Mohon tunggu...
marzani anwar
marzani anwar Mohon Tunggu... -

Peneliti Utama at Balai Litbang Agama Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penjemputan Eks Gafatar di Batam

23 Maret 2017   12:07 Diperbarui: 23 Maret 2017   12:16 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

PENJEMPUTAN EKS GAFATAR DI BATAM[1]

Marzani Anwar

            Kasus munculnya aliran  keagamaan baru Gafatar dengan segala efeknya, telah cukup mempengaruhi iklim perpolitikan di Indonesia. Dengan terjadinya pengusiran oleh masyarakat di mana Gafatar membangun komunitas di luar Jawa, dan penjemputan paksa oleh pemerintah.  Sejumlah instansi pemerintah disibukkan dengan keterlibatannya dalam penanganan pasca pemulangan.

            Pemulangan eks pengikut aliran Gafatar menyertakan beragam dugaan, berkenaan dengan masalah paham keagamaannya yang kontroversi, ide mendirikan negara di luar NKRI, dan isu kemanusiaan karena menelantarkan atau menjauhi keluarga atau familinya.   

Para anggota eks Gafatar yang berada di Kalimantan Barat, telah diputuskan oleh pemerintah untuk dipulangkan ke daerah asalnya. Anggota eks-Gafatar yang telah dipulangkan ke wilayah tempat tinggalnya masing-masing masih menyisakan potensi konflik sosial. Penolakan warga, keengganan untuk kembali ke kampung halaman, perpindahan keyakinan (akidah) adalah beberapa masalah yang dihadapi pemerintah dalam menangani eks-Gafatar.

Instansi Pemerintah di tingkat kota Batam, termasuk pemerintah kota (Pemko) Batam sedikit banyak telah melakukan koordinasi dalam rangka pemulangan para eks anggota Gafatar. Kajian terhadap peranan pemerintah daerah dalam menangani eks Gafatar dipandang penting dilakukan.

Penelitian ini memotret dan menelaah penanganan anggota eks-Gafatar oleh pemerintah daerah kota Batam provinsi Riau. Dimaksud Pemerintah daerah dalam penelitian ini adalah instansi pemerintah di tingkat kota yang terlibat dalm penaganan pemulangan eks anggota Gafatar,  Dinas Sosial kota Batam, Kesbangpolinmas kota Batam, Tim Pakem kota, Kementerian Agama kota Batam, MUI dan Kepolisian Resort Kota setempat.

Dilakukannya penelitianini adalah untuk mengetahui peran pemerintah di daerah kota Batam dalam menangani anggota eks Gafatar, dan ingin mengetahui faktor pendukung dan penghambat dalam penanganan anggota eks Gafatar

Penelitian ini bersifat kualitatif. Menurut Kirk and Miller adalah penelitian  untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya, perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah[2]. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, studi dokumen, observasi dan dokumentasi. 

Wawancara dilakukan dengan Bakorpakem,  Kantor Kementerian Agama Kota Batam, Kesbanglinmas Kota Batam, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Batam, Kantor BIN (Badan Intelijen Daerah) Batam, Kejaksaan setempat dan Poresta Barelang, Dinas Sosial Kota Batam, serta dengan berbagai pihak yang ada di daerah yang terlibat dalam penanganan anggota eks Gafatar. Apa yang sudah dilakukan dalam rangka penanganan anggota eks Gafatar, faktor pendukung dan penghambat dalam penanganannya. 

Studi dokumen dilakukan dengan mengambil data yang ada di instansi terkait yang memang terlibat dalam penanganan anggota eks Gafatar. Observasi dilakukan dengan cara mengikuti kegiatan atau program yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka pembinaan, penanganan serta pengawasan terhadap anggota eks Gafatar. Dokumentasi dilakukan dengan mendokumentasikan kegiatan-kegiatan yang sudah atau sedang dilaksanakan oleh pemerintah daerah sebagai bukti otentik bahwa pemerintah daerah dan jajarannya sudah melakukan penanganan terhadap pengungsi eks Gafatar.

Awal Kemunculan

Gerakan Fajar Nusantara yang merupakan organisasi massa, pernah tercatat di Kesbangpolinmas Batam, tahun 2011. Para anggota, yang banyak bertempat tinggal di Komplek Perumahan Taman Raya, dekat Bandaara Hang Nadim. Kegiatannya bersifat sosial dan terbuka. Sehingga siapapun bisa berpartisipasi.

Pada awal-awal gerakan, kegiaan yang tampak dari luar tidak lebih dari kegiatan oleh ormas bernama Gerakan Fajar Nusantara tersebut. Orang mengenalnya, karena seringnya melakukan kegiatan sosial dan bersifat massal. Diantaranya adalah mengadakan donor darah massal. Diikuti oleh siapa saja yang ingin meyumbang darahnya ke PMI. Sekali waktu mengadakan kerjabakti, secara gortong-royong membersihkan kampung. Pernah juga mengadakan  sunatan massal. Tempat kegiatan tergantung kepentingan.

Ada saat di mana Gafatar Pusat membubarkan diri, karena isu “menjadi pengikut al-Qiyadah”, yang telah difatwa sesat oleh MUI. Tepatnya pada awal tahun 2015, para anggota Gafatar Batam terus pada berkumpul di sebuah perumahan Odesa. Bersamaan dengan itu, kemudian pindah lagi dan membuat Posko di rumah Blok B No. 8 Komplek Ruko KDA (Kurnia Jaya Alam). Di rumah itu terlihat banyak anak-anak kecil. Diantara ada beberapa yang menjadi pengajar anak-anak tersebut secara home-schooling.

Instansi Kesbangpolinmas Batam, pada dasarnya, adalah yang berkewajiban melakukan: Pencatatan keberadaan dan keanggotaan Gafatar; pengawasan terhadap ormas yang diduga kuat bertindak ekslusif atau mengganggu ketentraman masyarakat; Bekerjasama dengan ineteligen daerah, untuk memperoleh sebanyak informasi mengenai gerak gerik Ormas seperti Gafatar. 

Namun diakui, pada saat itu, pihak Kesbangpolinmas  tidak cukup perhatian terhadap kegiatan Ormas tersebut, kecuali mendaftar sebagai Ormas yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan. Tentang kegiatan di lapangan, mereka (Gafatar) tidak pernah minta ijin ke instansinya[3]. Kegiatan yang dilakukan Gafatar nyaris tidak ada laporan ke Kesbangpolinmas. Inteleigen daerah juga tidak memonitor kegiatan seperti itu. Demikian juga juga  FKUB yang biasanya bekerjasama dengan kesbanglinmas ketika ada masalah konflik bernuansa agama, tapi dalam hal ini luput dari perhatiannya.

Dari pihak eks Gafatar sendiri yang menginformasikan, bahwa kegiatan sebelum mereka berangkat ke Kalimantan adalah seperti: melakukan  donor darah massal, mengadakan kerjabakti lingkungan, dan lomba ketrampila anak anak. Mereka mengadakan kegiatan secara terbuka, dan mengundang peserta secara massal, sebagai layaknya organisasi sosial yang bergerak untuk kepentingan kemanusiaan dan sosial lainnya. Kegiatan  lomba ketrampilan anak-anak, pernah menggunakan tempat di Kepri Mal.  Jenis lombanya adalah tarian daerah. Mampu mendatangkan cukup banyak peserta, karena para peserta yang kesemuanya anak-anak,  didampingi oleh orang tuanya. 

Kegiatan yang mereka adakan, dengan mengusung sebuah missi membangun persatuan Bangsa, yakni dengan mengadakan kerjabakti kebersihan lingkungan. Masyarakat menyambutnya, baik-baik saja, karena memberi manfaat kepada lingkungan. Demikian juga para pemuka agama, yang kebetulan ikut berpartisipasi, juga tidak menaruh kecurigaan apa-apa, karena ajaran agama apapun  kalau dihayati akan menyelamatkan kita, katanya.

Keanggotaan

Melalui berbagai kegiatan sosial itu, tampaknya yang dijadikan sarana untuk memperkenalkan kepada masyarakat, tentang apa itu Gafatar, Di tegah-tengah setiap kegiatan, selalu disodorkan brosur untuk memperkenalkan visi dan missi Gafatar. Di lampirkan juga formulir isian, yang memuat antara lain: uraian singkat tentang tujuan didirikan Gafatar, di mana organisasi mengusung semangat kemandirian atasnama Tuhan Yang Maha Kuasa.

Ada sebuah kompleks perumahan di Batam, namanya Kampung Pancasila. Kata seorang anggota Gafatar, kampung ini adalah satu RW, yang terdiri beberapa RT. Semua warganya adalah Gafatar. Ada  500 orang menjadi anggota. Awalnya satu persatu keluarga mereka diperkenalkan tentang eksistensi Ormas Gafatar. Kalau hari minggu diajak gotongroyong. Kegiatan biasanya dipilih atau dikaitkan dengan hari libur nasional, sesuai permintaan warga.

Di tengah acara itu biasa Tawaran untuk masuk Gafatar, syarat dan janji, sebelum isi form, yang antara lain memuat: nama, alamat, dan tanggal lahir, serta agama; Beriman kepada  Tuhan Yang Maha Esa, dan sanggup menjadi anggota atas dasar kesadaran sendiri; Bersedia tidak mencuri; Bersedia tidak akan berzina; Bersedia tidak akan membunuh sesama dan Berbudi pekerti lurur. Bagi yang bersedia masuk Gafatar dan mengisi formulir tersebut, ia bubuhkan tandatangan di atas formulir tersebut.

            Isian formulir seperti itu semata-mata bersumber dari informasi seorang eks Gafatar. Artinya, akurasi isi perjanjian masih belum bisa dijamin seperti itu. Menurutnya, semua berkas tentang Gafatar, berikut semua blangko isian, sudah dimusnahkan, pasca pembubaran Gafatar. Namun bagaimanapun adanya keharusan mengisi formulir perjanjian, setidaknya memberi gambaran, bahwa untuk masuk menjadi anggota Gafatar ada proses yang dilalui, yakni memahami betul visi dan missi Ormas Gafatar, dan kesediaan untuk mentaati sebuah perjanjian. Di balik itu, bukan tidak mungkin ada isian menyangkut “pembebasan keberimanan”,  dalam arti, seseorang tidak lagi terikat dengan doktrin keagamaan yang dianut selama ini. Indikasi itu diperoleh ketika, para eks Gafatar, yang semula beragama Islam, kemudian meninggalkan agamanya, dan berpindah ke Millah Abraham.

Dalam suatu Rakernas yang diselenggarakan di Gedung Sudirman Jakarta, para pengurus Gafatar juga menjadi pesertanya. Pokok bahasannya adalah, bagaimana menegakkan kedaulatan pangan. Karena sebagaimana missi Gafatar adalah membangun  kemandirian sebagai bukti kepasrahan kepada Tuhan, maka setiap anggotanya harus melepaskan diri dari keterikatan dengan pemerintah.  Diantaranya harus berani keluar dari tempat tinggal, untuk berkhidmat, mengolah sumber daya alam yang selama ini belum terjamah. Sekaligus membangun komunitas baru, untuk menyelamatkan akidah Millah Abraham.

Salah seorang peserta, kebetulan orang Kalimantan, yang juga seorang kepala Suku, merespon ajakan untuk menegakkan kedaulatan pangan itu. Kemudian ia menawarkan satu ha. lahan kosong miliknya yang terletak di pulau Melawi. Tanah itu boleh dibeli, atau disewa. Kalau penggarapannya berhasil, katanya,  nanti akan ditambah lagi.

Atas dasar pertimbangan itu, maka satu persatu para anggota Gafatar Batam, tertarik mendaftar untuk eksodus ke pulau Malawi, dalam wilayah Provinsi Kalimantan Barat.  Keberangkatannya adalah atas biaya sendiri-sendiri. Maka persiapan untuk berangkat ke sana terus dilakukan. Padahal hampir semua mereka, adalah orang-orang yang sudah memiliki pekerjaan, baik tetap atau tidak tetap. Sebagian adalah karyawan kantor BUMN, kantor perusahaan swasta, pedagang, dan ada juga yang PNS.

Untuk ukuran orang kebanyakan, mungkin sangat berat, meninggalkan pekerjaan tetapnya, dan menuju ke suatu tempat yang belum tentu menjamin kesejahteraannya lebih baik. Demikian juga persoalan mindset, sebagai orang yang sudah biasa bekerja di kantoran, atau di tempat-tempat lingkungan bisnis dan perusahaan di kota, tentu tidak mudah untuk berganti mindset. Mereka siap untuk menjadi petani, penggarap sawah-ladang, di atas lahan kosong. Bagaimana makanan sehari-harinya selama pertaniannya belum menghasilkan; bagaimana dengan tempat inggalnya yang baru, yang boleh jadi tanpa listrik, dan terjauhkan dari sarana transportasi; bgaimana pengairannya; bagaimana dengan pendidikan anak-anaknya, dan bagaimana pula kalau tiba-tiba tidak krasan tinggal di tempat yang baru, sementara rumah asal sudah dijual.

Untuk persiapan keberangkatan para Gafatar,  menjual semua aset keluarga, baik berupa rumah, kendaraan, dan barang-barang berharga lainnya.  Setidaknya sebanyak 31 KK anggota Gafatar memiliki tekat  itu, yakni berangkat ke Malawi, dengan tujuan “menegakkan kedaulatan pangan dengan bersandar pada millah Abraham”. Mereka siap menjadi petani, dan siap meninggalkan pekerjaan yang selama ini digeluti.

Sesampainya di Melawi, mereka benar menggarap sawah tersebut, secara bersama-sama. itu setidaknya yang ke Melawi, dan terus menggarap tanah tersebut. Yang pertama-tama digarap, adalah berkebun padi dan jahe. Ternyata berhasil. Maka persediaan lahanpun ditambah 5 ha lagi. Akhirnya keseluruhan menjadi 6000 ha. Ketika tanaman padi hampir panen, maka tiba saat datangnya isu bahwa “Gafatar adalah kelompok sesat, dan mau bikin negara sendiri”. Mereka dipulangkan ke alamat asal, mengikuti teman-teman sesama Gafatar yang selama ini menempati Menpawah.

Anggota keseluruhan Gafatar Batam, menurut penuturan salah seorang anggota, pada awalnya mencapai 2000 orang. Jumlah anggota sebuah Ormas seperti Gafatar, yang berdirinya baru tahun 2011, memang cukup fantastis. Sangat mungkin penyebutan jumlah itu hanya klaim yang didasarkan pada keikutsertaan orang dalam kegiatan sosial mereka, seperti bakti sosial dan dan donor darah. Mereka kemungkinan hanya para simpatisan, terhadap kegiatan sosialnya.

Dalam daftar yang ada Dinsos Kota Batam, dari keseluruhnan 92 anggota Gafatar, ada 41 diantaranya adalah usia anak-anak atau di bawah 17 tahun.  Pengalaman mengikuti pendidikan, sejak masih di Batam adalah sistem home schooling. Anak anaknya dibagi perkelompok rumah dan guru mereka  yang  berkeliling. Selama mengikuti pendidikan, anak-anak juga mendapat buku pelajaran sebagaimana lazimnya. Mereka juga dapat ijazah dengan mengikuti Ujian Paket A B dan C.

Pendidikan anak dengan cara home-schooling, menurut para eks  Gafatar adalah sebuah konsep yang memang sengaja diciptakan. Terutama dalam memerankan para orang tuanya. Kepada mereka diajarkan ditanamkan masalah bagaimana mendidik anak; bagaimana mengontrol anak. Para ibu, menurutnya, harus tahu psikologi psikologi perkembangan anak. Maksudnya agar anak-anaknya jangan sampai terjun ke dunia yang terlalu bebas dan atau menjadi korban kebebasan. Tapi, itu hanya salah satu alternatif, kata Samsir yang juga anggota eks Gafatar[4].

            Dalam hal agama, diduga kuat mereka mengadakan semacam  pengkajian agama secara intens. Meski dalam pengakuannya, menurut seorang eks Gafatar, menganut suatu  agama itu terserah masing masing. Tapi kalau dilihat dengan gerakannya yang mengalami konversi  dari Islam ke Millah Abraham, berarti telah terjadi pergulatan teologi yang secara sadar ditanamkan. Konon bersamaan dengan  kegiatan home schooling, bagi anak-anak, sementara untuk yang sudah dewasa, terutama para ibu dan Bapak-bapak, juga menempuh semacam itu, untuk mendalami agama.

Di tempat yang baru di pulau Melawi, tampak mereka membangun komunitas tersendiri, dengan latar belakang petani. Tak diketahui persis, kenapa mereka tumbuh semangat baru ingin menjadi petani. Padahal dalam keseharian, mereka berprofesi sebagai karyawan kantor, pedagang, dan sebagainya, yang kesemuanya tidak ada yang berhubungan dengan tanah pertanian. Tiba-tiba mereka seakan mendapat amunisi  untuk berprofesi sebagai petani. Lokasinya pun jauh dari kota Batam, akni di Kalimantan Barat, tepatnya di Pulau Malawi.

Secara mental dan profesi. Mindset mereka memang berubah total. Dari yang semula hidup sebagai “orang kota” dengan segala profesi dan pekerjaan yang mereka jalani, serta gaya hidup serba modern, berubah menajdi petani penggarap sawah, dan terletak jauh dari kota.  Salah satun kemungkinan bahwa, perubahan itu didorong oleh tingkat religiusitas yang tinggi, untuk memegang teguh janji yang pernah diucapkan, bahwa tujuan hidup di dunia adalah untuk mengemban perintah Tuhan, sebagaimana dijarkan oleh Ahmad Mushaddeq. Manusia harus hidup secara mandiri, dan bekerja sesuai dengan profesinya. Gafatar tidak boleh menerima bantuan dan tidak boleh bergantung pada orang lain[5].

Pandangan Keagamaan

Penyebutan “eks” secara bahasa artinya adalah mantan atau bekas, yang dalam konteks Gafatar semata-mata adalah  mereka telah keluar  dari keanggotaan ormas tersebut. Bersamaan dengan telah dilakukannya pernyataan pembubaran diri organisasi Massa (Ormas) oleh pimpinannya pada 13 Agustus 2015. Setidaknya organisasi ini secara politik telah membubarkan diri. Namun secara teologis, ternyata tidak semudah itu. Bahwa keberakhiran sebagai organisasi tidak dengan sendirinya menjadi keberakhiran dalam berkeyakinan.  Itulah yang terjadi pada anggota Gafatar di Batam.

Keberlangsungan organisasi ini dalam merekrut anggota dan beraktivitas, sejak awal tidak lepas dari usungan teologi. Sebagaimana pengakuan beberapa anggota “eks” Gafatar Batam, mereka mengakui bahwa mereka memang keluar dari agama mainstream. Maksudnya, adalah tidak lagi memeluk agama semula, Islam. Mereka meyakini bahwa Moshaddeq adalah seorang guru spiritualnya. Penyebutan sebagai “guru spiritual” itu tampaknya untuk menghindari ungkapan “nabi baru”, agar tidak dituduh sebagai ajaran sesat. Namun dalam pengakuan pengikut Gafatar dari daerah lain, memang membenarkan bahwa Mossadeq adalah nabi baru. “Setiap zaman pasti ada masa dan akhirnya. Demikian pula dalam perjalanan kehidupan manusia ikut bertransisi dengan fenomena zaman itu sendiri. Jika dilekatkan dengan agama, di mana masing-masing nabi diutus ke dunia sesuai dengan zamannya masing-masing. Konsep inilah yang dipercayai oleh pengurus dan anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Ditambahkan bahwa, setiap nabi diutus memiliki periodisasi dengan waktu yang sama. Gafatar percaya, suatu waktu akan muncul nabi baru yang kelak akan menggantikan Nabi Muhammad  Saw sebagai nabi akhir zaman.[6]

Para pengikut Gafatar mengakui, bahwa pemahaman atas datangnya nabi baru Moshaddeq bersumber dari ajaran Ibrahim. Pengajaran yang dikenal dengan Millah Abraham inilah yang terus dikembangkan oleh para eks Gafatar, termasuk mereka yang sudah dipulangkan ke Batam.

Dalam kitab suci Umat Yahudi, Nasrani, dan Muslim, menurut mereka, selalu menegaskan bahwa konsep hidup yang harus diikuti adalah konsep hidup yang dijalankan oleh Abraham atau Ibrahim. Seruan ini bertujuan agar masing-masing umat di atas memiliki sebuah konsep yang sama, tidak berpecah-pecah. Selama umat secara konsisten dan setia mengikutinya, maka mereka tidak akan tersesat dalam menapaki hidup di dunia[7].

Praktek Keagamaan Arus Bawah

Salah seorang pengikut eks Gafatar yang dikenal sebagai juru bicara Gafatar di Batam, mengemukakan bahwa, periode kekhalifahan Islam itu sudah berakhir dengan adanya serbuan tentara Jenghish Khan terhadap kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah di abad 13 M. Ia membenarkan apa yang diurai di website mengenai apa yang disampaikan Moshaddeq: Menurutnya, kehancuran Khilafah Islamiyah merupakan akhir dari zaman peradaban Islam yang diajarkan Muhammad Saw dan dalam fase stagnan (tanpa kepemimpinan). Umat Islam berikutnya menghadapi kegelapan (layl). 

Maka pada masa menjelang kebangkitan Islam ke-dua, umat Islam mesti melakukan persiapan berdasarkan amsal salat malam qiyaamu llayl, yang kemudian di waktu shubuh saat matahari (amsal Nur Allah ) mulai terbit dan bulan (Nur Kenabian ) mulai tenggelam perjuangan ummat Islam diaktifkan kembali. Dengan dipimpin oleh seorang pembawa Risalah untuk meneruskan kekhalifahan selama 700 tahun, yakni Ahmad Mossadeq. Ia yang kini berani  mendakwahkan ajarannya secara terang-terangan / jahran setelah mengaku mendapatkan mimpisetelah melakukan shaum dan tahanuts atau kontemplasi selama 40 hari di Gunung Bunder, Bogor, Jawa Barat berdasarkan uswah dari Nabi Musa as dan Nabi Isa as, pada 23 Juli2007[8].

Dari pengakuan Muslihin, sang pemuka eks Gafatar Batam, juga menjelaskan masalah pengertian “ad-Diin”, yang dalam al-Qur’an menjadi bagian dari surah al-Fatikhah, pada ayatnya yang berbunyi Maliki yaum ad-Diin yang lazim diterjemahkan “(Tuhan) yang merajai di hari pembalasan”[9]. Namun pengertian ad-Diin menurut mereka, bukan itu terjemahan yang benar. Kata ‘yaum” yang secara bahasa berarti “hari” atau “waktu” itu, terjemahan yang benar menurutnya adalah sistem. Maka terjemahan selengkapnya ayat tersebut adalah (Tuhan) yang menguasai sistem kehidupan. Ada ayat berikutnya juga yang bunyinya Syirataladzi naan’amta a’laihim, yang artinya Jalan orang-rang yang diberi nikmat, siapa yang telah diberi nimat, adalah para Nabi dan Rasul. Maka untuk menjalani sistem itu harus belajar sejarah kehidupan para Nabi dan Rasul.

Ad-Diin itu menurutnya, adalah sama dari zaman Adam hingga Muhammad. Adapun kata “Islam” terjemahan yang benar bukan “Islam” dalam arti nama agama, tapi pensifatan kepasrahan atas segala tindakan manusia. Maka kalau kami hanya hendak berhukum pada hukum azasi yang disebu

t dengan kata Islam, atau apapun sebutannya (Islam), maksudnya bukan Islam dalam arti nama agama, tapi bentuk kepasrahan kepada Tuhan[10].

Pemahaman Moshaddeq yang mendalam mengenai sejarah, Al-Quran, Menurut eks Gafatar lainnya, dipandang sesuai dengan kita-kitab Jawa karangan Joyo Boyo, Taurad, Zabur, Al-Kitab. Kisah-kisah seperti tentang Gulungan Laut Mati dan Kaum Essenes (Hawariyyin) konon sudah diketahui oleh para kader pengikutnya, jauh sebelum kegemparan mengenai "Da Vinci Code". 

Melalui mimpi-mimpi Mushaddeq yang disampaikan kepada para murid-muridnya. Para anggota Gafatar tampak semakin menguatkan pemahaman dia atas pengangkatannya sebagai  rasul terhadap diri Moshaddeq serta menyesuaikan dengan pemahaman mengenai makna kebangkitan Kristus yang dia jelaskan pada pengikutnya. Aliran ini mempercayai bahwa Moshaddeq adalah Masih al'Mau'ud, Mesias[11] Yang Dijanjikan untuk umat penganut ajaranIbrahim / Abraham meliputi Islam (bani Ismail) dan Kristen (bani Ishaq), menggantikan Muhammad. 

Termasuk di dalam kalimat syahadat. Kata yang menyebutkan Nabi Muhammad juga dihapuskan. Aliran ini juga tidak mewajibkan pengikutnya untuk menjalankan shalat lima waktu dengan alasan kewajiban tersebut belum perlu dilaksanakan kecuali menjelang hijrah dan setelahnya. Ada beberapa argumentasi, kenapa kewajiban shalat mereka tinggalkan: Pertama, sesuai dengan petunjuk al-Qur’an sendiri, yang bunyinya Innashalata tanha a’ni al-fakhsya’ wa al-munkar,yang artinya, bahwa “shalat itu mencgah perbuatan keji dan munkar” (Qs al A’nkabut/29:45). Menurut mereka, mencegah perbuatan keji dan munkar itu adalah tujuan shalat. 

Maka yang penting kita mampu mencegah perbuatan tersebut, itulah berarti shalat. Shalat itu, asal katanya adalah “shalaya” yang berarti berhubungan, yaitu berhubungan dengan Allah terus-menerus. Maka bagi kami, shalat itu bukan yang 5 kali dalam sehari-semalam, tapi setiap saat atau 24 jam. Shalat itu membangun komitmen kepada Tuhan sekaligus membangun kepedulian kepada sesama. Shalat seperti ini sudah diajarkan sejak zaman nabi Ibrahim hingga sekarang. 

Tapi hanya sedikit yang paham. Kalaupun shalat dilaksanakan sebagaimana lazim dilaksanakan orang-orang Islam, tapi masih mendapat ancaman dari Tuhan, katanya, seperti disitir juga dalam al-Qur’an: Fawailul lilmushalliin, alladzinahum a’anshalatihim saahun( QS al Ma’un/107 : 4-5), yang artinya: “celakalah orang-orang yang melaksanakan shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya”. Menurut mereka, ayat itu menunjukkan bahwa tidak ada jaminan keselamatan bagi orang yang shalat selama lalai. Pengertian lalai di sini, adalah tidak peduli pada nasib orang lain, bahkan mengerjakan kekejian dan kemungkaran. 

Maka anggota Gafatar berkoimtmen pada perjanjian yang ditandatangani pada saat pendaftaran sebagai anggota, yakni: (1) mengimanai Tuhan Yang Maha Kuasa; (2) tidak akan membunuh sesama manusia; ((3) tidak berzina; (4) tidak berjudi; (5) tidak akan menyakiti hati orang lain, dan (6) tidak merusak alam[12].

Masih dari pengikut Gafatar Batam, mengenai ibadah shalat, katanya, ormas Gafatar tidak membatasi ibadah pada anggotanya. Mereka yang Muslim, yang ingin menjalankan shalat ya silahkan. Demikian juga yang beragama lain, tidak ada pembatasan atau larangan. Namun ungkapan itu dikemukakan, tampaknya hanya sekedar untuk meredam tuduhan “keluar dari Islam” yang akan dikaitkan dengan tudingan sebagai aliran sesat. Padahal dari pernyataan lain, terlihat bahwa mereka telah meninggalkan Islam, dan dalam keseharian, mereka yang semula Muslim dan tergolong taat beribadah, kini terlihat sudah tidak mau lagi melakukan ibadah shalat lima waktu[13].

Pada awal wawancara dengan penulis,, para eks Gafatar menegaskan bahwa Gafatar berdiri terlebih dahulu sebelum Moshaddeq menyampaikan ajarannya. Namun dalam dialog pendalaman mengenai keyakinan dan keberagamaannya, mereka menyampaikan argumentasi sebagaimana pembicaraan di atas, banyak mendasarkan pada “apa kata Moshaddeq”. Latar belakang dan filosofi berdirinya Gafatar di sekitar Millah Ibrahim, juga tidak lepas dari pikiran Moshaddeq, sampai berargumentasi kenapa para Gafatar meninggalkan Islam mainstream. Maka bisa diambil kesimpulan, bahwa pemikiran dan praktek keagamaan para pengikut Gafatar adalah memang pengikut ajaran Moshaddeq, yang lebih dikenal aliran  al-Qiyadah.

Proses Penjemputan

Atas dasar instruksi Pemerintah Pusat, pihak Kejaksaan Kota Batam, selaku koordinator Bakorpakem setempat, melakukan koordinasi terkait, seperti Kepolisian, Kodim, Badan Inteligen Daerah (Binda) Batam, Kantor Kemenag, Kesbangpolinmas Batam, dan Dinas Sosial.

            Kegiatan penjemputan dimulai dengan mendatangkan sebuah tim dari Batam ke Jakarta. Mereka menerima penyerahan dari pemusatan penampungan di Asraha Haji Bekasi. Tercatat semula anggota eks Gafatar adalah 160 orang. Namun ada sebagian telah dijemput oleh keluarganya, sebelum diambil oleh tim dari Pemkot Batam. Sebagian lagi sekitar 9 orang masih ada di Kalbar, belum dibawa ke Jakarta. Maka jumlah tepatnya pada waktu penjemputan itu adalah 97 orang. Mereka dibawa dengan pesawat melalui Bandara Halim PK, menuju andaraHang Nadim Batam. Untuk selanjutnya dibawa ke Asrama Haji Kota Batam. Pada tahap berikutnya, adalah penjemputan eks Gafatar sebanyak 9 orang, yang datang dari Kalbar, kemudian dibawa langsung ke asrama Haji Batam.

            Setiap instansi melakukan tugas sesuai fungsi masing-masing. Terjadi kesulitan pada internal kepanitiaan. Untuk menentukan tempat di mana mereka harus ditempatkan. Pihak Pemko (Pemerintah Kota) yang semestinya berinisiatif menyediakan tempat dan mengatur masalah akomodasi, ternyata tidak berbuat banyak. 

Masalahnya, pada saat itu, adalah saat di mana Wali Kota Batam dalam kondisi yang boleh dikatakan mengalami kevakuman; karena di kota ini baru saja menyelesaikan pemilihan walikota baru. Walikota terpilih belum bisa bekerja, karena belum dilangsungkan pelantikan. Sementara walikota lama, sudah merasa tidak punya kewenangan atau khawatir beresiko apabila mengambil inisiatif tertentu menyangkut jabatannya. Padahal asrama Haji, adalah bagian dari aset Pemko. Akhirnya pihak Dinsos yang secara resmi minta ijin pemakaian asrama haji tersebut untuk penempatan eks Gafatar. Masalah  lain lagi, adalah soal pendataan eks Gafatar. 

Masing-masing instansi, terutama Kepolisian, BIN Daerah, Dinsos dan Kantor Kemenag ingin melakukan pendataan, untuk kepentingan mendukung tugas instansinya. Dinsos butuh data lengkap untuk kepentingan penyediaan konsumsi; Kemenag butuh data untuk kepentingan pembinaan agama, dan Kesbangpolinmas butuh data lengkap juga untuk deteksi pergerakan para eks Gafatar. Demikian juga pihak Kepolisian dan BIN Daerah, ingin data untuk kepentingan kebijakan masing-masing.

 Tapi daripada membikin kesemrawutan tersendiri, akhirnya dicukupkan dua instansi, yakni Dinsos Kota dan Polresta yang melakukan pendataan. Mereka tetap berkoordinasi, untuk melakukan pencatatan data pengungsi. Sementara pihak Kepolisian juga melakukan inventarisasi, dalam arti melakukan identifikasi secara detail.

Kalau dilihat bahwa kasus Gafatar ini adalah masalah organisasi sosial, maka secara Tupoksi, masalah ini menjadi tanggungjawab Pihak Kesbangpolinmas Batam, Namun pihak Polinmas sendiri seperti tidak berani berinisiatif apa-apa, karena ketiadaan biaya sama sekali. Sedangkan untuk mendapatkan tempat penampunganpun, tim harus menyampaikan surat resmi, mengajukan permohonan kepada pihak Otorita ( BP) karena ternyata asrama Haji itu di bawah BP Otorita Batam, meski dalam penanganan sehari hari diserahkan keapada Kantor Kemenag.

            Pihak Kesbangpolinmas juga hanya sebatas mencactat dan pendekatan administrasi masalah Gafatar. Sementara masalah biaya pelayanan sehari hari tidak sanggup. Demikian juga pihak kepolisian (Polresta Barelang), sebagai aparat keamanan, tidak lebih dari hanya pendekatan keamanan, yakni mewaspadi gerak geriknya dan mengawasi jangan sampai melakukan perbuatan yang mengacaukan NKRI.

Peran Dinas Sosial

Peran Dinas Sosial, pada dasarnya adalah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Sosial R.I. No. 128 Th. 2011 Tentang Kampung Siaga Bencana. Untuk mengantisipasi masalah-masalah kebencanaan di wilayahnya, pihak Dinas Sosial Batam telah membentuk sebuah Tagana (Taruna Siaga Bencana) yang disiapkan untuk menangani eks Gafatar.  Tagana merupakan sebuah tim, yang melekat dalam setiap kantor Dinsos, yang siap sewaktu-waktu diterjunkan untuk memberikan pelayanan pertolongan pada para korban bencana alam.

Kalaupun ada tim yang siap bergerak, namun pihak Dinsos ternyata menghadapi kesulitan, mengenai legalitas biaya yang dikeluarkan, Karena masalah kebencanaan yang sudah ada nomonklaturnya adalah seperti bencana banjir atau dampak gunung meletus. Sementara para eks Gafatar itu “korban” jenis yang mana. 

Demikian persoalan internal di Dinsos. Sementara masalah pengungsi eks Gafatar sudah ada di depan mata. Dengan pertimbangan kemanusiaan, maka Dinsos Kota Batam dengan segenap jajarannya sementara  berinisiatif untuk mengeluarkan dana, dengan meminjamdari kantong pribadi para pejabatnya, guna pengadaan bea konsumsi para pengungsi. Dalam pembagian kerja Pakem, tugas utama Dinsos memang penyediaan makanan ke seluruh jumlah eks Gafatar selama mereka diasramakan di penampungan. Terlepas dari pembicaraan yang rumit, mereka tetap bekerja demi kekamnusiaan.

Tim dari Dinsos akhirnya, membuat dapur umum, guna penyediaan konsumsi eks Gafatar, dalam bentuk penyediaan makanan, setidaknya  3 x per hari x 12 hari x 109 orang.   Di samping itu pelayanan juga dalam bentuk dalam bentuk nasi bok. Dinsos Kota membiayai untuk penyediaan makanan selama  5 hari, dan selebihnya dikeluarkan oleh Dinsos Provinsi.

Apa yang dilakukan oleh Dinsos Kota Batam, adalah setelah melalui diplomasi internnal. Waktu itu Kanwil Kemensos Prov. Kepri tidak ada petunjuk dari Pusat, dan tidak juga menurunkan dana. Dan Dinsos Kota Batam juga telah mencoba mengajukan permintaan ke Pemko Batam, namun gagal.

Peran Pihak kepolisian

Sebagaimana yang dilakukan pada saat penyambutan pengungsi eks Gafatar di asrama Haji Batam, pihak kepolisian melakukan pengamanan seperlunya, selama perjalanan dari Bandara ke Asrama Haji, dan selama para pengungsi berada di asrama penampungan. Berikutnya, adalah melakukan pendatan secara detail, terutama perjiwa bagi yang sudah dewasa. Pendataan antara lain meliputi: identifikasi setiap anggota Gafatar, nama suami/isteri, dan anak anaknya, beserta umur masing masing, alamat lengkap,  golongan darah dan sidik jari.

Selama eks Gafatar berada di asrama haji, Satpol PP melakukan pengamanan, dan bersama kepolisian juga terus melakukan patroli di sekeliling. Mereka juga berkoordinasi antara Polresta Barelang dengan BIN Daerah. Ada saat di mana dari pihak Kepolisian juga memberikan ceramah di depan para eks Gafatar, yakni penjelasan di sekitar pentingnya bela negara. Kesbangpol juga ngasih pengarahan, tentang pentingnya menjaga keutuhan NKRI. Di dalamnya diingat mengenai kewajiban sebagai warga dalam rangka menjaga stabilitas, dan pentingnya menanggulangi bahaya dari kelompok radikal. Menurut pengamatan pihak kepolisian sendiri, para eks Gafatar itu waktu diceramahi bersikapcuek saja. Mereka riuh sendiri, tanpa memberi perhatian yang semestinya kepada penceramah

Pihak aparat keamanan, dalam hal ini Polresta Barelang, BINDA, dan Kesbangpolinmas Batam, dalam rangka mengantisipasi kemungkinan berkembangnya Gafatar baru, maka ditempuh berbagai upaya, melengkapi identifikasi bersamaan dengan  proses penjemputan, pihak keluarga penjemput diminta menandatangani Surat Serah Terima  dan pernyataan bertanggungjawab apabila terjadi sesuatu yang mengarah kepada tindakan eksklusif. Menginstruksikan juga kepada aparat Babinsa setempat, untuk memantau keberadaan dan gerak-gerik mereka, serta segera melaporkan apabila terjadi hal-hal yang mencurigakan; kepada aparatkeamanan diminta mengambil tindakan seperlunya, apabila terjadi gerakan-gerakan yang terindikasi mengarah pada ekslusivitas. Kepada para eks hafatar diberikan ketentuan untuk tidak sering berkumpul dan mengadakan rapat-rapat diantara mereka.

Setelah kepulangan ke Batam, para eks Gafatar, memang menghadapi masalah besar, Pertama, menghadapi kebijakan Pemerintah sebagaimana keputusan Tiga Menteri, yang dilatarbelakngi oleh kecurigaan akan mendirikan negara baru. Kedua, fatwa tentang sesatnya Gafatar oleh MUI. Ketiga, menjalani hidup baru di tempat yang baru. Yang terakhir ini, meskipun mereka dibilang “dikembalikan ke rumah masing-masing”, tapi kebanyakan mereka sudah tidak punya rumah. Karena rumahlama dengan segala asetnya sudah dijual. Sebagian lain, memang sejak sebelum keberangkatan ke Melawi, rumah mereka berstatus sewa alias kontrak.

Pasca kepulangan ini, mereka harus mencari penghasilan atau lapangan pekerjaan baru dan mengeluarkan beaya menyewa rumah. Sekarang harus apa-apa mengusahakan sendiri. Bagi yang mau bisnis, harus cari modal sendiri. Keputusan Tiga Menteri, dianggap memenjarakan kehidupan mereka. Sementara para eks Gafatar, dilarang berkumpul dengan sesamanya, dan membicarakan masalah di sekitar Gafatar dengan orang lain. Mereka diancam akan diberi tindakan, apabila melanggar ketentuan tersebut. Ketentuan mana adalah disampaikan oleh pihak Kepolisian, dan bagi anggota famili penjemput waktu itu, juga menandatangani Surat Perjanjian tertentu, agar jangan sampai memberi peluang kepada eks Gafatar untuk berkembang.    

Peran Kantor Kemenag dan MUI

            Pihak Kemenag Prov. Kepri adalah yang paling bertanggungjawab soal pembinaan agama para eks Gafatar. Karena, sesuai data yang ada, sebagian besar mereka ber KTP Islam, maka pendekatan dalam pembinaan lebih ditekankan pada pendekatan agama Islam. Pelaksanaan di lapangan, diserahkan kepada Kepala Kantor Kemenag Kota Batam. 

Langkah-langkah yang ditempuh meliputi: Pertama: membentuk kepanitiaan khusus, yang meliputi penugasan kepenyuluhan, pencerahan keagamaan dari unsur Majelis Ulama, dan pemberian bantuan kemanusiaan dari unsur Baznas Kota Batam. Untuk pembinaan itu juga melibatkan unsur pesantren dan Madrasah. Baznas Kota Batam, tetap saja membagikan bingkisan berupa paket peralatan ibadah yang berisi mukena (bagi perempuan) dan dua baju koko (bagi yang laki-laki) plus sajadah. Maksudnya memang untuk menandai rasa simpati kepada mereka sebagai “saudara sesama Muslim

Melakukan penyuluhan dalam bentuk ceramah keagamaan secara langsung. Namun terjadi keadaan yang tidak disangka-sangka, yakni respon eks Gafatar ketika Kepala Kantor Kemenag Zulkifli menyampaikan sambutan, dengan mengawali ucapan “assalamualaikum”, para eks Gafatar itu tidak ada satupun yang menyahut atau menjawab “wa’alaikumussalam” sebagai layaknya dalam forum forum resmi baik nasional maupun forum keagamaan. 

Hal itu mengindikasikan bahwa mereka sudah tidak lagi memakai simbol keagamaan Islam. Menyusul pemberian tausyiah pada hari berikutnya, pihak Gafatar terang-terangan menolak, karena mereka merasa sudah keluar dari mainstream (maksudnya, keluar dari Islam). Dari MUI juga memberikan penjelasan mengenai beberapa kesalahan, secara teologi pada Gafatar. Dasarnya adalah, status keberagamaan mereka, sebagaimana tertulis di KTP, yang kebanyakan tertulis “beragama Islam”.

 Tapi tidak mau menjalankan shalat, bahkan menjawab ucapan Assalamualaikum saja tidak mau. Menurut MUI, para eks Gafatar telah keliru dalam menjalankan keberagamaan. Apalagi tidak mau shalat, dan ibadah-ibadah lain sebagai layaknya orang beragama Islam. Jalan keluar untuk itu, adalah dengan melakukan tobat, sebagaimana diajarkan Islam. Namun mereka tidak bersedia untuk itu.

Alasan tidak mau tobat, karena tidak tahu kesalahannya apa. Maka mereka pun, selama di asrama, juga tidak menjalankan sembahyang sebagai layaknya penganut agama Islam yang taat. Untuk selanjutnya, para eks Gafatar tidak bersedia melakukan tobat, karena merasa tidak ada yang salah dalam keberagamaannya. Para eks Gafatar tidak ada yang merasa bersalah kepada Tuhan. Apa yang jalankan selama ini, justru sesuai kehendak Tuhan[14].

Semua yang hadir di ruangan “pembinaan” tersebut tampak gusar. MUI memandang para eks Gafatar sebagai kelompok sesat, sementara eks Gafatar tidak mau dituduh sesat dan atau murtad. Orang Gafatar bahkan menanyakan kepentingan Pemerintah dengan keluarnya Surat Keputusan Tiga Menteri tentang Pembinaan eks Gafatar. Kalau memang mau dibina, seperti apa pembinaanya itu[15].

Jadi, dalam hal keyakinan, dialog itu tidak berhasil melunakkan para eks Gafatar. Bahkan para eks Gafatar akhirnya keluar ruangan demi sedikit, dan akhirnya semuanya bubar.

Dari pensikapan para eks Gafatar itu, terbaca adanya eksklusivitas mereka, sebagai warganegara yang ingin berkelompok sendiri, dan ada kecenderungan untuk tetap mempertahankan suatu keyakinan keagamaan yang mereka yakni “benar” sendiri.

Kantor Kementerian Agama Kota Batam dan Kanwil Kemenag Kepri, nyaris tidak sanggup melakukan pembinaan, karena pihak Gafatar menolak secara tegas. Mereka sudah menyatakan keluar dari Islam, dan sudah memilih keyakinan lain, di luar Islam. Namun pihak Kemenag belum berakhir di situ. Masih ada upaya lain yang coba dilakukan.

Terlepas dari itu, Baznas kota bersama para donatur  di kota Batam, sebenarnya siap untuk membantu eks Gafatar kehidupan mereka pasca pemulangan. Telah terbangun persepsi, bahwa, secara ekonomi, para pengungsi itu adalah dalam kondisi lemah, karena terputus semua sumber penghidupannya. Sebagai umat beragama, merasa punya kewajiban untuk menyantuni, membantu mengentaskan kesulitan yang mereka hadapi. Soal bentuknya akan seprti apa, tergantung respon para anggota Gafatar.

 Namun pihak Gafatar sendiri sudah mengambil jarak dengan pendekatan keagamaan Islam. Sejak kedatangan mereka, yang tidak mau menjawab Salam, tidak mau diajak shalat berjamaah, dan bahkan menolak diceramahi secara Islam. Artinya tidak ada tanda- tanda membuka pintu untuk mensikapi posistif terhadap uluran tangan dengan bahasa agama Islam. Akhirnya pihak instansi Kantor Kemenag bersama lembaga agama lainnya: MUI, Baznas Kota, Madrasah dan Pesantren, mengurungkan niatnya untuk membantu mereka secara materi maupun non materi.

Problem Pemulangan

Terjadi sedikit ketegangan ketika para eks Gafatar harus dikembalikan ke keluarganya. Karena penampungan di asrama haji memang hanya bersifat sementara, untuk pembinaan sebelum dipulangkan ke alamat keluarganya.

Berkenaan pengambilan keputusan untuk pemulangan eks Gafatar, terjadi kesulitan tersendiri. Karena masing-masing instansi juga tampak tidak siap dengan langkah-langkah strategis.  

Pelayanan oleh Instansi Dinsos, sebatas memberikan makanan selama nereka berada di penampungan. Itu pun hanya sanggup untuk 12 hari. Setelah itu terserah keputusan bersama para instansi terkait. Namun semua instansi angkat tangan, dalam arti tidak ada yang sanggup menyediakan konsumsi dan penyediaanlogistik mestinya. Sementara pihak eks Gafatar menyampaikan permintaan:

            Berhubungan dengan “penjemputan paksa”  dari tempat mereka bertempat tinggal dan membuka usaha, maka sudah sewajarnya kalau kami minta jaminan hidup yang semesinya. Demikian permintaan mereka, yaitu: (a) jaminan untuk bisa sewa rumah selama 3 bulan; (b) pesangon untuk bisa makan selama tiga bulan; dan (c) jaminan memperoleh pekerjaan baru atau jaminan lapangan kerja.

Pihak instansi-instansi Pemerintah, tampaknya tidak ada yang sanggup menyediakan dana sesuai permintaan tersebut. Akhirnya masalah ini dikomunikasikan dengan para keluarganya. Diharapkan pihak keluarga agar mau menampung, membantu meringankan biaya hidup, dan sekaligus mengawasi anggota keluarganya apabila sudah kembali ke rumah.

Kebutuhan niminal di luar sewa rumah, untuk 25 KK selama 3 bulan, dalam perihitungan  pihak Dinsos, adalah: 25 x 3 juta x 30  yakni sekitar sekitar Rp 225.000.000. . Tidak ada satu instansi pun yang sanggup menyediakan dana sebersar itu,

Dengan adanya pertimbangan tersebut, maka Pihak panitia pemulangan Gafatar Batam menyerahkan kembali kepada keluarganya, tanpa pesangon. Selama hidup bersama keluarganya, mereka menjadi tanggungjawab aparat terkait.

Badan Inteligen Daerah  terus mengawasi gerak gerik mereka

Polres dan Polsek setempat melakukan monitoring

Keluarga eks Gafatar, diminta untuk menampung mereka menanggung biaya hidup mereka.

Menurut pihak Polresta Barelang, yang diperkuat oleh Binda (Badan Inteligen Daerah) para anggota Gafatar memang harus tetap dalam pengawasan. Jangan ada lagi melakukan kegiatan yang keluar dari ketentuan pemerintah, yang menjurus pada tindakan ekstreem. Apabila terdapat indikasi ke arah itu, pihak keluarga diminta segera melaporkan kepada pihak berwajib.

Sementara beberapa keluarga keberatan menerima para eks Gafatar, dengan alasan yang berbeda beda, antara lain: harta benda termasuk rumah atasnama yang bersangkutan sudah dijual semua untuk berangkat ke Kalimantan; kondisi keluarga memang dalam keadaan pas pasan, sehingga kalau harus menampung anggota keluarganya yang eks Gafatar, sangat memberatkan; ada keluarga di mana mereka memang tidak lagi  punya saudara kandung, sehingga yang harus menanggung adalah saudara yang jauh.

Terhadap mereka-mereka yang menghadapi masalah tersebut, kepulangannya dijemput oleh pimpinan eks Gafatar sendiri. Mereka ditumpangkan di rumah sewa secara bersamaan. Biaya sewa rumah dan makan ditutup dengan cara saling memberikan bantuan satu sama lain.

            Para eks Gafatar mengaku mengeluh, karena merasa tidak melanggar hukum, tapi memperoleh perlakuan tindak kekerasan, rumah dibakar, dijemput paksa, “padahal kami membangun rumah dengan keringat sendiri. Terhadap kekerasan tersebut sampai sekarang tidak ada pengusutan terhadap para pelaku. Kami menuntut agar tidak ada tebang pilih dalam masalah hukum. Rumah tinggal dan sawah yang kami tinggalkan, yang katanya akan dikembalikan haknya. Tapi sampai sekarang, tidak ada kejelasan”[16], katanya.

Preview

Ketidaksediaan para eks Gafatar diberikan pembinaan melalui pendekatan agama (Islam) telah menunjukkan bahwa  telah terjadi konversi agama dalam tubuh Gafatar. Cara pembinaan itu semata-mata karena disesuaikan dengan identitas mereka yang tertulis di KTP. Masalah yang sebenarnya tidaklah sesederhana itu.

Dengan melihat fakta di lapangan, dan dikua

tkan dengan referensi yang ada, ternyata pada kelompok eks Gafatar telah tertanam ajaran keagamaan yang dikenal dengan Millah Abraham, yang dibawakan oleh Ahmad Moshaddeq pendiri kelompok al-Qiyadah. Dalam konteks ini, Moshaddeq, dipandang sebagai figur dominan, yang dikenalnya sebagai tokoh panutan. Dikenal juga sebagai seorang messianis. Istilah messianis biasa digunakan untuk menjelaskan tentang sebuah gerakan yang membawa nama al-Masih, putra Maryam yang dipercayai akan lahir kembali dan memberi peringatan kepada umat manusia. Kelahiran kembali itu pada kurun waktu tertentu, setelah kewafatannya di tiang salib. Keyakinan akan adanya kebangkitan kembali, itu ada pada agama Islam dan pada agama Kristen[17].

Ahmad Moshaddeq sebagai pemimpin gerakan al-Qiyadah, diyakini oleh para pengikutnya, adalah sebagai “juru selamat akhir zaman”. Keterangan kearah itu muncul, secara tidak langsung dari para eks Gafatar. Mereka memberikan argumentasi, kenapa keluar dari Islam mainstream, berikut argumentasi di sekitar pembentukan komunitas baru, isu ingin menegakkan kedaulatan pangan, dan beberapa alasan teologis lainnya.

Messianisme gerakan Moshaddeg dengan Gafatarnya, tidak jauh berbeda dengan gerakan Komunitas Eden, yang lahir di Jakarta sekitar tahun 1997. Sebagaimana pengakuan sang pendiri komunitas tersebut, yakni Lia Aminuddin, mengklaim mendapatkan wahyu untuk mendirikan “kerajaan tuhan” di muka bumi. Dalam sebuah ungkapannya sang pimpinan Eden menyatakan, bahwa “Seluruh umat manusia di dunia ini Kuwajibkan takluk kepada-Ku dan bersedia mentakzimi Kerajaan-Ku, karena Aku berfirman dan memberi fatwa dan petunjuk-petunjuk hanya melalui Kerajaan Eden yang segera Kuberkuasakan. Itu karena semua para Rasul Eden yang tersisa sudah Kupatutkan suci mutlak. Mereka sudah Kuseleksi secara ketat.[18] Kata “Ku” dalam ungkapan ini bermakna, bahwa Lia sebagai pimpinan komunitas telah menempatkan diri sebagai media suara Tuhan. Dia menyeru kepada seluruh umat manusia di dunia untuk mentaati Lia Eden. Karena dia adalah orangnya yang saat ini diberikan kewenangan Tuhan untuk mengatur dunia[19].

   Penegasan tersebut sebagai pembenaran atas misi yang dibawakannya, bahwa dia dengan ritual penyucian yang dijalankan, mengukuhkan diri dan komunitasnya sebagai pembawa kepemimpinan umat manusia saat ini. Penyucian adalah kata lain dari pembaitannya, untuk merubah keyakinan, sehingga yang bersangkutan meninggalkan agama lama dan menggantinya dengan keyakinan baru yang bernama perenialisme[20]. Di sinilah paham kemahdian versi Eden.

Gerakan Moshaddeq tampak tidak jauh berbeda dengan yang dimunculkan Lia eden dan sejumlah aktor lain, yang juga menyatakan dirinya sebagai Imam Mahdi. Moshaddeq sendiri yang sejak awal mengaku dirinya telah memperoleh petunjuk langsung dari Tuhan setelah melalui permenungan lama dan mendalam di Gunung Gede Bogor. Dengan keyakinannya memperoleh petunjuk langsung dari Tuhan, ia memiliki cita-cita untuk menciptakan “zaman sempurna”, yang dimulai dengan membangun kedaulatan pangan. Dalam pandangannya, zaman ini adalah zaman yang sudah sepantasnya diturunkan seorang nabi baru, karena telah terjadi kevakuman cukup lama. Sejak keajaan-kerajaan Islam dibungihanguskan oleh tentara Jenghis Khan, sekitar abad 13, maka tidak ada lain kecuali Allah menurunkan sebuah petunjuk penyelamatan di akhir zaman, katanya.

Secara moral, kekuatan baru dalam mengawal zaman ini adalah dengan mempersatukan agama-agama, terutama Islam, Kristen, dan Yahudi. Itulah inti dari ajaran Millah Ibrahim yang mereka yakini. Maka sudah saatnya kaum Islam, kaum Kristen, dan kaum Yahudi yang telah saling bermusuhan bermilenium lamanya. Pernyataan ini mirip sekali dengan pernyataan dalam sebuah risalah Eden[21].

Dengan keyakinannya itu, maka tidak akan mudah bagi pihak Kemenag, yang dalam hal ini bersama MUI Kota Batam, Baznas Kota Batam, dan beberapa pemuka Islam, melakukan pembinaan dengan pendekatan Keagamaan. Karena keyakinan baru, ala al-Qiyadah itu tampaknya sudah sedemikian kuat.

Masalahnya adalah, bahwa komunitas yang mereka bangun menjadi sangat  eksklusif, yang antara lain: menjalankan praktek keagamaan hanya yang sesuai dengan petunjuk sang tokoh panutan kelompoknya; meski dalam KTP tertulis beragama Islam tapi tidak lagi mau menjalani syariat terutama ibadah shalat dan puasa di bulan Ramadhan, dan berpandangan keagamaan yang cenderung keluar dari mainstream.

Pembinaan dengan pendekatan agama hampir tidak mungkin lagi dilaksanakan. Karena sistem keyakinan para eks Gafatar telah terbentuk sedemikian rupa, di mana mereka tidak lagi menjadi penganut agama tertentu. Sementara keberagamaan Millah Ibrahim, sejauh ini belum bisa diterima dalam konteks kenegaraan R.I.

Perspektif Politik Kenegaraan

            Messianisme para eks Gafatar tidaklah semata-mata masalah teologi. Akan tetapi juga sangat menyentuh masalah kenegaraan. Secara teoritis, semangat gerakan messianis adalah sama dengan apa yang disebut kekuatan kenabian atau pemberontakan keagamaan yang selalu memperhadapkan kekuatan diri dan kelompoknya dengan kekuatan negara. Menurut  Michael Adas dalam bukunyaProphets of Rebellion (diterj. “Ratu Adil”, 1988) mengkaji hubungan antara kebangkitan para pemimpin kenabian tersebut dengan protes dan kekerasan. Menurutnya, bahwa:

Para pengikut gerakan kenabian tersebut berusaha mengubah sistem sosial-budaya mereka dengan cara di luar-hukum daripada agitasi konstitusional, dengan kekerasan ketimbang pembaruan, penarikan diri, atau perlawanan pasif. Gerakan-gerakan tersebut melakukan pemberontakan dengan maksud tidak hanya menggulingkan rezim politik yang ada, tapi juga ingin mengubah keteraturan sosio budaya yang ada. Dalam hal ini, tujuan mereka adalah revolusioner, walaupun pandangan mereka terhadap orde alternatif sangatlah berbeda dari yang diasosiasikan oleh para ahli ilmu sosial dengan revolusi yang sesungguhnya.[22]

Dalam konteks kekinian, upaya melakukan pemberontaan, secara politik, bagi Eks Gafatar, masih terlalu pagi. Fenomena yang terlihat sejauh yang ada, barulah masalah “penegakan kedaulatan pangan” dan pembentukan komunitas ekslusif. Secara moral memang Mushaddeq mengajak pengikutnya untuk belajar jauh ke belakang, kehidupan para Nabi, seperti Ibrahim, Musa, Sulaeman, Isa sampai Muhammad, semua adalah memerankan dirinya sebagai kepala negara yang berdaulat penuh, yang berurusan dengan moral sekaligus politik. Pikiran seperti itu mirip dengan apa yang dicita-citakan oleh kelompok keagamaan lain, seperti KPPSI di Makassar, yang menginginkan berlakunya syuariat Islam di wilayahnya[23]. Bagi Gafatar, pembentukan suatu negara yang berdaulat di luar negara RI mungkin baru sebatas wacana. Tapi pihak pemerintah merasa berkewajiban mengantisipasi segala kemungkian ke depan.

Pemulangan dari wilayah Pulau Melawi Kalbar ke Batam, oleh pemerintah, pada dasarnya adalah sebuah proses politik, dimana negara berkepentingan. Di satu sisi untuk mengamankan warganya dari amukan massa, dan di sisi lain untuk menjaga NKRI, maka tindakan itu adalah dalam rangka mengantisipasi melebarnya kecenderungan pembentukan negara baru. Maka proses pemulangan dengan segala langkah yang diambil, diinisiasi oleh pihak instansi pemerintah, dalam hal ini: Kejaksaan Kota Batam, selaku Ketua Tim Pakem. Instansi yang terlibat di dalamnya meliputi: Dinas Sosial Kota Batam, Kesbangpolinmas Kota Batam; Polresta Barelang, Kantor Kemenag Kota Batam, dan Badan Intelijen Daerah (Banda).  Pada prinsipnya pihak Dinsos yang menangani logistik para pengungsi, Kantor Kemenag melayani pembinaan Agama, dan Polres menangani masalah pengamanan.

Terhadap penanganan dengan pendekatan keamanan, pihak eks Gafatar menunjukkan sikap, merasa “tidak berdosa apa-apa”, dan mengharapkan pelayanan sewajarnya, sebagai pihak yang “dipulangkan secara paksa”. Pilihan untuk berpindah agama, juga dianggap tidak melanggar undang-undang. Demikian juga, pilihan untuk membangun kemunitas baru, juga tidak ada pelanggaran atas undang-undang yang berlaku di negara R.I.

Namun dalam kontekstasi Messianisme, ada kecenderungan mendirikan kedaulatan baru, yang terlepas dari negara yang sudah ada. Dalam masalah inilah, terbaca oleh kalangan penyelenggara negara, bahwa kelompok eks Gafatar akan mendirikan negara baru. Oleh karena itu, kepada mereka dianggap perlu untuk diwaspadai.

Pihak aparat keamanan, dalam hal ini Polresta Barelang, berikut Kejaksaan, BINDA, dan Kesbangpolinmas Batam, mengantisipasi kemungkinan bangkitnya Gafatar barudi Batam atau Kepri pada umumnya. Dalam rangka itu, maka telah ditempuh berbagai cara, antara lain dengan mengidentifikasi total keberadaan para eks Gafatar dan membangun sinergi dengan instansi lain, termasuk Kemenag Kota, Banda dan Babinsa, untuk melakukan pembinaan seperlunya.

Perspektif Sosial dan Kemanusiaan

Eksodus kaum Gafatar Batam ke pulau Melawi yang diikuti dengan membuka lahan baru untuk pertanian, pada dasarnya merupakan sesuatu plihan yang positif. Karena menghidupkan semangat kemandirian mereka. 

Pengungsi eks Gafatar pada dasarnya adalah kelompok sosial yang telah menempuh cara hidup sebagai petani, dan telah membangun komunitas tersendiri di tempat yang baru, setelah melakukan eksodus dari wilayah provinsi Kepri.

Meskipun pengurus Gafatar sudah menyatakan pembubaran diri, dan bahkan para pengikutnya sudah berhasil dipulangkan, tapi persekeluargaan antar anggota relatif masih kuat. Mungkin karena sejak lama, hubungan-hubungan sosial itu terbangun. Dengan demikian, masih sangat mungkin mereka menempuh berbagai cara untuk  mempertahankan komunitas tersebut, entah dengan nama yang tetap sama atau identitas yang berbeda.

            Pada saat akan dikembalikan ke rumah tinggal semula, mereka minta jaminan biaya hidup, minimal selama tiga bulan ke depan. Tidak satupun instansi di daerah yang sanggup menyediakan fasilitas sesuai perimntaan eks Gafatar. Namun dalam pelaksanaannya, untuk pelayanan selama dalam penampungan dihadapkan pada masalah teknis-keuangan. Masing-masing instansi hampir tidak ada kesiapan dana yang cukup untuk menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya. Meski di lapangan tetap menunjukkan tanggungjawab sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Ketiadaan dana pada masing-masing instansi yang berkoordinasi dalam masalah pelayanan eks Gafatar, adalah karena: (1) pemulangan berlangsung pada akhir bulan Januari atau awal tahun, di mana pada saat demikian, hampir di semua instansi pemerintah belum terjdi pencairan dana operasioanl kegiatan kelembagaan; (2) peristiwa pemulangan kelompok eks Gafatar adalah sangat kasual, dan hampir tidak ditemukan nomonklatur  yang sesuai  dengan Tupoksi masing-amsing instansi; (3) khusus di Pemko (Pemerintah Kota) Batam sendiri sedang mengalami kevakuman “kepeimpinan”, oleh sebab baru saja terjadi keterpilihan  walikota yang baru, melalui Pilkada, namun belum dilantik. Sementara walikota yang lama tidak mau mengambil resiko apabila ia mengambil kebijakan yang menyangkut  operasipnal instansional. Padahal  inisiatif Pemko sangat dibutuhkan untuk melakukan koordinasi dengan instansi-instansi yang lain.

Langkah yang direkomendasikan

Karena demikian kuatnya sistem kepercayaan baru yang dianut para eks Gafatar, yang dikenal dengan Millah Ibrahim, maka sudah selayaknya ditempuh cara-cara pendekatan yang lebih bijaksana.

Surat Keputusan Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri dalam Negeri Republik Indonesia Nomor : 3 Tahun 2008, Nomor : KEP-003/A/JA/6/2008, Nomor : 199 Tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat,yang di dalamnya menyinggung  perlunya pembinaan para eks Gafatar, perlu ditindaklanjuti dengan langkah-langkah kongkrit. 

Perlu dilakukan langkah-langkah yang lebih strategis dan inovatif, untuk membina keberagamaan para eks Gafatar, dengan memperbaharui sistem pembinaan yang lebih inovatif, menyangkut materi, dan metodenya. Antara lain melalui cara dialog yang berkelanjutan. Dalam dialog diperlukan keterlibatan para pakar keagamaan (Islam) dan yang menguasai permasalahan mengenai gerakan messianisme khususnya dan keagamaan pada umumnya.

Dalam rangka pembinaan, sebaiknya diupayakan berbagai cara untuk pengembalian harkat dan martabat mereka. Karena kebanyakan mereka adalah kalangan terpelajar, dan sejauh ini mereka tidak melakukan kekerasan.

Terhadap harta dan aset yang mereka miliki selama di  komunitas baru di Kalimantan Barat, sebaiknya diperlakukan secara adil dan mendasarkan pada hukum dan perundangng-undangan yang berlaku. Dengan cara demikian, memudahkan proses penyadaran sebagai warganegara yang baik.

Memerlukan proses panjang untuk mengembalikan mereka pada keyakinan keagamaan semula, yakni ke Islam bagi yang beridentitas Islam. Dengan tetap menghormati hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.   

Pengawasan dilakukan terhadap kecenderungan ke arah radikalisme dan ekstreemitas, terutama yang mendasarkan pada ajarannya yang selama ini dianutnya.

[1] Makalah sudah disampaikan pada seminar hasil penelitian tentang Peran Pemerintah Daerah Penanganan Eks Gafatar, Balai Litbang Agama Jakarta, tanggl 21-22 Juli 2016, di Hotel Horison Bekasi.

[2] Kirk, J. & Miller, M.I., 2001, Reability and Validityin Qualitative Research, Beverly Hills: Sage Publication, hal. 9

[3] Wawancara dengan Ibu Dorce, staf Kesbangpolinmas Kota Batam, tanggal 27 Mei 2016.

[4] Wawancara dengan Samsir, eks Gafatar, tanggal 27 Mei 2016

[5] Wawancara dengan Sukoco, eks Gafatar , tgl 26 Mei 2016

[7] Uraian tentang Millah Ibrahim sebagaimana terekspos pada milishttp://www.millahabraham.co.cc (diakses 3 Mei 2016) dibenarkan oleh pemuka Gafatar Batam. Meskipun pada keterangan awalnya mengatakkan bahwa Gafatar bukan didirikan oleh Moshaddeq dan bukan pula menerus al –Qiyadah. 

[8] Lihat: Wikipedia, diakses 3 Mei 2016.bid.

[9] Lihat: Departemen Agama, Al Qur’an dan Terjemahannya, hal. 1

[10] Wawancara dengan Muslihin, pemuka eks Gafatar Batam, tanggal 24 Mei 2016

[11] Paham Mesias pada Gafatar , ada persamaan dengan Mesias pada Mirzam Ghulam Ahmad  pada aliran Ahmadiyah Qodyan dan paha Komunitas Eden yang dipimpin Lia Eden.

[12] Wawancara dengan Muhlisin, pemuka eks Gafatar Batam, tanggal 25  Mei 2016

[13] Waktu mengadakan wawancara dengan beberapa eks Gafatar tersebut adalah sore hari menjelang maghrib, dan ketika tiba waktu shalat maghrib, terdengar adzan dari masjid yang berjarak hanya sekitar 50 M, mereka tidak beranjak untuk menjalankan shalat maghrib. Fenomena itu membuktikan, bahwa mereka yang di KTP terulis beragama Islam tersebut, nyata-nyata tidak lagi menjalankan shalat lima waktu. 

[14] Wawancara dengan Muslihin, pimpinan eks Gafatar Batam, 24 Mei 2016

[15] Sampai dengan dilakukannya penelitian ini, bln Mei-Juni 2016, para eks Gafatar merasa belum ada informasi tentang pembinaan itu: kapan, dimana dan dengan cara bagaimana.

[16]  Wawancara dengan Muslihin, ibid.

[17] Marzani Anwar, 2013, Milleniarisme Eden, Fokus Grahamedia,hlm. 211

 [18]Risalah Eden, “Wahyu Tuhan Kepada Pemerintah Indinesia”, tertanggal 13 Oktober 2008.

[19] Marzni Anwar, 2013, ibid. halm.

[20] Lihat: Marzani Anwar, 2007, Jejak-jejak Komunitas  Perenial, Eden Salamullah, Balai Litbang Agama, Jakarta, hal. 232.

[21] Lihat: Marzani Anwar, ibid. hal. 211.

[22]Michael Adas, 1988), Ratu Adil, terj. M. Tohir Effendi,: CV. Rajawali, Jakarta, hlm. xv.

[23]  Mujiburrahman, “Poltik Syariah, Perjuangan KPPSI di Sulawesi Selatan”, dalam: Martin van Bruinesen, ed., 2014, Conservative Turn, Mizan, hal. 235

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun