Aku langsung merinding dan membeku. Apakah aku sedang bermimpi? Sepertinya tidak. Ini semua terasa nyata sekali. Aku masih dapat merasakan lembabnya tanah dengan tanganku. Harumnya daun-daun basah pun masih terasa sekali. Namun, mengapa dia dapat bertanya seperti itu? Seolah-olah dia mengenal dan mengetahui banyak sekali tentangku.
"Iya, tidak? Kamu sedang takut mati, kan?" Tanyanya dengan girang.
"Alice, siapa kamu sebenarnya?"
Dia tertawa lagi. Lalu, "Aku adalah Alice. Kan, kamu sendiri yang bilang tadi. 'aku akan panggil kamu Alice, karena kamu seperti cucu perempuan --- "
"Cih, aku bertanya serius kali ini... " Tanggapku yang menatap matanya.
"Aku juga serius, Dhi. Sudahlah tidak ada gunanya juga kamu bertanya, yang penting kamu jawab pertanyaanku tadi. Apa kamu takut mati?"
"Alice, aku sudah melalui banyak sekali hal di dalam hidupku. Begitu banyak kegagalan dan keberhasilan yang memberikanku makna akan kehidupan. Tidak ada yang membuatku bertanya lagi sampai hari ini, kecuali kamu. Jadi, kamu jawab dulu pertanyaanku tadi. Siapa kamu sebenarnya?"
Dia berhenti memunguti bunga-bunga itu, lalu duduk di sebelahku dan membisik pelan. "Aku akan jawab itu nanti, sekarang kamu jawab dulu ya pertanyaanku. Aku mohon."
Aku menghela nafas panjang. "Tidak ada yang tidak takut mati di dunia ini, Alice. Jadi, ya. Aku takut."
"Kenapa tidak ada?" Dia mengambil air putih di tasku tanpa izin.
"Ya, karena semua manusia memiliki titik kelemahan pada akhirnya."