"Cepat! Lama banget, sih!" Serunya yang gemas.
Tepat sebelum aku membuka pintu itu, air hujan menetes di dahiku. Aku melihat Alice sekali lagi di belakang, kemudian langsung mengetuk.
Tok tok tok. Suara ketukan pintu. Tidak ada yang membuka lalu aku mengetuknya lagi. Tok tok tok dan tiba-tiba pintu merah itu pun terbuka. Jantungku langsung berdegub sangat kencang, tubuhku tidak bisa bergerak sama sekali, mulutku melongo lebar karena tidak percaya kalau mataku melihatnya berdiri di depanku.
"Radhi! Akhirnya! Lama sekali aku menunggumu! Aku rindu sekali denganmu, Mon Amour... Wah! Kamu membawakan bunga kesukaanku, ya?" Dia langsung memelukku tanpa ragu dan erat sekali.
Aku menerima pelukan itu, lalu melepaskannya dengan perlahan. "Cla --- Clara? Ini kamu? Tidak mungkin, ini tidak mungkin!"
Clara tersenyum manis dan dengan begitu lembutnya, dia mengelus pipi keriputku. "Radhi, ini aku... ini aku, Claramu."
Wajahku berlinang air mata. Dadaku sesak sekali karena menangis terisak-isak. Dia pun langsung mengusap basah air mataku itu. "Radhi... arrte-toi, jangan menangis lagi. Kamu sudah kembali. Kamu sudah sama aku, kamu sudah kembali, Radhi..."
Aku masih terguncang. "Ini tidak munkin nyata. Aku tidak percaya. Kamu sudah mati, Istriku. Bisa-bisanya Alice mengerjaiku seperti ini," aku ingin marah ke Alice dan langung menengok kebelakang. Namun, tidak ada apa-apa, dia menghilang begitu saja. "dimana dia?! Alice! Dimana kau?!"
Aku kebingungan sekali dan berusaha mencari penjelasan. Lalu, dengan suara lembutnya, Clara bertanya. "Kamu mencari siapa? Kamu mencari dia, ya? Nanti akan ada waktunya dia kembali, Dhi. Tenang saja..."
Perkataan Clara malah membuatku menjadi lebih bingung dan takut, ditambah lagi Clara memberikanku senyumannya yang mempesona itu.
"Kenapa kamu malah tersenyum?"