Terhadap penanganan dengan pendekatan keamanan, pihak eks Gafatar menunjukkan sikap, merasa “tidak berdosa apa-apa”, dan mengharapkan pelayanan sewajarnya, sebagai pihak yang “dipulangkan secara paksa”. Pilihan untuk berpindah agama, juga dianggap tidak melanggar undang-undang. Demikian juga, pilihan untuk membangun kemunitas baru, juga tidak ada pelanggaran atas undang-undang yang berlaku di negara R.I.
Namun dalam kontekstasi Messianisme, ada kecenderungan mendirikan kedaulatan baru, yang terlepas dari negara yang sudah ada. Dalam masalah inilah, terbaca oleh kalangan penyelenggara negara, bahwa kelompok eks Gafatar akan mendirikan negara baru. Oleh karena itu, kepada mereka dianggap perlu untuk diwaspadai.
Pihak aparat keamanan, dalam hal ini Polresta Barelang, berikut Kejaksaan, BINDA, dan Kesbangpolinmas Batam, mengantisipasi kemungkinan bangkitnya Gafatar barudi Batam atau Kepri pada umumnya. Dalam rangka itu, maka telah ditempuh berbagai cara, antara lain dengan mengidentifikasi total keberadaan para eks Gafatar dan membangun sinergi dengan instansi lain, termasuk Kemenag Kota, Banda dan Babinsa, untuk melakukan pembinaan seperlunya.
Perspektif Sosial dan Kemanusiaan
Eksodus kaum Gafatar Batam ke pulau Melawi yang diikuti dengan membuka lahan baru untuk pertanian, pada dasarnya merupakan sesuatu plihan yang positif. Karena menghidupkan semangat kemandirian mereka.
Pengungsi eks Gafatar pada dasarnya adalah kelompok sosial yang telah menempuh cara hidup sebagai petani, dan telah membangun komunitas tersendiri di tempat yang baru, setelah melakukan eksodus dari wilayah provinsi Kepri.
Meskipun pengurus Gafatar sudah menyatakan pembubaran diri, dan bahkan para pengikutnya sudah berhasil dipulangkan, tapi persekeluargaan antar anggota relatif masih kuat. Mungkin karena sejak lama, hubungan-hubungan sosial itu terbangun. Dengan demikian, masih sangat mungkin mereka menempuh berbagai cara untuk mempertahankan komunitas tersebut, entah dengan nama yang tetap sama atau identitas yang berbeda.
Pada saat akan dikembalikan ke rumah tinggal semula, mereka minta jaminan biaya hidup, minimal selama tiga bulan ke depan. Tidak satupun instansi di daerah yang sanggup menyediakan fasilitas sesuai perimntaan eks Gafatar. Namun dalam pelaksanaannya, untuk pelayanan selama dalam penampungan dihadapkan pada masalah teknis-keuangan. Masing-masing instansi hampir tidak ada kesiapan dana yang cukup untuk menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya. Meski di lapangan tetap menunjukkan tanggungjawab sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Ketiadaan dana pada masing-masing instansi yang berkoordinasi dalam masalah pelayanan eks Gafatar, adalah karena: (1) pemulangan berlangsung pada akhir bulan Januari atau awal tahun, di mana pada saat demikian, hampir di semua instansi pemerintah belum terjdi pencairan dana operasioanl kegiatan kelembagaan; (2) peristiwa pemulangan kelompok eks Gafatar adalah sangat kasual, dan hampir tidak ditemukan nomonklatur yang sesuai dengan Tupoksi masing-amsing instansi; (3) khusus di Pemko (Pemerintah Kota) Batam sendiri sedang mengalami kevakuman “kepeimpinan”, oleh sebab baru saja terjadi keterpilihan walikota yang baru, melalui Pilkada, namun belum dilantik. Sementara walikota yang lama tidak mau mengambil resiko apabila ia mengambil kebijakan yang menyangkut operasipnal instansional. Padahal inisiatif Pemko sangat dibutuhkan untuk melakukan koordinasi dengan instansi-instansi yang lain.
Langkah yang direkomendasikan
Karena demikian kuatnya sistem kepercayaan baru yang dianut para eks Gafatar, yang dikenal dengan Millah Ibrahim, maka sudah selayaknya ditempuh cara-cara pendekatan yang lebih bijaksana.