Dengan tubuh letih kesakitan, Mahadewi berjalan kaki menuju sekolah. Matanya sembab, bajunya kusut,  dan ia kerap  merasa rendah diri tiada kepalang di sekolah. Mencoba untuk bisa kembali menjadi anak cerdas , tapi pikirannya seperti terbelenggu oleh luka batin yang berulang  pada masa-masa kecil dan remajanya.Â
Sepanjang jalan ia menggerutu tentang ayahnya. Lelaki yang terlalu mendewa-dewakan neneknya, dan membiarkan istrinya bekerja terlalu lelah dan keras.  Ayahnya tak pernah berdaya melindungi dirinya yang kerap jadi pesakitan. Padahal amukan ibunya  kerap disebabkan oleh  pertengkaran dengan ayahnya, bukan karena Mahadewi berbuat kesalahan. Lagipula , sesuatu yang  baik dalam sistem nilai norma pada umumnya, malah sebaliknya dianggap  kesalahan di mata ibunya.
 Mungkin ibunya menjadi pelaku kekerasan, karena ia juga menderita kekerasan. Contoh soal, ibunya dilarang keras memiliki asisten rumah tangga oleh  sang mertua. Sungguh peraturan aneh, entah apa tujuannya.
Sesekali Mahadewi kasihan juga kepada ibunya. Sesekali naluri sebagai anak muncul, ketika masih kecil  melihat ibunya kepayahan mengerjakan semua urusan rumah tangga sendiri. Dan ayahnya dilarang membantu , kata neneknya, itu kerjaan perempuan. Lelaki  sudah lelah keluar rumah, banting tulang mencari nafkah , jauh lebih berat dari tugas seorang istri /ibu.
Tugas perempuan ya mengurus  semua urusan rumah, mengasuh dan mendidik anak, dari A sampai Z. Tidak boleh ada asisten rumah tangga, karena sama saja dengan menyusahkan suami.
Adakalanya Mahadewi berdebat dengan bibinya, adik kandung ayahnya yang tak prnah bosan untuk  nyinyir terhadap ibunya. Tekanan batin kanan kiri depan belakang , yang berkepanjangan membuat ibunda Mahadewi nyaris kehilangan dua per tiga dari kewarasannya.
 Ibunya telah berubah menjadi monster akibat menjadi terlalu lama menjadi  pesakitan bertubi-tubi.
Berdasarkan banyak kesaksian, dulu ibunda Mahadewi seorang wanita lemah lembut yang dinamis. Kreatif, aktif dan menyukai tantangan di organisasi dan perusahaan tempatya bekerja.
Mahadewi tidak percaya ibundanya semasa gadis sangat catik dan lemah lembut. Di hadapannya, hanya ada seorang wanita monster yang siap membantai  anak kandung sendiri.
Tujuh Tahun Kemudian
Mahadewi memilih tinggal di sebuah  wisma  milik perusahan, tempat yang sejuk .  Usianya 23 tahun, pekerjaannya membantu  owner , mengelola sebuah  area rekreasi  besar, lengkap dengan villa, bungalow, dan restoran. Tempat yang penuh dengan rimbun bunga, gemericik air sungai, dan empang-empang teratai.