Kamarnya menghadap ke arah empang dan barisan bambu.
Saat masih kuliah, berkali-kali Mahadewi berkonsultasi kepada seorang psikolog. Meski berat rasanya harus mengeluarkan uang untuk membayar konsultasi yang cukup mahal.
Ia bekerja paruh waktu  sebagai tenaga EO.Atau  sebagai MC di acara-acara  besar.
Kendati Mahadewi  tampil prima di atas panggung, tapi diam-diam , di balik itu ada seonggok  jiwa rapuh remuk redam.
Psikolog itu, Dani, Â datang di akhir pekan menemuinya di sebuah wisma yang indah dan sejuk. Lelaki itu sangat dewasa, psikolog klinis muda, yang cukup punya nama.
Meski Dani menaruh hati kepada Mahadewi, namun Dewi tidak menggubrisnya.
Penuturan  Mahadewi tentang Aldra, ibunda Aldra yang penuh kasih sayang. Seakan ibunda Aldra mengobati luka dan menambal ruang sepi di benak Mahadewi. Masa kecil Mahadewiyang merindukan sosok ibu. Semestinya ada ibu yang hadir mengisi masa kecilnya  dengan limpahan kasih sayang. Dahaga akan belaian lembut sang ibu.
Mahadewi bercerita tentang mimpi-mimpi aneh itu, dan persahabatan manisnya dengan Aldra.
"Mereka sudah menyelamatkan hatiku, memadamkan kepedihanku."
"Mereka tidak nyata Dewi....... , itu hanya bayangan yang terbentuk oleh pikiran yang kau ciptakan sendiri. Â Sebagai pelarianmu dari Child Abuse yang dilakukan ibumu.....," Dani menjelaskan dengan hati-hati.
Obrolan panjang hari itu , menutup sesie konsultasi Mahadewi. Dani selanjutnya ssecara persuasif, menuturkan harapannya, untuk  mempersunting Mahadewi. Sudah ke berapa kalinya, namun Mahadewi menggelengkan kepala.