelahan sendiri seperti rodi. Pada umur ibu sekarang , sudah waktunya ibu banyak tersenyum dan istirahat.

Dulu ibu melayani dan mengurusi kami tanpa jeda, tanpa istirahat. Kita memang bukan siapa-siapa, kita orang kebanyakan, bukan orang terpandang. Tapi kita punya hati yang baik. .... Dewi senang balai pengobatan ibu dekat dengan kantor Dewi..... Kalau Dewi punya uang, mau beli rumah di sekitar sini, mau bayar pembantu, biar ibu tak terlalu capek. Ibu adalah ibunda Dewi, bukan pembantu...."

"Terimakasih sayng, anakku  cantik. Kamu sudah ada lelaki yang mendekati belum?"wanita tua itu  berbisik sejuk.

"Ada bu, psikolog yang merawat ibu dan aku.  Mas Dani. Hanya saja ibu kan  beralih ke psikiater. Aku masih ditangani Mas Dani....,"

"Terima saja jika dia menyukaimu Nak, jasanya sangat besar menolong ibu dan kamu,"tukas ibunya.

"Entahlah bu. Masih trauma , takut laki-laki itu setelah jadi suami, menjadi seperti ayah. Ayah memperistri ibu, mengubah keseluruhan sifat ibu. Mengubah dunia ibu. Melarang ibu  menekuni hobi. Dan parahnya ayah tak pernah  merasa salah pada ibu. ...

.Sepanjang hidupnya ayah selalu dikejar rasa bersalah karena  meninggalkan ibunya demi memperistri ibu... Itu yang meracuni cintanya kepada ibu....Ia selalu menganggap bahwa ibu itu cuma ibu rumah tangga. Kalau di rumah saja artinya pengangguran, dan tidak ada kerjaan. Ayah selalu yakin bahwa beban hidupnyalah yang paling berat. Ibu selalu dianggap enteng hidupnya,  dan tak punya beban , sebab di rumah saja..... Dan tak boleh ada asisten rumah tangga, itu bukan yang menyebabkan jiwa ibu sakit..... Sekarang tidak boleh terjadi. Biarkan ayah menikah lagi dengan pelakor kesayangan  ipar-ipar ibu itu.... Kami anak-anak akan merawat hati ibu...... Jangan lagi menangis  dan menangis..... ."

"Tak semua lelaki sama. Dani itu  pria yang baik, ia akan merawat hatimu.Nanti kalau kau sudah berumah tangga, sampaikan kepada lelakimu, bahwa hati wanita itu harus dirawat. Pikirannya harus dijaga  dengan cinta. Cinta itu harus dipupuk, bukan dibiarkan  layu dalam kesepian. Nanti cinta itu akan mati, dan dia tumbuh menjadi  sosok yang baru, sosok amarah....," ibundanya berbisik.

"Entahlah bu, mungkin aku jatuh hati pada yang lain, bukan Dani"

Angin malam bergulung di antara pepohonan dan sinar rembulan. Kepak burung malam terdengar membelah kabut. Mahadewi berjalan di antara kabut. Wangi bunga  berbaur dengan hawa dingin malam.

Mahadewi mengetuk pintu yang puluhan kali ia datangi. Dan wajah teduh itu membukakan pintunya.

"Aldra, aku menanyakan janjimu itu....,janji dan semua ungkapan cinta itu.... Aku ingin melihat bukti semua yang kau katakan... Temui dan cari aku, bukan di alam maya ini ....di alam yang sesungguhnya....," Mahadewi berbicara kepada  pria berusia 32 tahun itu.

"Mahadewi, maafkan aku....., karena aku harus hidup dalam kenyataan, bukan dongeng aneh ini. Kalau aku menceritakan tentangmu, orang akan bilang aku gila. Begitu juga kau. Kita tidak mungkin bersama. ...."

"Teganya...bukankah selama bertahun-tahun kamu  meredakan tangisanku, kamu sambut aku, sejak usiamu  bocah belasan tahun, sampai usiamu seperti ini...Kamu malu mengakui aku, karena aku orang kebanyakan, bukan sosialita sepertimu....."

"Tidak Mahadewi, kamu hanya halusinasiku saja....... Pergi lah selamanya, kita lupakan  semua kenangan itu....Maafkan aku, kamu hanya halusinasiku...., aku akan menikah dengan manusia.....tidak mungkin dengan sosok khayalan atau hantu sepertimu " Aldra  tampak pedih menatap nanar ke arah Mahadewi.

"Aku bukan hantu, dan aku akan buktikan suatu saat kelak"

Dengan mata membasah, Mahadewi menyusuri jalan berliku, bukit-bukit  penuh rimba pepohonan, dan kelokan sungai di bawah semburat purnama. Kali terakhir Mahadewi  mengucapkan selamat tinggal.

Cinema Mahadewi

Doni mengajak Mahadewi menonton tayangan cinema berjudul Mahadewi. Di sebuah rumah, rumah mereka , di layar lebar dengan akustik yang mengesankan.

"Mahadewi, terimakasih sudah menjadi istriku. Terimakasih untuk menjadi sehat dan kembali kepada realita. Sebenarnya aku enggan membiarkanmu menonton film tersebut. .... "

Mahadewi hanya membalas dengan senyuman hampa.

"Sepertinya aneh, sebuah kebetulan yang sama...."

Ada kegelisahan di hati Doni. Diam-diam ia mensyukuri, istrinya tidak gila. Diam-diam , sepekan silam  sahabat dekatnya yang kolega Pak Chandra meneleponnya.

"Doni,  ternyata Pak Chandra itu panggilan kesayangannya Aldra. Itu ibunya almarhumah yang memanggilnya dengan sebutan Aldra. Sebulan lalu di rumahnya ada pengajian , katanya untuk membersihkan dari sejenis jin perempuan yang gentayangan di rumah itu.

Malah dulu ibunya juga  pernah lihat sosok  hantu perempuan itu. Bahkan Mbak Anjani kakaknya juga. .... Istri Chandra mendengar cerita nyata  hantu itu dari pembantu rumah tangga yang sudah sepuh ....Jadi ingin membersihkan  rumah mereka dari sosok- sosok  astral....," temannya memberi kabar yang mengejutkan.

Tinggallah Doni diam dalam seribu tanda tanya yang tak pernah terpecahkan.  Apa jadinya jika Chandra bertemu dengan Mahadewi istrinya?  Tidak.... , tidak boleh terjadi , biarlah semua hanya akan menjadi cerita yang dilupakan.  Karena semua memang tak masuk akal dan logika.

Mahadewi  bukannya tidak tahu. Saat Chandra  podcast di sebuah  channel youtube, menceritakan  kesuksesan film Mahadewi , karena sebenarnya itu  kisah nyata dari seorang narasumber yang ia rahasiaan. Seorang lelaki  yang didatangi hantu bernama Mahadewi.

"Mas , aku tidak gila bukan?" Mahadewi  menatap  tajam mata suaminya yang kebingungan  saat diajak menyimak podcast trsebut.

"Betul, kau tahu bahwa Chandra adalah Aldra? Tapi bagaimana mungkin kamu bisa menjelma jadi hantu....? Membingungkan"

"Tentu aku tahu Chandra adalah Aldra, tapi kita simpan semua ini sebagai rahasia. Pasti Chandra tak mau dianggap gila, bukankah Mas juga menganggap aku gila? Itu hanya sebentuk fennomena  yang kita semua  tak pernah mengerti mengapa bisa terjadi. Saatnya melupakan  masa lalu. Terimakasih untuk menjadikan aku istri..... ," Mahadewi  memberikan senyuman  yang terindah, untuk seseorang yang tulus  mengayominya.

Aldra takkan pernah lagi menjadii bagian dari mimpinya.

Jakarta ,  7 Februari 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun