Mohon tunggu...
marzani anwar
marzani anwar Mohon Tunggu... -

Peneliti Utama at Balai Litbang Agama Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penjemputan Eks Gafatar di Batam

23 Maret 2017   12:07 Diperbarui: 23 Maret 2017   12:16 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah acara itu biasa Tawaran untuk masuk Gafatar, syarat dan janji, sebelum isi form, yang antara lain memuat: nama, alamat, dan tanggal lahir, serta agama; Beriman kepada  Tuhan Yang Maha Esa, dan sanggup menjadi anggota atas dasar kesadaran sendiri; Bersedia tidak mencuri; Bersedia tidak akan berzina; Bersedia tidak akan membunuh sesama dan Berbudi pekerti lurur. Bagi yang bersedia masuk Gafatar dan mengisi formulir tersebut, ia bubuhkan tandatangan di atas formulir tersebut.

            Isian formulir seperti itu semata-mata bersumber dari informasi seorang eks Gafatar. Artinya, akurasi isi perjanjian masih belum bisa dijamin seperti itu. Menurutnya, semua berkas tentang Gafatar, berikut semua blangko isian, sudah dimusnahkan, pasca pembubaran Gafatar. Namun bagaimanapun adanya keharusan mengisi formulir perjanjian, setidaknya memberi gambaran, bahwa untuk masuk menjadi anggota Gafatar ada proses yang dilalui, yakni memahami betul visi dan missi Ormas Gafatar, dan kesediaan untuk mentaati sebuah perjanjian. Di balik itu, bukan tidak mungkin ada isian menyangkut “pembebasan keberimanan”,  dalam arti, seseorang tidak lagi terikat dengan doktrin keagamaan yang dianut selama ini. Indikasi itu diperoleh ketika, para eks Gafatar, yang semula beragama Islam, kemudian meninggalkan agamanya, dan berpindah ke Millah Abraham.

Dalam suatu Rakernas yang diselenggarakan di Gedung Sudirman Jakarta, para pengurus Gafatar juga menjadi pesertanya. Pokok bahasannya adalah, bagaimana menegakkan kedaulatan pangan. Karena sebagaimana missi Gafatar adalah membangun  kemandirian sebagai bukti kepasrahan kepada Tuhan, maka setiap anggotanya harus melepaskan diri dari keterikatan dengan pemerintah.  Diantaranya harus berani keluar dari tempat tinggal, untuk berkhidmat, mengolah sumber daya alam yang selama ini belum terjamah. Sekaligus membangun komunitas baru, untuk menyelamatkan akidah Millah Abraham.

Salah seorang peserta, kebetulan orang Kalimantan, yang juga seorang kepala Suku, merespon ajakan untuk menegakkan kedaulatan pangan itu. Kemudian ia menawarkan satu ha. lahan kosong miliknya yang terletak di pulau Melawi. Tanah itu boleh dibeli, atau disewa. Kalau penggarapannya berhasil, katanya,  nanti akan ditambah lagi.

Atas dasar pertimbangan itu, maka satu persatu para anggota Gafatar Batam, tertarik mendaftar untuk eksodus ke pulau Malawi, dalam wilayah Provinsi Kalimantan Barat.  Keberangkatannya adalah atas biaya sendiri-sendiri. Maka persiapan untuk berangkat ke sana terus dilakukan. Padahal hampir semua mereka, adalah orang-orang yang sudah memiliki pekerjaan, baik tetap atau tidak tetap. Sebagian adalah karyawan kantor BUMN, kantor perusahaan swasta, pedagang, dan ada juga yang PNS.

Untuk ukuran orang kebanyakan, mungkin sangat berat, meninggalkan pekerjaan tetapnya, dan menuju ke suatu tempat yang belum tentu menjamin kesejahteraannya lebih baik. Demikian juga persoalan mindset, sebagai orang yang sudah biasa bekerja di kantoran, atau di tempat-tempat lingkungan bisnis dan perusahaan di kota, tentu tidak mudah untuk berganti mindset. Mereka siap untuk menjadi petani, penggarap sawah-ladang, di atas lahan kosong. Bagaimana makanan sehari-harinya selama pertaniannya belum menghasilkan; bagaimana dengan tempat inggalnya yang baru, yang boleh jadi tanpa listrik, dan terjauhkan dari sarana transportasi; bgaimana pengairannya; bagaimana dengan pendidikan anak-anaknya, dan bagaimana pula kalau tiba-tiba tidak krasan tinggal di tempat yang baru, sementara rumah asal sudah dijual.

Untuk persiapan keberangkatan para Gafatar,  menjual semua aset keluarga, baik berupa rumah, kendaraan, dan barang-barang berharga lainnya.  Setidaknya sebanyak 31 KK anggota Gafatar memiliki tekat  itu, yakni berangkat ke Malawi, dengan tujuan “menegakkan kedaulatan pangan dengan bersandar pada millah Abraham”. Mereka siap menjadi petani, dan siap meninggalkan pekerjaan yang selama ini digeluti.

Sesampainya di Melawi, mereka benar menggarap sawah tersebut, secara bersama-sama. itu setidaknya yang ke Melawi, dan terus menggarap tanah tersebut. Yang pertama-tama digarap, adalah berkebun padi dan jahe. Ternyata berhasil. Maka persediaan lahanpun ditambah 5 ha lagi. Akhirnya keseluruhan menjadi 6000 ha. Ketika tanaman padi hampir panen, maka tiba saat datangnya isu bahwa “Gafatar adalah kelompok sesat, dan mau bikin negara sendiri”. Mereka dipulangkan ke alamat asal, mengikuti teman-teman sesama Gafatar yang selama ini menempati Menpawah.

Anggota keseluruhan Gafatar Batam, menurut penuturan salah seorang anggota, pada awalnya mencapai 2000 orang. Jumlah anggota sebuah Ormas seperti Gafatar, yang berdirinya baru tahun 2011, memang cukup fantastis. Sangat mungkin penyebutan jumlah itu hanya klaim yang didasarkan pada keikutsertaan orang dalam kegiatan sosial mereka, seperti bakti sosial dan dan donor darah. Mereka kemungkinan hanya para simpatisan, terhadap kegiatan sosialnya.

Dalam daftar yang ada Dinsos Kota Batam, dari keseluruhnan 92 anggota Gafatar, ada 41 diantaranya adalah usia anak-anak atau di bawah 17 tahun.  Pengalaman mengikuti pendidikan, sejak masih di Batam adalah sistem home schooling. Anak anaknya dibagi perkelompok rumah dan guru mereka  yang  berkeliling. Selama mengikuti pendidikan, anak-anak juga mendapat buku pelajaran sebagaimana lazimnya. Mereka juga dapat ijazah dengan mengikuti Ujian Paket A B dan C.

Pendidikan anak dengan cara home-schooling, menurut para eks  Gafatar adalah sebuah konsep yang memang sengaja diciptakan. Terutama dalam memerankan para orang tuanya. Kepada mereka diajarkan ditanamkan masalah bagaimana mendidik anak; bagaimana mengontrol anak. Para ibu, menurutnya, harus tahu psikologi psikologi perkembangan anak. Maksudnya agar anak-anaknya jangan sampai terjun ke dunia yang terlalu bebas dan atau menjadi korban kebebasan. Tapi, itu hanya salah satu alternatif, kata Samsir yang juga anggota eks Gafatar[4].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun